Budaya  

Kewaspadaan Dini Masyarakat Kultur Minang

FIKIR.ID – Sesungguhnya, kewaspadaan dini itu adalah naluri masyarakat. Karena itu segala bentuk ketidakpedulian, kelalaian dan sikap abai harus ditinggalkan, karena dapat membahayakan identitas, integritas dan keberlanjutan keserasian hubungan antar semua unsur dan semangat nasional di daerah terutama di nagari-nagari dan atau desa-desa.

“Kita bersama senantiasa dapat menghidupkan naluri masyakat waspada dini yang mereka sudah memiliki kekayaan nilai adat budaya”. Esensi yang sama semangat kunci kewaspadaan nasional di daerah ini setidaknya pernah menjadi harapan Kepala Badan Kesbangpol Sumbar Dr. Jefrinal Arifin SA, MSi dan sebelumnya Nazwir, SH, MHum, suatu kali dalam rapat koordinasi dengan Anggota FKDM Provinsi Sumatera Barat.

Menarik apa yang diharapkan Danrem 032/ Wirabraja Brigjen TNI Purmanto ketika kunjungan perdananya sekaligus bersilaturahmi dengan Gubernur Mahyeldi di Istana akhir tahun 2021, berharap kedepan senantiasa dibangun hubungan yang serasi antara Korem 032/Wirabraja dengan pemerintah dan masyarakat di Sumbar. Fenomena ini menginspirasi menyalakan semangat nasional dalam memperkuat ketahanan Nasional di daerah dalam berbagai bidang pembangunan secara terpadu oleh pemerintah dan masyarakat di nagari/ desa dan atau kelurahan. Justru kata Gubernur Mahyeldi semangat nasional itu ada di nagari dan atau desa.

Sumatera Barat, kultur Minangkabau, memiliki kekayaan nilai penyadaran kewaspadaan dini sebagai semangat nasional dalam mencegah potensi konflik yang menciderai kecerdasan sosial. Namun uji kecerdasan itu, sering dihadapkan dengan berbagai pengaruh global, budaya populer dan kebebasan bermedsos saat ini yang kadang berpotensi konflik. Namun saat menghadapi berbagai pengaruh itu masyarakat diingatkan nilai adatnya, senantiasa waspada dini terhadap masuknya berbagai pengaruh.

Nilai waspada dini itu, dari perspektif waktu: malam badanga-danga, siang bacaliak-calaik (malam didengar-dengar, siang dilihat-lihat” dan dari perspektif jarak: “jauh diulangi dakek bakandano” (jauh diulangi, dekat diawasi).

Awas dalam 2 x 24 jam, masyarakat Minang sudah diingatkan nilai adatnya, tak mungkin, lolos pengaruh yang berpotensi konflik apalagi ancaman. Namun kadang sebagai manusia, kendalanya pada perubahan prilaku (beahvior). Tetapi nilai tetap aktif memberi penyadaran waspada dini, terahdap fenomena ancaman yang mungkin terjadi, “rantiang nan kamancucuak, dahan nan kamaimpok, lantai nan kamanjongkek” (ranting yang akan menusuk, dahan yang akan menimpa, lantai yang akan menjungkat). Justru nilai adat mereka yang ber-sandi syara’ itupun senantiasa mengawal Masyarakat Hukum Adat, sehingga mereka mempunyai naluru dan alternatif mengambil resolusi konflik yang menarik.
Konflik dalam masyarakat Minangkabau sesungguhnya tidak haram, bahkan menjadi modal dan sumber kecerdasan intelegensi, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual dalam menyalakan energi untuk lebih maju dan dinamis. Normnya, “besilang kayu dalam tungku di situ api maka hidup”. Setelah api hidup, nasi di tungku masak, maka persilangan kayu dibuka, agar nasi tidak gosong, dalam makna konflik tidak bekelanjutan. Karenanya konflik bagi orang Minang adalah sunnatullah dan menjadi soko guru manajemen konflik.

Bagi orang Minangkabau, konflik dicegah ketika dimungkinkan akan berkepanjangan. Berbekal nilai kecerdasan emosional dan intelegensi sumber adat, “raso di bawa naik, pareso di bawa turun” (rasa dibawa naik, periksa/ rasional dibawa turun), maka bertemu pada titik nada yang sama menjadi “katub pengaman” (safety valve) konflik itu. Pada saat itu, berpeluang mengambil resolusi konflik ke arah integrasi sosial dan pemulihan konflik.

Pemulihan konflik diperlukan, agar tidak terjadi perseteruan, kekerasan, perkelahian fisik, korban masyarakat dan harta benda. Terlebih kalau konflik itu berpotensi memberi dampak buruk, maka para pihak yang konflik diberi penyadaran agar dapat membatasi perluasan dan eskalasinya. Disuruh beguru kepada alam. Ibarat orang menjala: “saat jala tegang dikendurkan dan saat jala kendur ditegangkan, lalu berhenti pada kata yang sedang”. Sudah merah muka orang, perdebatan jangan dilanjutkan juga.

Orang Minang tahu benar, kalau konflik tidak dikendurkan, akan menciderai hubungan silaturrahmi dan hubungan sosisal lainnya. Bahkan lebih jauh berakibat menimbulkan ketidakamanan dan ketidakdamaian. Malah dalam hubungan lebih besar konflik berkepanjangan menimbulkan disintegrasi sosial sehingga selanjut berpotensi mengganggu stabilitas masyarakat, bangsa dan negara dan menghambat pembangunan dalam mencapai tujuan nasional. Karenanya dalam memulihkan konflik bagi orang Minang diajar dengan kearifan lokalnya hati-hati dan cermat, ibarat “menarik rambut dalam tepung, rambut tak putus, tepung tak terserak”.

Kearifan lokal Minangkabau sebenarnya dapat dimanfaatkan dalam memperkuat sosialisasi Peraturan Pemerintah RI Nomor 2 Tahun 2015 2 Februari 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 10 Mei 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, bagi pembentuk “budaya hukum”. Dimaksudkan adalah sadar hukum, bahwa masyarakat mendukung pemerintah melaksanakan amanat UU ini dalam hal pencegahan konflik yang salah satunya dengan membangun sistem peringatan dini. Sistem itu berupa deteksi dini dan cegah dini meliputi penyampaian data dan informasi mengenai konflik secara cepat dan akurat. Sasaran akhir yang hendak dicapai adalah tersedianya peta konflik dan wilayah/ daerah konflik dan serta index kewaspdaan dini untuk memperkuat naluri masyarakat waspada terhadap hal yang membahayakannya.

Kewaspadaan dini, aktifitas, fenomena dan potensi konflik, sebelumnya juga sudah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2018 11 Januari 2018 tentang Kewaspadaan Dini di Daerah. Peraturan ini sudah pula mengalami perubahan, yang dirubah dangan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2019 pada tanggal 12 Juli 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 tahun 2018 tentang Kewaspadaan Dini Di Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 815). Pasal 17 (1), disebutkan Forum Kewaswadaan Dini Masyarakat (FKDM) di daerah provinsi bertugas, meliputi (a) menjaring, menampung, mengoordinasikan dan mengomunikasikan data serta informasi dari masyarakat mengenai potensi ATHG (ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan); dan (b) memberikan laporan informasi dan rekomendasi sebagai bahan pertimbangan Tim Kewaspadaan Dini Pemerintah Daerah (TKDPD) di tingkat provinsi. Bagian tujuannya adalah menciptakan kewaspadaan nasional dalam sistem ketahanan nasional untuk mewujudkan stabilitas Nasional.

Beberapa pengalaman waspada dini dalam sistem penguatan ketahanan nasional di Daerah Sumatera Barat di antaranya pernah secara terpadu TNI dan masyarakat, merumuskan pemikiran dalam bentuk forum Seminar Nasional. Di antaranya tercatat, pernah masa Brigadir Jenderal TNI Widodo, Panglima (1968-1970) Kodam III/ 17 Agustus yang menggantikan Poniman (Panglima antara tahun 1966-1968), mengizinkan pelaksanaan Seminar Islam di Minangkabau di Gedung Sasana Karya, yakni ketika itu Balai Pertemuan milik Kodam III/17 Agustus, sekaligus pertunjukan Sendratari Imam Bonjol yang juga sebagai bagian dari pembinaan tradisi korps Kodam III/17 Agustus.

Terakhir dicatat, tahun 2012, Korem 032/ Wirabraja Kodam I/ Bukit Barisan melaksanakan Seminar Nasional itu bertajuk “Revitalisasi Nilai Budaya Lokal serta Peranan Pemangku Adat dan Ulama dalam Penguatan Ketahanan Nasional di Sumatera Barat”. Thema: Menggali dan Merivitalisasi Nilai Budaya Lokal untuk Memperkuat Karakter Masyarakat dalam Bela Negara.

Seminar dilaksanakan kerjasama Korem 032/ Wirabraja, Kodam I/ Bukit Barisan, Sumatera Barat dan Majalah Bulanan SAGA, di Makoram 032/ Wirabraja Sumatera Barat di Padang, 13 Desember 2012. Event seminar memakai momentum Peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober, Hari Jadi TNI 5 Oktober dan Hari Pahlawan 10 November 2012. Diikuti peserta 220 orang terdiri dari unsur organisasi adat dan LKAAM lainnya, unsur Pemda Sumbar/ Kab/ Kota, unsur DPRD Provinsi dan Kabupaten/ Kota, Perguruan Tinggi, unsur Mass Media, unsur Makorem dan Makodim, unsur Babinsa, unsur Polda dan Kapolres/ Kapolresta, unsur Wali Nagari/ Kaepala Desa/ Lurah dan unsur panitia lainnya.

Dalam Seminar Ketahanan Nasional di Sumatera Barat itu, diarahbentangkan oleh Danrem 032/ Wirabraja, Pengarahan Gubernur Sumatera Barat, Pengarahan Keynote speaker’s Pangdam-I Bukit Barisan di samping presentasi pemikiran dari Nara Sumber dalam tiga sesi seminar dengan 9 makalah. Makalah sesi pertama: makalah ke-1 Strategi Korem 032/Wirabaraja Meningkatkan Ketahanan Nasional di Sumatera Barat Berbasis Budaya Lokal, narasumber Kolonel Inf. Amrin Danrem 032/Wirabraja. Disusul pembanding, yakni makalah ke-2 Strategi Ekplorasi Nilai Budaya Minang untuk Meningkatkan Ketahanan Nasional, dengan narasumber Dr. Alis Marajo Dt. Sori Marajo (Bupati Kabupaten 50 Kota, Ketua Dewan Pertimbangan Adat dan Syara’ LKAAM Sumbar) dan makalah ke-3 “Persepsi dan Komitmen Pengambil Kebijakan Terhadap Potensi Budaya Lokal Sebagai Pilar Penguatan Ketahanan Nasional”, dengan narasumber Dr. Ir. Yuzirwan Rasyid, MSc Dt. Pahlawan P. Gajah Tongga (Dosen Fak. Pertanian Unand Dewan Pertimbangan Adat dan Syara’ LKAAM Sumbar).

Makalah sesi ke-2, makalah ke-4 “Pemberdayaan Nilai-Nilai Adat Budaya Lokal sebagai Upaya Penguatan Ketahanan Nasional di Sumatera Barat”, dengan Narasumber Kapolda Sumbar. Disusul pembanding, makalah-5 “Pola yang Efektif Pemberdayaan Nilai-Nilai Budaya Lokal untuk Penguatan Ketahanan Nasional di Sumatera Barat”, dengan narasumber Drs. Zaitul Ikhlas Saad, MSi (Dosen STISIP Padang, Staf Ahli Ketua DPD-RI).

Makalah sesi ke-3, yakni makalah ke-6, “Revitalisasi Manajemen Sumber Daya Manusia Pemangku Adat dan Lembaga Adat Memperkokoh Untuk Memperkokoh Ketahanan Nasional di Sumatera Barat”, dengan narasumber Prof. Dr. Nursyirwan Effendi, MA (Guru Besar Antropologi FISIP Unand). Makalah dibanding dua makalah narasumber, yakni makalah ke-7, “Penguatan Peran Lembaga Adat dan Lembaga Agama Untuk Memperkokoh Ketahanan Nasional di Sumatera Barat”, narasumber H. Ilhamdi Taufik, SH. MH, Dt. Sinaro Sutan (Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Unand Padang). Makalah selanjutnya dibanding makalah ke-8 “Penguatan Peran Pemangku Adat dan Pemuka Agama untuk Memperkokoh Ketahanan Nasional di Sumatera Barat”, dengan narasumber Yulizal Yunus Dt. Bagindo Rajo (Dosen IAIN Imam Bonjol Padang sebagai unsur Pempred Majalah Bulanan SAGA).

Dirasakan dari forum seminar tadi, dengan kekayaan pemikiran yang muncul dalam dialog, cukup memberi penyadaran dan bekal, serta pendamping dalam bentuk fasilitasi konsultasi peraturan perundang-undangan termasuk undang dan hukum adat. Betapa kayanya nilai dari sumber kultur Minang dalam mengaktifkan naluri kewaspadaan dini dalam menangkal potensi ATHG bagi mempertahankan identitas (jati diri), integritas dan keberlanjuta bangsa yang berperadaban.***