SAKO’s Journey Melihat Ba-Adat Parik Panjang

Rombongan SAKO's Journey mencoba duduk di Batu Baselo Matua Ilia

FIKIR.ID – Bertambah wawasan membaca nan tasurek (yang tersurat), nan tasirek (yang tersirat) dan nan tasuruak (yang tersuruk). Membaca tiga hal itu bagian agenda SAKO’s Journey dalam Program Yayasan Saiyo Sajalan Sakato (SAKO) mendalami asal usul dan suku-suku Minangkabau.

Dimulai bertutur adat cerita moyang di Nagari Parik Panjang. Justru tepat sekali, karena disebut di Matur, “beradat ke Naggari Parik Panjang”.

Sebuah mufakat dibuat sejak kurang lebih 200 tahun lalu oleh ninik mereka nan-27 dari Pagaruyung. Hasil musyawarah pertama mereka pada Batu Baselo di Matur Hilir (Matua Ilia). Di ambang temaram senja Sabtu 30 Juli 2022 saya sempat mencoba duduk pada Batu Baselo di Matua Ilia itu.

Turut duduk di Batu Baselo itu, sebagian rombongan SAKO’s Journey. Rombongan GG. Dt. Parpatiah, HZ St. Bagindo, AR Piliang Malin Marajo, YY Dt.Rajo Bagindo, J.Rio Bandaro, HY. Dt. Tan Patiah, MD. Dt. Putiah, S.Dt. Malano, A.Dt. Maninjun, J.Angku Janiah, N. Dt. Basa Nan Balimo, Bundo Syofiarni, Bundo Nelly Pebriatmy, Bundo Nofyelni, Bundo Sepit Sugiarti Ningsih, Bundo Yapriati lainnya didampingi ninik mamak Nagari Parik Panjang dipimpin Ketua KAN Parik Panjang Nasril Dt. Sampono Intan dan pemandu dari Matua Ilia.

Duduk di Batu Baselo itu, ada suasana nyaman dan adem meski terasa agak mistis. Datuk Perpatih menarik tangan saya, berdiri menengok onggokan bebatuan bagaikan menhir dan turbah tersusun sedemikian rupa. Suasananya lebih adem, terasa sesuatu di tengkuk saya senja itu. Mungkin ada nan tasuruak di sana. Literasi apa ? Datuk Perpatih dan Bunda Yapriati yang mungkin diberi tahu ! Mencengangkan ! Subhanallah.

Situs Masjid Picuran Gadang Matua Mudiak Imam Tungga.

Suasana di berbagai situs Matua tadi mengingatkan perjalanan moyang mereka. Terbayang prosesi perjalanan mereka menyusun adat. Adalah menyusun kiat melaksanakan adat basandei syara’, syara’ basandi Kitabullah. Mereka pertama bermusyawarah di Batu Baselo mengambil mufakat. Dari Batu Baselo ninik moyang nan-27 menyebar. Yang ahli agama malin kitab kuniang, 7 orang tinggal di Matua Ilia dan 10 orang dipimpin Imam Tunggal ke Matua Mudiak yang kemudian membangun Surau Pincuran Gadang tahun 1825. Sedangkan 10 orang lagi ke Parik Panjang ahli adat, mereka juga mendirikan surau tahun 1870 yang arsitekturnya sama. Beratap tiga tingkatan berundak dan melimas dan bertonggak tua di tengah tegak lurus menuju puncak atap.

Makan Bajamba dalam Silaturrahmi SAKO’s Journey ke KAN Parik Panjang Matur Agam.

Wajarlah Batu Baselo dan situs lainnya di Matur, menjadi DTW sejarah, budaya dan wisata alam. Khusus bebatuan Batu Baselo di Jorong Batu Baselo Matur Hilir itu, tersusun bagikan menhir berbagai bentuk. Ada serupa kursi disertai meja batu pipih. Ada juga bentu plataran hidangan sesajian. Ada bentuk lesung bahkan ada bentuk turbah (nisan) moyang. Semua peninggalan itu menyimbolkan tambo alam yang mengamanatkan asal usul moyang di Matur itu.

Kami masih menikmati situs sekitar Batu Baselo. Satwa senja sudah mulai bernyanyi, pertanda segera pertukaran siang dengan malam. Cengrama dan perbincangan terus jalan menunggu azan. Mematut-matut onggok bebatuan, apa ada kemungkinan batu turbah (mejan) di pandam perkuburan moyang. Saking aysik menikmati dan bertutur hilir mudik, nyaris tak sadar harus kembali, kalau tidak bergema suara Dt. Perpatih, yuk kembali!.

Kita berprasangka baik, bebatuan di sekitar Batu Baselo Matua Ilia itu punya nilai sejarah cagar budaya dan arkeologis menarik. Bebatuan terdapat berbagai bentuk. Ada menyerupai kursi, meja pipih, tempat hantaran (sesajian) atau berupa lesuang dan ada berbentuk turbah (nisan) panjang dan atau menhir berkaitan dengan warisan adat budaya moyang. Beralasan jorong ini dinamakan Jorong Batu Baselo, karena ada situs Batu Baselo yang punya sejarah tempat bermusawarah moyang mereka mengambil mufakat menyusun adat ke arah tambo adat barih balabeh. Karenanya kekayaan warisan tradisional ini semestinya dilestarikan,” usul semua yang hadir.

Sejarah Parik Panjang

Asal usul Nagari Parik Panjang terdapat dari sumber manuskrip, jura diceritakan orang tua-tua di Nagari Parik Panjang, Ketua KAN Parik Panjang Nasril Dt. Sampono Intan suku Sikumbang menyebut nenek moyang mereka datang dari Pagaruyung. Ada juga yang menyebut dari Sungai Tarab dan Pariangan.

Mereka datang berkelompok dan beberapa suku. Ada kelompok yang menempuh jalur Padang Kunyit dan Tilatang Kamang. Terus ke Batuang Babuai dan Sitingkai. Mereka suku Caniago.

Ada jalur Sariak Sungai Puar, Koto Gadang, Sianok Sungai Jariang, Kampuang Pisang seterusnya ke Matur. Mereka dari suku Sikumbang, Tanjung, Caniago lainnya. Ada yang menyebut sebelumnya berhenti di Aia Taganang disebut Lurah Taganang, kini dikenal Jorong Lurah Taganang di Matua Ilia.
Nenek Moyang dari Pagaruyung tadi berjumlah 27 orang. Mereka datang diperkirakan sekitar 200 tahun yang lalu. Nenek moyang itu berkumpul pada Batu Baselo di Matua Ilia. Justru Batu Baselo itu menandai tempat bermusyawarah moyang tadi. Dari situ mereka menyebar, yang tujuh orang ahli adat sampai di Parik Panjang.

Dalam Silatturrahmi SAKO, 30 Juli 2022, Ketua KAN Nasril Dt. Sampono Intan Sikumbang bercerita banyak tentang nagarinya. Ia berceita didampingi masyarakat adat dan penghulunya. Di antaranya Dt. Gunuang Basa/ Ketua Bamus/ Sekretaris KAN Suku Tanjung, Dt.Rajo Imbang/ Mantan Walna Sikumbang dan Dt. Rajo Api Caniago.

Moyang waktu akan ke Parik Panjang, sebut N.Datuk Sampono Intan, mereka memperhatikan wilayah yang dilalui. Mereka terkesan dengan geografis, orbitasi dan topografisnya. Nagari Parik Panjang justru memiliki wilayah perbukitan, bergelombang di samping ada lurah (lembah). Bukit dan lembahnya mempunyai tebih-tebing menyerupai pematang dan parit-parit yang kokoh. Karenanya ninik moyang menamakan wilayah ini dengan Parit Panjang. Di sini mereka membuat teratak sampai diproses menjadi nagari dan mereka menyusun adat melaksanakan mufakat Batu Baselo.

Menyusun Adat

Pada Batu Baselo itu nenek moyang Matua itu bermusyawarah mengambil mufakat. Lalu Dari sana mereka menyebar. Berbagi, seperti tadi disebut, 10 orang tinggal di Matua Ilia mereka piawai membaca kitab dan memeberi makna, 10 orang pergi ke Matua Mudiak, mereka ahli agama juga dipimpin Imam Tunggal dan 7 orang ke Parik Panjang mereka ahli adat.

Dari pendistribusian ninik tadi, disusun adat. Terdapat 3 Nagari dari 6 Nagari di Matur sekarang menjadi satu kesatuan masyarakat hukum adat. Yakni Nagari Parik Panjang, Nagari Matua Ilia dan Nagari Matua Mudik, ketiganya terstruktur dalam filosofi adatnya yang seadat selimbago, saukua sapajangko, sagarih sapamainan. Maka disebutah fungsi tiga nagari tadi dalam petiti seperti ini:

Ba-mimba ka Matua Ilia
Ba-imam Tungga ke Matua Mudiak
Ba-adat ka Parik Panjang

(Bermimbar ke Matur Hilir
Berimam Tunggal ke Matur Mudik
Beradat ke Parik Panjang)

Justru ninik yang ke Parik Panjang ini, ialah ahli adat. Sedangkan ke Matua Mudiak kepala rombongan ninik. disebut fungsi Imam Tunggal Imam Maharajo, urang cadiak di tangah koto urang tua di Nagari, pandai mangabek (mengikat) dengan membuhul sentak, jarang orang bisa mengungkainya, tiba orang yang punya, buhul rarak (ungkai) saja.

Disebut juga dalam manuskrip mereka, tentang 10 ninik yang pergi ke Matur Mudik tadi. Mereka ialah: (1) Datuk Maharajo Nan Batuah, (2) Datuk Demangando, (3) Datuk Rajo Sutan, (4) Datuk Bagindo, (5) Datuk Sinaro, (6) Datuk Bandaro Putiah, (7) Datuk Demang Gagah, (8) Datuk Panjang, (9) Datuk Maruhun Labiah, (10) Datuk Mangkuto Nan Putiah.

Yang tinggal di Matua Ilia juga ahli agama disebut fungsi bermimbar, pandai malafaz jo makna (pandai membaca lafaz kitab dan tahu makna), tanda ahli agama. Faktanya Matua Ilia ada Batu Baselo, tak jauh dari sana terdapat di Matua Mudiak ada Pincuran Gadang, ninik yang ahli agama (ulama) itu membangun surau dan masjid. Sekarang DTW Alam Picuran Gadang dan DTW religius masjid di Pincuran Gadang itu.

Terjurai ke Parik Panjang, balerong budi ganto suaro (berbalai sidang budi genta suara), juru adat limbago (guru adat di kaum adat), bukan limbago masa kini, tuangan dari Pagaruyung, Setitik nan babarih bapantang lupo (yang berbaris berpantang lupa). Maka disebutlah ninik yang ke Parik Panjang itu ahli adat.

Struktur adat Nagari Parik Panjang, tergambar dari posisi ninik mamaknya yang ber-7 di dalam suku masing-masing. Ialah, dua dari Suku Sikumbang dipayungi Datuk Rajo Imbang dan Datuk Sampono Intan. Dua dari Suku Tanjung dipayungi Datuk Bandaro Panjang Nan Itam dan Datuk Manso. Dan tiga dari Suku Caniago dipayungi Datuk Parpatiah, Datuak Rajo Api dan Datuk Rajo Malano.

Wilayah, Orbitasi dan Geografi

Nagari Parik Panjang sekarang dipimpin Wali Nagari Yulianto dengan Sekretaris Anita Wati. Nagari ba-adat ini berada dalam wilayah Kecamatan Matur (Matua) sekarang, satu di antara 6 Nagari.

Enam 6 nagari itu, yakni Nagari Parik Panjang, Nagari Lawang, Nagari Tigo Balai. Nagari Matua Ilia, Nagari Matua Mudiak dan Nagari Panta Pauh.

Jaraknya 1 km dari ibu kota kecamatan, 42 km dari ibu kota kabupaten Agam dan 112 km dari ibu kota Provinsi Sumatera Barat Padang.
Nagari Parik Panjang terdiri dari dua jorong: Jorong parik Panjang dan Jorong Mudiak Sawah.

Dilihat dari orbitasi (letaknya), berbatas sebelah Utara dengan Nagari Matua Mudiak, sebelah Selatan dengan Nagari Matua Hilia, sebelah Barat dengan Nagari Matua Mudiak dan sebelah Timur dengan Nagari Panta Pauh.

Secara geografis, topografis dan demografis, Nagari Parik Panjang alamnya perbukitan. Ada lurah (lembah), dataran rendah, bergelombang dan ada tebing (pematang bukit). Terletak di ketinggian kurang lebih 1200 meter dari permukaan laut. Luas wilayahnya 6,25 km (6,67 % dari luas wilayah Kecamatan Matur).

Tata gunanya terdiri dari lahan pertanian seperti sawah beririgasi 122,180 Ha, sawah tadah hujan 6,280 Ha, lahan rawan bencana lonsor seluas 8,204 Ha dan lahan pemukiman 40,106 Ha. Dihuni penduduk 327 jiwa (2017).

Publik service di Nagari Parik Panjang, ada sekolah TK Nurul Hidayah, MDTA, TPSQ Parik Panjang, SDN 22 Bukit Apik, Kantor KAN, Kantor Wali Nagari, Masjid, Surau lainnya. Untuk refreshing dan wisata ada DTW (Daerah Tujuan Wisata) Surau Tua di samping wisata seperti Aia Tajun Mudiak Lawang alam lainnya.**