Sastra  

Baca dan Kaji Puisi di Pentas Tadarus Puisi

Yulizal Yunus – Guru Sastra di UIN IB Padang
(Pengajar Sastra di UIN IB Padang, Pekultum di pentas Tadarus Puisi,
Seniman Sastrawan di Tambud Sumbar, Padang 13 April 2023)

FIKIR.ID – Tadarus lazim dilekatkan dengan kata Al-Qur’an (Tadarus al-Qur’an). Maknanya, bukan sekedar membacakan, tetapi baca ayat-ayat Qur’aniyah dengan benar berulang-ulang untuk menghafalnya disertai dorongan substansi kajian kritis. Biasa dilaksanakan dulu tadarus di surau. Waktunya di malam Ramadhan sebagai bagian konten qiyamullail. Sekarang seniman sastrawan melaksanakan tadarus puisi, adalah sangat fenomenal di dunia sastra berkemajuan. Tidak saja diadakan pada Taman Budaya Sumatera Barat di Padang ibu kota Provinsi Sumatera Barat, 13 April 2023 sore dan juga di daeral misalnya pada Ruang Kreatif Nona Kitchen di Padang Panjang lainnya. Tadarus dan juga nama event lain bincang teknik baca puisi, mengambil momentum mengisi Ramadhan sore dan malam ba’da tarwih dan witir qiyamullail.

Tadarus Puisi dua kata, menaruh indikator konsep yang sarat makna. Tadarus, tidak hanya berarti “membacakan”, tetapi “baca” berulang-ulang menyimpan perinsip substansial kajian kritis. Puisi (lirik, dramatik dan epik) satu di antara jenis karya sastra di samping prosa (cerkan dalam bentuk novel, cerpen dan atau naskah skenario seorang sutradara teater dan film). Kalau begitu tadarus puisi, arahnya tidak sekedar “membacakan” tetapi “baca” berulang-ulang menaruh perinsip substansial melakukan kajian puisi, baik teknik baca maupun mengapresiasi, menginterprestasi, menganalisis dan sintesis sebagai bagian langkah kritik puisi.

Dengan tadarus puisi, tersingkap teknik baca puisi yang benar, sekaligus kritis menyelami dan mengeruk makna puisi, mana puisi agung dan mana puisi kamar saja dan atau mana pula puisi khayalan (rekaan) semata. Al-Qur’an (Surat Syu’ara: 227) mengapresiasi puisi agung (amal saleh) yang kontennya meliputi: (1) keimanan, gambaran keberimanan penyairnya, (2) amal saleh, gambaran penyairnya yang saleh, (3) zikir, gambaran penyainya yang lidahnya banyak meyebut nama Allah, (4) sabar, gambaran penyairnya mendapat reward – kemenangan setelah ia menderita kezaliman dan dizalimi.

Sebaliknya Al-Qur’an (Syu’ara:224-226) tidak menyukai syair rekaan (khayalan) semata, dengan ciri nilainya adalah: (1) sesat, gambaran penyairnya sesat senantiasa diikuti orang sesat, (2) khayalan tak terarah, gambaran penyair yang khayalannya terus menerus mengembara hanya ke berbagai lembah, (3) munafik, tak sesuai kata dengan perbuatan, lain kata lain perbuatan, selalu mengatakan sesuatu yang tidak akan dapat mereka lakuan. Puisi yang tidak disukai ini, tak layak dilekatkan kepada penyair dalam pandangan Islam, justru merusak citra penyair itu sendiri. Untuk menjelaskan terhadap syair tak disukai itu, baca inspirasi QS. Yasin: 79, QS Anbiya’ 21:5, QS As-Saffat 37:36, QS At-Tur 52:30, QS Al-Haqqah 69:41, dari jalan cerita tuduhan orang non muslim, menuduh Nabi SAW itu penyair dan ayat –ayat Qur’an itu dituduhkannya sebagai syair, padahal jelas-jelas Al-Qur’an itu wahyu Allah SWT. Na’uzi billah bin dzalik (kita berselindung dari hal itu).

Dalam tadarus puisi justru ada tugas penyadaran kepada para penyair dalam menggubah puisi, memilih yang puisi agung. Puisi agung gambaran kontennya dalam QS.Syu’ara 227 tadi, keluar kemurnian akidah amal dan akhlak yang terpuji tercermin dalam semua unsur puisinya. Unsur puisi pada perinsipnya: khayal (rekaan), shurah (imajinasi, citra), ‘athifah (perasaan, emosi cerdas), fikrah (pikiran, pesan cerdas), lughah (bahasa dengan sitilistika khusus), al-musiqi (musikal, irama, rima) lainnya. Dominan unsur puisi adalah ‘athifah (perasaan, emosi cerdas). Beda dengan karya jenis sastra prosa yang unsur dominannya fikrah (pikiran, pesan cerdas), meskipun puisi juga punya unsur fikrah (pikiran, pesan cerdas).

Karenanya puisi agung dari perspektif unsur dominannya itu dapat didefenisikan, adalah puisi itu karya sastra ‘athifah (perasaan, emosi cerdas) tanpa mengabaikan fikrah (pikiran, pesan cerdas). Perasaan cerdas dan pikiran cerdas itu anugerah Allah SWT. Justru itu pula, dapat diteorikan, siapa saja penyair mampu menuliskan perasaan cerdasnya dengan jujur, ia dapat mengubah puisi agung . Siapa yang tidak jujur menuliskan perasaan cerdasnya itu, ia tidak akan bisa menulis puisi, apalagi yang tidak punya perasaan sama sekali.

Al-Qur’an tidak membatasi berimajinasi apalagi bagi penyair, justru memberi wawasan luas dan pilihan dalam berimajinasi sebagai dasar mengembangkan khayal (rekaan). Namun Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi orang bertaqwa (huda lilmuttaqin), menawarkan petunjuk untuk berimajinasi seperti hal dalam menulis/ menggubah puisi itu termasuk juga untuk jenis sastra prosa lainnya. Pilihan itu, tentulah memilih menggubah puisi agung yang esensinya tercermin dalam semua unsur puisi tadi. Justru esensinya itulah yang dihargai sebagai puisi agung.

Apa bentuk penghargaan terhadap puisi agung dalam perspektif sastra Islam, di antaranya adalah “diterima sebagai sumber pengajaran, hikmah dan panduan dalam berke-Islam-an”. Dijelaskan dalam hadis Nabi SAW, inna min syi’ri lahikmah (sebenarnya, sebagian dari puisi itu, benar-benar sarat dengah hikmah). Artinya puisi agung itu secara substansi hikmah (wisdom). Justru esensi puisi agung itu tadi mencerminkan persyaratan seni Islam terpenuhi. Seni Islam itu secara substansial saratnya adalah majmu’atu min al-mawa’idz wa l-hikmah wal irsyadah (himpunan nilai pengajaran yang indah, nilai hikmah dan panduan ke jalan yang lurus).

Panduan seni puisi agung itu, membawa ke jalan yang lurus, berkata benar, penyairnya komit dengan kebenaran, sesuai kata dengan perbuat. Arah ini terdapat dalam Kitab Nail al-Authar, hadis-hadis fiqhi seni, bahwa siapa yang bernyanyi (berpuisi), dan perilakunya di luar tidak serupa dengan tema puisinya artinya tidak memandu ke jalan yang benar, maka hasil dari jasa penyanyi melagukan nyanyi (puisi) itu adalah haram dimakan. Wallahu a’lam bishshawab!