Sastra  

Ayia Gadang | Yulizal Yunus

Ayie Gadang. Ilustrasi: Pixabay

Ayia gadang fenomena alam setidaknya dua bentuk dan sebab. Pertama sebab hujan merata dan curahnya kuat. Jelas diketahui sebab musababnya. Kedua ayia gadang karena hujan di hulu. Tak banyak orang tahu sebabnya, meski ada fenomena dan tanda-tanda alam gabak di hulu. Banjir bandang datang tiba-tiba dan mengejutkan.

Hujan lebat merata, orang bisa menduga dan sempat bersiap andai banjir tiba. Tapi kalau hujan di hulu tanpa disadari mandi-mandi atau sedang menyeberang sungai dan atau sadang takalok, tiba-tiba banjir datang, tak sempat menghindar dan terjebak hanyut tenggelam.

ZIS Rajo Intan menggelitik, baa caronyo, aie (ayia) gadang indak malendo, aie dareh indak mahanyuikan dan aie dalam indak mambanamkan? Saya jawab dengan istilahnya jan sampai dipasoan maambiak jambu di ujuang dahan, tanpa perhitungan. Baca kekuatan dahan dan berat badan, ingek sabab dahan ka patah dan ka jatuah karena lah baparinggoan, di tepi ayia lagi.

Ibarat menghindar tak hanyut di kemungkinan banjir bandang tadi, kembangkan kearifan membaca tanda-tanda alam. Kata orang tua Minang, alam itu guru. Selama guru (alam) tak mati dan surek (kitabullah – al-Qur’an plus Sunnah) tak hilang dan pandai membaca dengan arif dan konteks yang luas, selama itu pula adat akan hilang, akan hidup dapat dipakai, “adat mu’tabarah” meminjam istilah Dr. HAKA ayah Buya Prof Hamka itu (1923) dalam memaknai adat.

Kelemahan kita kurang arif membaca tanda-tanda dibentang syara’ dan ditayang fenomena alam, maka sering hanyut serantau. Kita sering membaca yang tersurat tanpa penuh selidik pula dan tanpa tahu sumber dan sanadnya lalu diviral dan diteruskan. Ya terjebak.

Perangkapnya adalah hoax bebanding haq. Kalau terjebak hoax (rajfah atau kazibah atau tahrif, yang agak ringan bahasa Minang mungkin hawhaw) hukumnya berat secara syara’, bacalah akar kata rajfah dan kazibah dalam al-Qur’an dan Hadis dan atau tanyo ka buya.

Hukum alam pun nyata. Kalau hanya membaca nan tasurek (tersurat, verbal) saja, tak dibaca nan tasirek dan nan tasuruak, akibatnya tak sekedar mengurangi cadiak (tampek berguru) dan pandai (tampek batanyo) kita, bahkan bisa terkena hukum alam. Tersebab menyalahi kodrat. Kata YR Dt. PGP Gajah Tongga, nan ta surek makanan aka, nan ta sirek makanan raso. Kalau ndak ba aka, ndak ba raso, lah abih titel sabagai manusia. Hukum adat aspek alam.

Hukum alam itu yang pasti perubahan. Perubahan ada bertahap dan ada cepat dan keras. Kalau perubahan keras dan deras jadi bencana.

Coba kita cermati, ayia gadang, deras, kita kurang awas (tak pandai membaca kederasannya) akibatnya bukan hanya hanyut serantau lagi, tapi terjungkang balik dilamun arus dan tenggelam hanyut ke laut lepas.

Karena boleh kita ambiak contoh ka nan sudah ambiak tuah ka nan manang. Yang menang orang tua kita mendirikan kampung dalam nagari dulu betapa kerasnya tantangan alam, mereka bisa. Ganas binatang buas mereka tidak membunuhnya, tetapi santun mempelajari sifat dan bahasanya, yang liar dan buas menjadi tunduk dan bisa diperintah. Tanpa teknologi membunuh, buasnya terbunuh. Bahkan dapat didaya gunakannya. Ular jadi kereta api, harimau menjadi kenderaan roda empat, buaya menjadi kapal, ikan paus jadi kapal selam, burung menjadi pesawat terbang, untuk berhubungan lintas dunia melintas lautan, sungai, hutan, awan dalam badai yang ganas, mereka tak gamang jatuh, tak cameh hanyut.

Melintas sungai, dalam kederasan dan kelebarannya yang luar biasa, dibaca orang tua. Jangan gegabah melintas ayia gadang, tapi bawa malereng, memancuang arus kebawah, diiliri arus sedikit, hanyut sepenggalah, lalu memancung menyeberang. Artinya mau dan piawai membaca tanda, sekeras apapun arus, diseberangi dan pasti bisa, insya Allah.

Kepiawaian orang tua kita luar biasa. Pintar membaca sunnatullah tertulis (Kitabullah dan hadis) dan sunnatullah tak tertulis (alam). Hebat!

Pada alam, contoh nan sudah, bagaimana piawai melintas arus. Kerbau misalnya menyeberang, ia melikik ke bawah, anaknya dilindungi dengan badan, mawas diri dan menjaga anak, berhasil dan sampai ke seberang.

Karenanya orang tua Minang dalam menundukkan arus, memakai logika adat nan sabana adat aspek fenomena alam yang sifatnya diciptakan Allah tetap. Seperti arus deras dilawan pasti menghanyutkan. Sensitif dan rawan tak tahu membedakannya dan sembarang kaca! Melawan adat sabana adat, seperti menyongsong arus deras ini pasti hanyut, kalau tidak dibaca gejala menangkap peluang dan strategi menyeberang. Artinya tanpa perhitungan, mau mengejar juga labu emas hanyut, pastilah hanyut dan tipis harapan bisa selamat. Hukum alam!

Karenanya orang Minang, mendapatkan keteraturan dan keberlanjutan, bermain pada tiga ranah hukum. Mengutip Syekh Sulaiman al-Rasuli dalam bukunya Pertalian Adat dan Syara’, juga terdapat seperti dalam Tambo Hukum Adat Surau Subarang Taram, ketiga hukum itu jelas. Pertama hukum syara’ (perintah dan larangan), siapa melanggarnya kafir. Kedua hukum adat, siapa melanggar, seperti di samping memakai tak baju awak, juga aspek alam tadi: menantang apalagi menurunkan mata hari, melawan arus, menyentuh hal sensitif, tanpa perhitungan strategi, hukumnya musnah. Ketiga hukum akal (undang, alua jo patuik) siapa yang melanggar, bertindak tak pada alur dan tak patut alias tak adil, hukumnya jadi buah bibir, gila.

Tiga ranah hukum adat Minang itu bersumber pada norm Tali Tiga Dapilin dalam perspektif hukum adat, yakni badasa ka anggo tanggo (tali syara’/hukum syara’ sumber anggo tanggo yakni Kitabullah), bahukum ka raso jo pareso (kecerdasan emisional dan intelegensi, tali adat/ hukum adat) dan baundang ka alua jo patuik (tali undang/hukum akal dengan wujud semua produk akal termasuk semua peraturan perundang undangan negara).

Simpul kecil. betapa pun derasnya arus, harus diseberangi) dengan penuh perhitungan. Yang salah itu diam tak mau menyeberangi tantangan (merubah jadi peluang plus hambatan, ancaman, gangguan disingkat ATHG) justru itu yang salah. Perhitungannya itu pada titik kepastian arah mempertahankan identitas, integritas dan keberlanjutan nagari. Adalah membuat nagari aman santoso (konsep ketahanan nagari yang diadopsi sebagai konsep ketahanan nasional pengalaman sekolah di Lemhannas, yakni konsep keamanan dan kesejahteraan).

Dalam berjuang menyeberang (bukan berseberangan, memberontak) dalam membaca fenomena hulu (pusat) dan hilir (daerah) yang kita ada di sana dengan penuh kearifan dan perhitungan strategi dan arah pasti tujuan yang jelas. Apa yang seharusnya kita lakukan. Tentu saja membutuhkan kompetensi cerdas, ekstra kerja keras, intinya prilaku akhlak mulia, piawai, bersikap, berkata dan bertindak memastikan arah dan meraih tujuan. Baldatun thaiyyibatun, warabbun ghafur, kita konteks terjemahkanlah sebagai tujuan nasional, masyarakat aman makmur, sejahtera dan adil.

Ini, semestinya bagian tugas KAMI dalam kekitaan KITA Bhinneka Tunggal Ika yang dideklarasikan 27 Agustus kemaren, dalam lingkup salingka dindiang dan disungkup tabir NKRI, didasari filosofi Pancasila dan landasan operasional UUD1945 sumber segala peraturan perundang-undangan lainnya. Saya kira ini di antara role model yang pernah dibentang pemuda Indonesia menyatukan tekad bangkit 1908 budi oetomo dan 1928 sumpah pemuda bangkit menyelamatkan Indonesia yang juga memakai KAMI menyatakan nusa, bangsa dan bahasa satu, Indonesia, oleh pemuda jong java, jong sumatera, jong Islamiten lainnya.

Mereka dengan kata KAMI, mengesankan dan melahirkan teori modal pembangunan persatuan dan kesatuan: tiada episode sejarah tanpa perjuangan pemuda, menyeberangi arus deras para penjajah yang 350 merampas kemerdekaan anak bangsa.

KAMI, Indonesia! Merdeka!