SAKO’ s Journey, Napak Tilas ke Sandaran Rajo Sikerimbang

Surau Lidi Galapuang dari bukit Padang Sikerimbang. Foto: Yulizal Yunus

FIKIR.ID – SAKO’ s Journey, Napak Tilas dilanjutkan Minggu pagi, 4 September 2022. Star di sebuah Surau Lidi. Melintas tabek Sawah Tolang. Menuju Puncak, dipimpin Datuak Parpatiah.

Awak star, tegak di surau Lidi Koto Gadang Galapuang dekan dimoang. Cahaya cemerlang mentari minggu pagi cerah. Satwa limpape dan bilalang sitadak tenang hinggap di dinding surau.

Memandang ke timur mata hari terbit. Sisi pandang melintas sawah yang menunggu padi terbit dan manggaro. Di kapalo sawah nampak puncak posisi pertemuan rajo adat. Puncak gelanggang Tinggi, Gunung Seribu. Kalau diambil garis jauh lintas arah ke Riau Pekan Baru.

Kearah Timur Laut dan Selatan. Arah Payakumbuh Limbanang. Naik Subarang Air Arah Gunung Sago. Coran, kiri Sitanang, Tanjung Bungo, Lareh Nan Panjang, Jalan bawah.

Naik ke atas kanan bukit barisan, ada makam pujangga Damhuri. Di situ ada air terjun. Terus kiri ke Batu Payung sesudah simpang dua ke Balai Panjang. Terus Sikumpa Tabing Tinggi. Lurus Padang Andaleh, jembatan Batang Mungo, terus ke Bukit Bulek Taram. Di situ kiri ada Tabek Gadang dan Surau Tuo Taram dan Bukit Limbuku Batu Balang. Belok kanan bertemu Kapalo Banda DTW. Jalur kanan Batu Balang. Lokasi Rumah Panjang Bodi induk Bundo Lasmidar dibina sebagai museum suku dibimbing Bundo dan literasi oleh anaknya penulis besar Yulfian.

Baliak posisi awal, masih dari posisi Jalan Koto Gadang Galapung. Dibidik ke ujung Sangki, Koto Panjang, Sungai Semila (Bismillah). Masih arah pandang Bukit Gelanggang Tinggi, turun kemudik Guguk Caliak pada pematang perbukitan seribu menelisik ke Padang Kerimbang ke garis sedang, sampai ke Uggan dan Sumpur Kudus. Masih ke arah Selatan. Terbidik kawasan Ninik (Mande) Rubiah, Nagari Tigo Jangko.

Menengok arah Utara terbidik beberapa kawasan Padang Sekerimbang. Naik bukit dari Sawah Tolang, melaui rumah dan kebun karet Yesmita (si Yee) suku melayu kamanakan Sampono Sutan jalur Puncak.

Itu Puncak Padang Kerimbang. Terdapat tampat Sandaran Rajo. Di situ ada beringin gadang. Wilayah datar, luas. Terus ke balik menurun ke Buo. Dari Buo bisa ke Sungayang, Kampuang Ibuang (ibu ang) lebih jauh ke Batu Patah di balik Gunung Bungsu (ujung gugus Gunung Sago.

Batas Padang Sikerimbang, Lubuk Jantan dan Tepi Batang Selo. Adalah ulayat Suku Melayu payung Sampono Sutan di Bukit Sawah Tolang ke Padang Sikerimbang melalui halaman rumah kamanakan Sampono Sutan si Yee.

Arah barat terbidik kawasan bukit Camin Toran, Sungai Manggih dan Bukit Atar, terkenal perjanjian ninik mamak Minang dengan Adityawarman. Di situ ada pusaro, tampat. Bila tak ada izin, sulit ditemukan tampat itu. Hari ini memang tak bisa ditemukan tampat itu, kata Dt Tan Patiah. Fenomena ini, membuat Dt Parpatiah penasaran, diukang mendaki dengan roda dua lewat jalur Buo jalan proyek.

Tetap di Koto Gadang Galapung di seberang jembatan Batang Sinamar, bertemu Noprianto Sampono Sutan, dubalang adat, ia pedagang dan pelopor tani jagung. Juga Jumpa Siayang lelaki berkulit rada-rada putih asal Pangian juga, ia lahir tahun 1962. Ia juga bercerita.

Di Galapuang terdapat dua suku: panai dan suku Mandailing Tapi Ayia, arah ke Selatan. Ke Utara ulayat melayu Sampono Sutan tadi, Padang Sikurimbang.

Ulayat Galapung itu Belanda membatas patok di Bandar Simpang Galapuang. Nenek Umar Usman Dubalang Suku (61) perotes, di batas banda itu sawah cucu kamanakan Galapuang. Digeser Belanda ke kepala sawah bateh banda, dikatakan itu padang taranak cucu kamanakan. Digeser Belanda lagi ke gugus Gunung Seribu dengan Puncak Gelanggang Tinggi (medan pertemuan Rajo Adat).

Pengalaman masa Belanda tadi pun batas bisa toleransi, seperti menggugat mitos, ibarat Belanda minta tanah. Angsur dan angsur. Kami berdecak. Ota society dengar pendapat lapau kopi warga dan tim usai. Tim ke Bukit Sikerimbang turun gunung. Cerita disatukan.