Sastra  

Padamu Nurul Huda | Elegi Yulizal Yunus

Padamu Nurul Huda! Tenanglah tenang, biar sejarah berbicara seiring zaman yang berubah!

Kami terkenang, betapa kau dulu bersama dan bekerjasama dalam kata kunci membangun Fakultas Adab di jantung Kota Sastra, Kota Payakumbuh hari ini yang kemudian dalam program rasionalisasi hijrah ke Padang ibu Kota Provinsi.

Meskipun kami tidak berjumpa denganmu Nurul Huda, kau senantiasa ada dalam memori ingatan kolektif kami di Adab ini, yang kini bernama Fakultas Adab dan Humaniora, adalah satu di antara Fakultas di Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang.

Salut kami, ketika belum terpikir padamu suatu saat berladang, kau sudah rela mengorbankan semua menimbun locah, tidak hanya raga bahkan jiwa. Kami malu pada mu, meski kau tersenyum andai melihat kami hari ini di sini gagah-gagah, cerdik dan pandai.

Tak tahulah pasti apakah kami menyemai benih di sini di ladang dan menanam tumbuh berbuah, yang buah manisnya diwariskan untuk generasi ke depan atau kau melihat kami berladang menanam tumbuh berbuah untuk dipetik hari ini juga untuk diri sendiri. Entahlah, kami menutup wajah dengan sepuluh jari malu padamu.

Justru kamu Nurul Huda, yang jelas benih yang kau tabur bersama di persemain ini tubuh berkecambah dan berbuah manis, maaf kami yang menikmati dan kau telah pergi sebelum pohon ini berbuah.

Ya, sepeninggalmu, yang kau tanam berbuah melahirkan beribu sarjana – pasca sarjana dan ulama! Di jurus bahasa dan sastra Arab, Sejarah Kebudayaan Islam serta Perpustakaan dan Dokumentasi! Kami tak tahu benih unggul dari manakah dan kau yang menanam generasi unggul dengan kekayaan spiritual luar biasa, kami para guru dan mahasiswa ingin belajar darimu dan dari orang-orang yang mengantarkanmu.

Betapa aku berdecak subhanallah ketika generasi sesudahmu Rusydi Rambli dan Sayfrinal dan kawan-kawan berkisah tengtangmu Nurul Huda. Kau pahalawan kami. Makamu saksi bisu tak jauh dari masjid yang mengabdikan namamu Nurul Huda.

Nurul Huda, tenang tenanglah, biar sejarah berbicara. Ketika kau mahasiswa pertama Fakultas Adab! Mungkin segenerasi dengan Ruslan Jannah dan kawan-kawan?

Qila wa qala, terberita di langit menjadi kaba di bumi, kau dan generasimu kuliah numpang di Ma’had Islami yang didirikan senior dan gurumu Izuddin Marzuki Sastrawan, kurator dan guru sastra yang aku juga pernah berguru dengannya dan bangga menjadi asistennya mengajar di Fakultas yang dicita-citakanmu dulu.

Andaikan kau melihat Adab sekarang, dengan gedung dan fasilitas memadai didukung teknologi canggih, pastilah kau bertasbih subhanallah meski disertai ironis dalam kekuarangan guru pada disiplin langka, ya apalagi guru besar sastra juga sejarah dan perpustakaan.

Qila wa qala, diceritakan Nurul Huda mahasiswa sastra yang ketika itu baru ada jurusan sastra Arab meski dirancang untuk seluruh sastra dunia Semangatmu segenerasi yang kalau dihadapkan dengan disiplin sekarang sebenarnya ironis juga mahasiswa sastra di mana-mana rentan drop out bahkan pada kabur, lantaran mereka risih, susah sarjana sastra mau kemana, mau hendak berladang di mana? Itupun tamatan, mulai segenerasimu sampai kini, nyaris tak termonitor, seberapa banyak yang bekerja dan tidak bekerja, padahal itu penting bagi perbaikan bekal skill di samping disiplin keilmuan yang menawarkan menjadi

Kurator sastra, sejarah dan kepustakaan

Tidak tidak, kau tidak seperti itu, yang penting belajar dan belajar, kuliah, karena mungkin kau sudah punya skill sudah imam juga dan menguasai kitab kuning pula. Karenanya dalam kuliah pun, kau berfikir harus berbuat untuk almamater. Sadar benar, daripada harus stelah habis masa numpang kuliah, sebaiknya kita punya kampus sendiri. Ya pastilah lambat laun numpang kan pergi juga. Ternyata persepsimu benar, Ketika siswa PGA dan Ma’ahad rami, lokal tak tersisa untuk mahasiswa Adab, dengan berat hati, mencari rumah sewa tempat belajar baru. Ya solusinya kampus baru! Dana membangunnya dari mana? Kau bertekad semangat semangat bersama berjuang dan berjuang.

Kau tak terdengar berlagu kasidah lama: dana ya dana! Kau berkreasi, mencoba bersama dengan segala upaya berjalan di nan lurus, mendapatkan dana. Menyodok pasir dan tanah, mengisi oto kopan pasir, goro menimbun jalan dan lahan yang becek. Hei… kami mengingatmu juga semangat temanmu Buyung Lawik yang pandai membaca kitab kuniang itu.

Tekadmu bulat itu Aku yakin bukan karena piawainya seniormu, mahagurumu dan pemimpinmu Izuddin Marzuki, Abuhanifah, Rivai Mamany, C. Israr dan Nukman serta Nur Ali, merayumu.

Bukan kerena sekedar mengingat sejarah besar tekad dan pejuangan pendahulu, betapa Mahmud Yunus ke Mesir merayu maha guru kita Izuddin Marzuki pulang, mengisi peluang Minangkabau negeri 1000 ulama dan negeri 1000 raja pada 200-san nagari beraja-raja mendirikan perguruan tinggi Islam hendak melahirkan sarjana yang ulama!

Bukan sekedar tahu cerita sedih pendahulu Azhari pendiri Yayasan Imam Bonjol bertungkuslumus susah atas kesusahan menggagas bersama berdirinya IAIN Imam Bonjol bersama ulama pemangku adat dan cadiak pandai! Bayangkan sang Sekda Kotamdya Padang itu, lantaran berjalan di nan lurus tidak mau menggunakan plat merah, rela berjalan kaki dan kadang turun naik oto kopan truk pasir ironisnya di hari hujan baju basah bercampur lumpur memancing air mata mengambang di pelipis, ia sampai juga ke Payakumbuh.

Bukan saja lantaran tahu kisa sedih Azhari yang mengundang hiba hati Pemerintah Daerah Tingkat I Kabupaten Lima Puluh Kota, lantas mendukungnya dengan mendirikan Yayasan Pendidikan Islam, pun Bupati R. Slamet Suhindrio berkenan pula menjadi ketua dan bergandengan tangan dengan Yayasan Imam Bonjol Azhari mendirikan Fakultas Adab 20 Januari 1963. Pemimpin Yayasan itu membesarkan tokoh daerah memimpin Fakultas Adab, koordinator di awal masa (1963-1964) Amiliyus Sa’danur dengan Sekretaris Baharuddin Buyung.

Bukan… bukan, justru nuranimu benar yang kaya spiritual, Nurul Huda! Itu yang menggerakkan kakimu melangkah berjalan Panjang di jalan-jalan becek setapak masuk kampung keluar kampung sampai ke Pangkalan Kapur-9 Berbekal taqwa dan keikhlasan mengorbankan waktu, kesempatan dan perasaan, berhadapan dengan segala parangai orang, merayu agar mereka menyumbang, menanam buah sorga dengan membangun Fakultas  Adab ini.

Parangai sementara orang yang kalau disebut, mereka diajak berbuat ihsan menyumbang… wail, sudahlah kita tahu semua. Didatangi, khutbahnya panjang, bukan satu dua kata yang sumbang, kadang tidak pula menyumbang! Tidak budaya memukat di pantai kampung nelayan, baru seekor teri yang dicacak si tukang cacak, carut pungkangnya tiga keranjang, tapi hatinya baik malah mau pulang terinya ditambah bekal pulang.  

Syahdan, kau Nurul Huda terus dan terus bertahan dengan gigih dalam menghadapi orang-orang demi mengumpul dana membangun Adab ini. Sampai kau jatuh, sakit dan wafat. Qila, kau diguna-gua namun yakinmu bertahan semua sudah ketentuan Allah SWT.

Biarkan kami belajar warisan nilai-nilai sejarah perjuangan segenerasimu Nurul Huda dalam momentum Milad ke-59 Adab ini. Kau, tenanglah tenang tentram pahlawan, biar sejarah berbicara.

Kalau mau, kami ingin tiap tahun membawa generasi baru ini dengan cipitas akademika meski wakil-wakil seperti yang sudah dibuat pendahulu menziarahi makammu. Berdoa, kiranya Allah berkenan senantiasa menempatkanmu almarhum dalam rahmatNya***