Sastra  

100 Tahun Maha Guru Masih Hidup dalam Kehidupan Kami | Madah Yulizal Yunus

Rasanya tidak kuasa lahat membatasi panjang usiamu maha guru. Izzoeddin Marzoeki, LAL dengan kemuliaan hidup dan jasa yang ditinggalkan masih tertayang dalam memori kehidupan kami. Meski sudah 100 tahun sejak maha guru ada sampai 1 Desember 2020 ini, ajaran indahmu masih menginpirasi semangat setiap insan di lembaga tinggi sastra ini.

Fakultas yang maha guru bangun bersama pendahulu sebut di antara yang terdepan sekaliber Azhari dan maestro seniman sastrawan C. Irar. Berkibar dari nama Fakultas Adab, sontak Kota Payakumbuh menjadi Kota Sastra. Melimpahkan marwah ke kampus rasionalisasi di pelangi langit Kota Padang.

Asa disebut dua tiga selanjutnya, Adab itu untuk seleruh jurusan sastra dunia. Pernah Maha guru memimpin satu dasawarsa sejak 1966, menebar nilai estetika, erotika dan etika akhlak. Ini inti paham sastra menyemai bibit anak bangsa yang santun. Rasanya karakter ini amat kami butuhkan dalam membangun karakter bangsa dalam perjalanan negara yang seperti kehilangan arah karena menciderai jati diri kesantunan bangsa.

Betapa kami sadar maha guru, rasanya kami seperti belum kuat memegang tongkat estafet kepemimpinanmu yang diwariskan dan pernah kami lanjutkan. Jurusan sastra masih satu seperti awal dulu, sastra Arab saja. Tak kuasa kami meyakinkan penguasa pendidikan tinggi, maka kami tercegat membuka sastra dunia lainnya. Di antara argumen mereka dulu, tak boleh buka jurusan sastra selain Arab di payung kementerian agama, karena mereka pandang tidak mata kuliah Islam. Non Arab seperti sastra Cina, bahkan sastra Inggris sekalipun, itu bukan didiplin Islam katanya. Padahal maha guru dulu telah jauh memahamkan pada kami, seluruh seni dan sastra itu Islam dari bangsa manapun lahirnya. Yang penting substansinya menyajikan nilai pengajaran yang Indah, hikmah cerdik cendekia dan irsyadah panduan ke jalan yang benar.

Selepas maha guru dulu, dalam rumit kami mencari peluang malah menggamit tantangan. memaksa Fakultas Adab berubah nama jadi Fakultas Ilmu Budaya -Adab, meski sempat meng-ASIA. Kini namanya Fakultas Adab dan Humaniora, dalam payung Universitas Islam Negeri Imam Bonjol, tekad kuat pun masih terhambat, belum pula kuasa merubah tantangan jadi peluang. Berbanding cita dan kekuatan gerakan maha guru dulu, tak lebih kuat kami sekarang meski didukung pasilitas. Mungkin persoalan goodwill, meminta pensyarah sastra saja masih belum boleh, kehendsk belum berlaku, jangan disebutlah mendapatkan guru besar sastra, wallahu a’lam.

Izinkan kami kembali kepada cara maha guru dulu. Teladan darimu, gelar dan pangkat tak pernah memusingkan, terus belajar mengajar dan rasanya kualitasnya sudah maha guru sastra dengan berbekal LAL al-azhar yang masyhur 1960-han itu.

Dari maha guru kami belajar teks sastra dan kritik sastra di Fakultas Tarbiyah Jurusan Bahasa Arab. Dari maha guru kami kaya paham sastra dan mempermudah menulis sastra. Seingat kami, maha guru mengajar sederhana saja, membacakan teks sastra dengan lahjah Minang saja, tidak harus memaksa kami memutar lidah ke lahjah Arab murni. Istimewanya maha guru pandai mengajar keindahan sastra dengan lidah orang sedang belajar. Kami gemar, rasanya niliai tertinggi kami dapatkan darimu. Apakah itu pula yang membuat kami maha guru beri kesempatan asistensi kami belajar mengajar menjadi guru sastra sampai hari purna bakti ini, persis mata kuliah teks sastra dan kritik sastra sekaligus ilmu dan sejarahnya diamanahkan.

Asistensi dapat pula anugerah dari temanmu maestro seni sastra Islam C. Israr. Kami dibekali matrik ilmu seni pada 3 wujud sebagai sistem kebudayaan: rupa, gerak dan suara, itu saja. Dipintal selebar kuku, dikembangkan selebar alam. Sastra pun pada wujud seni suara melalui baca dan dengar. Karenanya sastra yuhadhid sami’ wa qari’ (mengempati pendengar dan pembaca) untuk memahamkan sastra itu, ada sastra tulis dan ada sastra lisan yang mempesona sebagai cermin murni kehidupan.

Maha guru dan maestro Izzoeddin Marzoeki, LAL rasanya kami tak menjarak dari pernsip dan metodemu. Rasanya caramu yang kami ikuti. Boleh membanggakanmu para pewarismu tumbuh kembang juga. Setelah kami, para senior kami, sastrawan Nukman, Syafrinal, Syamsir Roust, lahir pula pewaris cemerlang kurator doktor sastra Syofyan Hadi, Asrina, Najmah dan yunior mereka. Siapa tahu dengan berkah ilmu maha guru mereka segera menjadi guru besar sastra pula. Biar asa cita Adab berlanjut, kembali bergema icon: kecil tapi Indah. Tenanglah maha guru, tenanglah biar sejarah berbicara.

Usiamu panjang maha guru Izzoeddin Marzoeki LAL dan barakallalahu lakum wa lana min al-sama’i wa l-ardh. 100 tahun maha guru masih hidup dalam kehidupan kami. ***