Sastra  

Penyair Layla Muhaydirah

Oleh: Abdul Wahid Al-Burji, Terj. Yulizal Yunus

Penyair (Perempuan, Maroko) Layla Muhaydirah, dalam perspektif kesastraan terlihat bagaikan burung camar, gelisah berkeliaran di langit Essaouira (الصويرة). Karenanya penyair ini terobsesi dengan keindahan, pesona alam dan ragam esensi hidupnya berbagi dengan kehidupan-kehidupan yang lain mengapung dalam karya sastra, baik dari sisi karakter drama maupun estetika. Demikian ditemukan, ia menaruh keprihatinan terhadap mereka yang kesepian, tak berdaya, lelah berjalan tanpa tempat tinggal dan tersesat di belantara. Demikian penyair Layla menawarkan puisinya, berbagi di antara rasa jijik, kegelisahan dan obsesi kebahagiaan orang Palestina. Justru pandangan penyair perempuan ini tentang dunia sekitarnya tidak pernah terpenjara oleh keadaan, bahkan melewatinya sampai menemukan keadaan yang memungkinkan. Faktor inilah yang membuatnya menentang segala perasaan dan pikiran yang mengekang kemerdekaannya.

Dalam beberapa puisinya, penyair Layla ini mengembara dalam suasana tragis, terpapar dalam deskripsinya tentang situasi rakyat Palestina yang terluka, yang tiba-tiba berubah menjadi dunia terbarukan yang di dalamnya ada kehidupan, dan dunia suram yang di dalamnya penuh kekhawatiran dan ketidakpastian. Dengan transformasi ini, sang penyair berpegang dengan keyakinan secercah harapan yang tersembunyi di balik keputusasaan dan pada saat yang sama, penyair telah menguasai fann al-masafah (distance art). Sebab itu pula penyair tidak segera putus asa, lalu kehilangan esensi hidup, juga tidak cepat mencandai harapan, lalu mengubah kematian menjadi rasa kenyang yang menyesakkan.

Antologi Puisi Duka Mania (Haus al-Hazni, Mania of Sorrow), diluncurkan untuk menerjemahkan mania (kegelisahan) yang mengusik penyair saat terjaga dan saat bermimpi. Menyusul Antologi Puisi yang memuat 49 kasidah, yang awalnya kasidah “Naji Al- Ali” (ناجي العلي) dan terakhir adalah kasidah “Wanita yang Kehilangan Ingatannya” (Imra’at Fawadat Dzakirataha – امرأة فقدت ذاكرتها).

Meskipun demikian, semua puisi dalam Antologi Puisi ini konsisten untuk mencerminkan pandangan penyair memperbarui keadaan; sedangkan pandangan itu tidak meniru sesuatu hal sebagaimana realitasnya, bahkan lebih dari itu untuk menyelami kedalamannya yang tersembunyi.

Kasidah-kasidah dalam Antologi Puisi itu mengungkap – seperti tadi disebut – mengenai hubungannya dengan beragam topik di antaranya: menjelang bercinta dan kerinduan, pengembaraan dan bubar, harapan dan keputusasaan lainnya. Tema teakhir ini dapat dikatakan mengikuti kurva dan garis-garis beda yang saling menjelaskan:

Garis Keterasingan

Keterasingan hadir di sini bukan dalam arti isolasi pasif, yang diasosiasikan dengan penyerahan diri dan ketundukan, tetapi dalam arti lain, seperti sekat seseorang yang menolak hal-hal yang salah arah, sensasi yang tidak jelas, dirasakan dalam ungkapan penyair ini sbb:

(Biarkanku membalikkan punggung, supaya ku tak melihat dua tahi lalat dalam takdirku), (ku kan melingkarkan tanganku dan mengikatnya di belakang punggungku sehingga tak bisa memberikan kedamaian kepada siapa pun secara paksa, Antologi: h.7)

Garis kesedihan

Kesedihan merupakan jembatan mengapresiasi sebagian besar kasidah-kasidah Antologi Puisi itu, karenanya kesedihan dapat pula menjadi sumber harapan di satu waktu dan kancah keputusasaan di waktu lainnya. Penggunaan leksikon puitis dengan makna ganda ini terkait dengan obsesi mimpi yang berkeliaran di benak penyair, mimpi yang mempercayai transformasi dan menolak kumun (latensi), dan membawa bersamanya kehidupan yang masih berdenyut meskipun rasa sakit yang berkarat menggerogoti keutuhan manusia yang membuat mereka seperti mawar yang telah menjadi layu, tidak dapat lagi kembali segar. Kondisi ini ditunjukan dalam ungkapan penyair perempuan ini sbb.:

Luka berdarah
Dalam gairah kumenangisnya dan ia menangisku
Dan aku berkata, cukuplah kesedihanku
dan dia berucap cukuplah bagiku (Diwan, Antologi, h.75)

Dalam ungkapan lain:

Aku adalah bintang yang cahayanya telah padam
ku harungi malam seni bagaikan zaman seni
seperti zamanku dulu (Diwan, h.69)

Garis harapan

Harapan tidak dapat menghentikan rayuan beberapa kasidah dalam Antologi, baik secara eksplisit di dalam yang tertulis, maupun yang tersirat di dalam yang tidak tertulis; Tidaklah mengherankan, jika ditemukan penyair dalam puisi Lailatu Ya’sin (Night of Despair) merumuskan sejumlah pertanyaan yang tidak realistis dan makna yang tak sesungguhnya mengisi balutan harapan (raja’) dan keinginan tak berujung (tamanni):

Siapa yang membawa casey untukku?
dan siapa yang membawaku ke pernikahanku?
(Diwan, h.69)

Penyair Layla terkesan lelah. Ia ingin bebas dari segalanya, tetapi dia senantiasa memanggil harapan yang “terkubur di dalam gua” dan “di bawah gubuk yang sarat muat”. Harapan itulah yang berjalan anggun di antara puisi. Lalu di dalam puisi “Terbenamlah Matahariku Terbenamlah”, penyair dapat mengendarai takdir dan berdamai dengan keadaannya, memberi peluang mengamati dirinya dengan harapan tadi. Adapun puisi “ila Thairi l-Muhajir” (to My Migratory Bird) lalu memberi peluang bagi burung bebas terbang sampai ke batas alam semesta dan jarak waktu, agar mengapak sayap kapan pun dan ke mana pun ia mau. Karena sesungguhnya dalam perjalanannya secara sensitif merasakan bahwa alam semesta itu senantiasa menjanjikan harapan