Sastra  

Lalai

Dr Yulizal Yunus Dt Rajo Bagindo

Oleh: Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo

FIKIR.ID – Terlena, lalai dan terlalai. Lalai itu sia-sia. Lalai di jalan raya, celaka. Lalai dalam shalat celaka masuk neraka wil (QS. Al-Ma’un 107:4-5).

Lalai itu lahir dari sikap menunda-menunda waktu. Sikap suka menunda waktu itu, merupakan gejala lemah dan pemalas. Hidup malas di waktu muda, di waktu tua buruk, menderita. Logika ini terbaca dari dua kata yang bersanding dalam do’a. Rasulullah SAW mengajarkan selalu isti’an (minta perlindungan) kepada Allah SWT pagi dan petang paling tidak, dari dua kata bersanding itu.

Dua kata dalam do’a itu adalah “al-kasal (pemalas)” dan “su’ulkibar (hari tua yang buruk)”. Doanya: a’udzubika min al-kasal wan su’ulkibar (ya Allah, lindungi aku dari pemalas dan hari tua yang buruk).
Hari tua buruk, karena pemalas di waktu muda. Terlena dan tak punya pangana pada waktu muda. Hidup menjadi lalai dan tanpa terasa, sudah berlalai-lalai. Lalai itu sia-sia dan menyia-nyiakan hidup. Hilang pangana. Sepanjang waktu “terlena”. Tak tahunya masa muda habis, tua terlampau, dekat ke pintu kubur. Hayat (hidup) susah dan wafat (mati) tersiksa dalam kubur. Wil, di akhirat celaka.

Mencermati resapan hati dan pikir tentang “lalai”, “hilang pangana” dan “terlena” tadi, menarik dihayati sastra prosa lirik Buya Hamka berjudul “Terlena”. Bisa didengar pada kaset audio, Puisi Buya Hamka, Terlena (Musikalisasi) yang tadinya dishare Pak Haji Arnis Saleh. Baca banding juga, dengan teks prosa lirik Buya Hamka berikut ini:

Terlena
Waktu berlalu, begitu pantas, menipu kita yang terlena. Belum sempat berzikir di waktu pagi, hari sudah menjelang siang. Belum sempat bersedekah pagi, matahari sudah meninggi. Niat pukul 9.00 pagi hendak shalat Dhuha, tiba-tiba azan Zuhur sudah terdengar. Teringin setiap pagi membaca 1 juz Al-Quran, menambah hafalan satu hari satu ayat, itu pun tidak dilakukan.

Rancangan untuk tidak akan melewatkan malam kecuali dengan tahajjud dan witir, walau pun hanya 3 rakaat, semua tinggal angan-angan.

Beginikah berterusannya nasib hidup menghabiskan umur berseronok dengan usia? Lalu tiba-tiba menjelmalah usia di angka 30. Sebentar kemudian 40. Tidak lama terasa menjadi 50. Dan, kemudian orang mulai memanggil kita dengan panggilan tok wan, atuk, nenek! Menandakan kita sudah tua.

Lalu, sambil menunggu sakaratul maut tiba, diperlihatkan catatan amal yang kita pernah buat. Astaghfirullah! Ternyata sedekah tidak seberapa dan infak cuma sekadarnya. Mengajarkan ilmu juga tidak seberapa. Silaturrahim kurang terjaga.
Justeru, apakah roh ini tidak akan melolong, meraung, menjerit menahan kesakitan di saat berpisah dari pada tubuh ketika sakaratul maut? Tambahkan usiaku ya Allah! Aku memerlukan waktu untuk beramal sebelum Kau akhiri ajalku!
Belum cukupkah kita menyia-nyiakan waktu selama 30, 40, 50 atau 60 tahun? Perlu berapa tahun lagikah untuk mengulang pagi, siang, petang dan malam hari, perlu berapa minggu, bulan dan tahun lagi, agar kita bersedia dan siap untuk mati?

Kita tidak pernah merasa kehilangan waktu dan kesempatan untuk menghasilkan pahala, maka 1000 tahun pun tidak akan pernah cukup bagi orang-orang yang terlena (Hamka).

Citra Hidup Terlena:
Jadi Perasaan dan Buah Pikiran Kemudian
Sastra prosa lirik Buya Hamka ini menaruh unsur utama sastra, yakni shurah (citra, imej), ‘athifah (perasaan) dan fikrah (pesan). Sepertinya citra hidup orang “terlena” digambarkan dalam petatah (menata) kehidupan orang Minangkabau:
Sesal dahulu pendapatan
Sesal kemudian tak berguna
Hari pagi dibuang-buang
Hari petang dikejar-kejar
Hari muda disia-siakan
Hari tua jadi penderitaan

Lihatlah unsur sastranya, shurah (citra) hidup orang “terlena” yang menggambarkan ‘athifah (perasaan) dan fikrah (pikiran, pesan).

Alinea pertama prosa lirik Hamka, betapa digambarkan citra orang terlena. Karena menyia-nyiakan waktu, tak tahu saja ia sudah tertipu waktu. Waktu pagi, siang dan petang habis sia-sia. Tak sempat berzikir, bersedekah pagi pagar segala petaka, shalat Dhuha membuka pintu rezki beribadah dan sejahtera, waktu zuhur pun sudah datang pula. Ingin pagi membaca 1 juz Al-Quran atau memperbanyak hafalan ayat-ayat, sehari itu los semua. Perasaan bercampur, pikiran membawa pesan sadar. Betapa terasa hari pagi dibuang-buang dan siang sia-sia. Tiba-tiba hari sudah petang saja dan senja segera berganti malam. Citra hidupnya, hari pagi dibuang-buang, hari petang dikejar-kejar. Justru pagi yang berlalu tak akan kembali, kalau masih yang besok pagi lagi.

Alinea kedua prosa lirik “Terlena” Hamka, memperlihatkan citra hidup terlena malam terlewatkan begitu saja. Ingin shalat malam: tahajjud dan witir, pun luput. Ada bangun pukul 3 malam, hanya sekedar ke kamar mandi, kencing, lalu kemabali ke ranjang dan tidur lagi. Atau, qiyamullail (mendirikan malam) Ramadhan: tarwih 8 rakaat dan atau 20 rakaat tambah witir 3 rakaat. Terus membaca Al-Qur’an yang nilainya satu huruf saja nilai pahalanya 10. Atau bangun dua pertiga malam shalat malam juga hanyut. Kata Buya “semua tinggal angan-angan”. Perasaan, betapa runyam pikiran, waktu yang tak terisi dan terlewatkan begitu saja. Ingat pesan, waktu yang berlalu tidak akan kembali lagi.

Alinea ketiga sastra prosa lirik Hamka, betapa citra gambaran hidup terlena, membuahkan penyesalan. Usia muda remaja terlewatkan. Berganti usia: “tua belum, muda terlampau”. Ibarat pinang sirah ikua. Terlena, terbuai aduhai, lalai, tak sadar sudah tua saja.

Masa muda tidak akan kembali lagi. Malas waktu muda, hari tua sengsara. Unsur perasaan, dibilang nasib! Banyak pikir, ya telmi (telat mikir). Justru nasib itu, kita yang merubahnya. Allah, mau merubahnya sesuai kemauan kita ingin berubah.

Alinea keempat prosa lirik Hamka, betapa citra kehidupan orang terlena. Tak sadar, saatnya sakaratul maut sudah tiba. Perasaan tumbuh. Sadar, muda dan tua sudah terlewatkan. Mengucap, astaghfirullah! Ya sudah, semua terlambat. Pikir, saat sekarat, dibuka Allah, ternyata amal ibadah kurang. Bangkrut, istilah agamanya muflis (tekor), lebih banyak dosa dari pahala. Sedekah dan infak cuma sekadarnya. Mencari ilmu dan mengajarkannya tidak seberapa pula. Di tempat kerja kekompakan selalu cidera, karena kompetisi tidak sehat. Silaturrahmi di keluarga pun kurang terjaga, bahkan beradik kakak “bakarek rotan” pula. Meranalah roh saat akan berpisah dengan badan. Tiada senyum, malah kesakitan luar biasa.

Alinea kelima sastra prosa lirik Hamka, betapa unsur sastra citra menggambarkan kehidupan disebabkan di dunia terlena. Saat sekarat, koma akan wafat, “roh melolong, meraung, menjerit menahan kesakitan”, nyawa berpisah dari badan. Pikir, terlambat. Mencoba minta tambah usia kepada Allah. Beri aku waktu untuk beramal sebelum Allah akhiri ajal. Pinta nan indak ka balaku, kandak nan indak ka buliah. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi, nyawa sudah sampai di kekorongkongan, koma. Terlambatlah sudah.

Alinea keenam prosa lirik Hamka, unsur citra kehidupan terlena, menggambarkan betapa hidup menyia-nyiakan waktu. Sia-sia waktu masa muda sampai tua. Perasaan, terasa hidup dari muda sampai tua menyia-nyiakan waktu. Pikir, terlambat. Masih belum cukup hidup dalam kesia-siaan yang sudah berlalu? Kata Hamka, perlu berapa tahun lagikah untuk mengulang pagi, siang, petang dan malam hari, perlu berapa minggu, bulan dan tahun lagi, agar kita bersedia dan siap untuk mati?

Alinea ketujuh prosa lirik Hamka, betapa pula mencemaskan citra hidup yang sejak dulu terlena. Tak pernah merasa kehilangan waktu dan kesempatan untuk menghasilkan pahala. Muncul pikir, usia ditambah “1000 tahun pun tidak akan pernah cukup bagi orang-orang yang terlena”, sebut Hamka.
Tak Ada Susah Secemas Mati Tanpa Pahala
Seiring, prosa lirik Hamka baris terakhir, meski usia panjang ditambah 1000 tahun lagi, tak bakal cukup bagi orang yang hidup terlena di dunia. Allah SWT memperingatkan dengan FirmanNya dalam Al-Qur’an (Surat Al-Baqarah ayat 92) yang intinya: seumpama orang musyrik (mempersekutukan Allah dengan sesuatu), mereka loba kehidupan dunia (ingin yang tak berujung dan berpangkat, tak puas), masing-masing mereka ingin pula diberi umur panjang 1000 tahun atau lebih. Diingatkan, ditambah umur panjang itu, tidak akan dapat menjauhkan mereka nanti dari siksa Allah, justru Allah tahu apa yang mereka kerjakan.
Pekerjaan dunia, terlena, menunda waktu dan sia-sia, membawa bangkrut amal, maka siksa Allah tidak satu hari. Di sisi Tuhanmu 1 hari itu sama dengan 1000 tahun menurut perhitunganmu (lihat Q.S.Hajji 22:47, QS.As-Sajadah 32:5). Siksa Tuhan itu bukan 1000 tahun, tetapi selamanya. Adalah siksa orang yang muflis (bangkrut amal pahala). “Pahala tekor di banding dosa”, disebabkan hidup lalai, terlena dan terpesona dunia, seperti tak ingat hidup akan mati. Terasa betul makna tausiyah dalam prosa lirik Hamka tadi.
Astaghfirullah! Ampuni kami yang Allah. Ya Allah jauhkan kami dari hidup lalai, terlena, malas dan sia-sia, tak punya pangana, meski sudah menyia-nyiakan umur sepanjang hidupnya. Tak sempat pikir, hidup akan mati, kembali kepada Allah SWT. Amin ya Rabbal ‘Alamain! (Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo).