Budaya  

TARI RANTAK KUDO Versi TARI BENTEN

Khusus Tari Benten (dan atau Bentan) asimilasi dan dimungkinkan juga berakulturasi dengan Tari Rantak Kudo asal Rawang Kerinci tadi, dikembangkan oleh Sanggar Seni “Puti Gubalo Intan” di Nagari Taluak Kualo, Kecamatan Air Pura, Inderapura, Kabupaten Pesisisr Selatan. Tari Bentan ini di Indrapura berpangkal dari dendangan Puti Bentan di istana Kerajaan Indrapura masa dahulu.

Cerita dalam snopsisnya disingkat dari cerita Junaidi Chan pimpinan Sanggar Puti Gubalo Intan Indrapura sbb.:
“Tari Bentan versi Indrapura mengisahkan dayang-dayang di Istana Kerajaan Indrapura dahulu dan Puti Bentan. Seketika Puti Bentan di serambi istana menidurkan anak dalam buayan dari anyaman roran. Ia bernyanyi dan menari mengikuti irama ayunan buaiannya. Kadang ada bunyi menangis dan kadang meratap, kadang nyanyi sedih. Raja dan parmaisuri yang sedang duduk di teras istana tercengang. Dipanggil dubalang, disuruh menelusuri suara yang ada tangis, ratap, dan kadang nyanyi sedih dan gembira itu. Dubalang menemukan Puti Bentan mendendangkan anak dibuaian. Anaknya menangis, ia mendendangkan, supaya tangisnya teduh. Dendang diramaikan suara dayang-dayang lainnya bernyanyi diserta gerakan menari-nari. Tercengan dubalang dan bertanya, tari dan nyanyi apa namanya Puti? Puti Bentan menjawab belum bernama. Kami hanya bernyanyi dan menari sesuai ayunan, supaya anak di buaian tenang dan tidur. Dubalangbalik, menceritakan kepada raja, dendang, nyanyian dan tarian itu. Bagus itu Dubalang! Kata Raja. Nanti kita tampilkan pada helat 7 hari 7 malam. Kalau tarian dan nyanyian dayang-dayang dan Puti Bentan itu tidak bernama saya beri nama Tari Bentan. Bernamalah sampai sekarang Tari Bentan yang menceritakan Puti Bentan itu”.

Mendukung ceita yang ditawarkan Tari Bentan ini, ada beberapa nama penari. Di antaranya Tata Ananda Zuhmi, Nofita Sari, Rahayu Zetri Nengsih, Julia Perpita Putri, Laudia Maya Sari, Fifia Frilia, Shinta Aulia, dll. Penari ini sekaligus untuk Tari Sikambang Manih, juga pemain Silat Tari Kain. Guru: Arsal dan Benarudin. Pemuda: Aldiprayoga dan Jumaidi Fadli Fahrizal. Anak-anak: Rizki Ilahi, Guntur Guncoro dan M.Dava Pratama. Pemain musik: Junaidi Chan, Edison dan Gede. Pengurus: Fatimah dan Vivi Amelia.


Selain Tari Bentan, Sanggar Seni Puti Gubalao Intan juga mengembangkan seni Pencak Silat,Tari Sikambang Manih dan Tari Kain yang cukup langka itu dan sudah menjadi WBTB Nasional. Semuan tarian itu warisan dari kesenian dayang di istana Kerajaan Indrapura.


Seni Tradisional Tari dari Sanggar Puti Gubalo Intan ini, sudah mencuat ke tingkat Nasional disamping sudah menjadi WBTB 2019. Pernah tampil di Jakarta, dipasilitasi Pewaris Kesultanan Indrapura, 4 Januari 2014. Juga pernah tampil di Taman Budaya (Tambud) di Padang berturut-turut tahun 2015, 2016 dan 2017. Juga pernah tampil pada event Sumarak Pasisi (Pesisir Selatan) tahun 2019 dan tahun 2021.

Bupati Rusma Yul Anwar Buka Penampilan Seni Tradisi di Indrapura memukul adok

Tanggal 2 Desember 2021 yang lalu, Pimpinan Junaidi Chan yang juga MTC PT Incasi Raya menjawab respon PKM di Indrapura, menjelaskan bahwa kesenian yang dikembangkannya itu, ditampilkan dalam pertunjukan kesenian tradisi dengan tema “Bimbang Nagari” di Teluk Kualo Indrapura, Kecamatan Air Pura, dibuka Bupati Pesisir Selatan Rusma Yul Anwar. Harapan Bupati, kesenian Tradisi mesti dijaga dari kepunahan, karenanya pengembangannya menjadi bagian tupoksi di Dinas Pendidikan dan kebudayaan. Ia juga berharap pertunjukan kesenian tradisi ini efektif menjadi media untuk membangun semangat generasi muda untuk menggali dan mengembangkan nilai-nilainya yang berguna dalam pengambilan kebijakan berbasis budaya di Kabupaten Pesisir Selatan.

Selain alasan tidak lagi dikembangankan Tari Rantau Kudo, karena tidak ditemukan lagi aslinya, juga disebut tidak berasal dari Pesisir Selatan, tetapi adalah asimilasi seni tari Kerinci dan Pesisir Selatan sejak masa Kerajaan/ Kesultanan Indrapura. Dimungkinkan karena faktor wilayah kebudayaan, Kerinci tidak bisa dipisahkan dengan Pesisir Selatan. Sejarah budaya Kerinci berkaitan erat dengan budaya Kesultanan Inderapura sejak awal masa kerajaan itu. Bahkan Pesisir Selatan dan Kerinci pernah menjadi satu Kabupaten dalam NKRI, yakni Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci disingkat PSK. Pesisir Selatan dan Kerinci dipisahkan, masing-masing menjadi kabupaten sendiri, adalah dengan UU Darurat Nomor 19 Tahun 1957, tanggal 9 Agustus 1957 (Yulizal Yunus, dkk 2005).


Dari latar sejarah Pesisir Selatan dan Kerinci, khusus Kesultanan Indrapura, memberi petunjuk, bahwa Tari Benten berasimilasi dengan Tari Tari Rantak Kudo yang sudah lama hidup di Indrapura. Ada makna terdalam tersimpan dari Tari Benten, adalah memberri penyadaran bahwa keadaan kehidupan masyarakat, yang senantiasa ada itu “perubahan”. Kehidupan berubah-ubah sepanjang umur dan sejalan tujuan hidup. Makna itu ditawarkan dalam kisah kehidupan yang menjadi esensi Tari Benten.


Tari Benten mengisahkan seorang ibu bernama Benten. Suaminya bernama Adau-Adau. Punya dua orang anak, bernama Rantak Kudo, Nandi-nandi dan Buai-Buai. Apakah Tari Buai-buai di Padang ada hubungan dengan kisah dalam Tari Rantak Kudo ini, perlu dicari kejelasan pada Tari Buai-buai di Padang yang nanti akan dipertunjukan PKM-17 Januari 2022.


Kembali ke Tari Benten, dalam pertunjukannya secara verbal terlihat, gerakan menyerupai gerakan kepak sayap sedang terbang. Perumpamaan kepak sayap elang itu, mengikuti pandangan Wahyuni W, Yusril dan Suharti (2018, lihat juga Wikipedia) menggambarkan gerakan bekerja mengasuh dan menimang bayi, “babega” ke kiri ke kakanan bahkan berputar-putar. Kadang mirip nafas asuh anak pada Tari Ouduo Omak produksi Muara Performing Arts Group Pekan Baru yang pernah Tampil di Nan Jombang Dance Company awal November 2021 lalu. Karenanya ketika penari Tari Benten, penari harus menyetel badan dan kepala. Badan sedikit harus lebih maju ke depan dibanding kepala. Gerakannya menyerupai nelayan sedang “maelo puket” (menarik puket). Juga distel tangan. Kedua tangan itu merentang, dan gerakan kepala menyesuaikan dengan gerakan tangan.


Tari Benten hidup di kalangan masyarakat adat nagari. Penari berpasangan mengikuti irama musik gendang yang khas, disebut “adok”. Adok rebana besar (diameter 65-70 x 20-5 cm) bagian yang ditabuh berkulit kambing atau lembu, ditabuh penabuh dengan bunyi khas sesuai dengan dendang diikuti gerakan penari dua lelaki biasa dalam durasi 23-25 menit. Penari tidak lepas dari pautan perasaan yang sedang dirasai pemusik, pendendang dan penari. Artinya gerakan penari sealur dengan perubahan irama musik pengiring adok dan lagu. Gerakan penari yang berdiri dan melebar dan saling membalikkan badan, berubah ke belakang selanjutkan dengan mengejutkan tercipta gerakan baru. Kaki lebih banyak bergerak dibanding tangan dan badan. Gelombang gerakan satu arah ke depan terjadi berulang, beragam, berputar, ke kiri ke kanan. Gerak-gerakan itu turut memaknai kisah yang ditawarkan Tari Benten.

Tari Benten ini cukup bervariasi pula dari daerah ke daerah di Pesisir Selatan. Artinya Tari Benten ini terdapat di banyak nagari di Pesisir Selatan. Namun esensinya tetap mengisahkan seorang ibu bernama Benten sekeluarga. Suaminya bernama Adau-Adau. Punya tiga anak bernama Buai-buai, Rantak Kudo dan Nandi-nandi. Versi Pasar Kuok – Batang Kapas, keluarga Benten ini hidup di Pasar Kuok Batang Kapas. Pasar itu adalah sawah ladang untuk bercocok tanam keluarganya. Namun sekarang sudah sulit ditemukan.

Jalan ceritanya mendramakan kesombongan diri Rantak Kudo. Cendrung punya sifat durhaka pada orang tua. Rantak Kudo ialah adik dari Buai-buai dan kakak dari Nandi-nandi. Ketiganya menjadi tokoh dalam dalam Tari Benten. Sedangkan Nandi-nandi muncul saat tari pengiring tari Rantak Kudo itu.
Cerita yang sama melenggenda pula di Jorong Laban. Cerita ditampilkan dalam tari Benten, disusul Tari Buai-buai kemudian Rantak Kudo. Dalam tari disebut Nandi-nandi saat dendang pengiring tari Benten, Buai-buai dan Rantak Kudo.

Sama halnya dengan di Laban, terdapat pula di Painan Timur. Rantak Kudo dikisahkan dalam prosesi tari yang diawali dengan Benten, Buai-buai, dan Rantak Kudo. Di tempat asalnya Rawang Kerinci, masih bertahan pada asalnya dan dihadirkan pada setiap event penting di Kerinci (Didi, 2021). Kisah yang ditawarkan mendramakan kesombongan Rantak Kudo yang kemudian mendapat nur ketauhidan. Itu terkesan juga dalam syair Benten seperti dicatat Nerosti (2017, lihat juga https://id.wikipedia.org/wiki/Tari_Benten) sbb.:


Ilala nak tuangku Rabbi (hanya Allah Nak Tuanku, Tuhanku)
Bakudo lalu ka Jambangan (berkuda lalu ke Jembangan)
Kok indak dapek mukasuik (tidak dapat yang di hati)
Badoso mato bapandangan (Berdosa mata berpandangan)

Rantak Kudo kemudian menjawab:

Duo tigo pelem dibukak (Dua tiga film dibuka)
Balun tantu jatuah ka sudu (belum tentu jatuh ke sudu)
Jatuah ka sayak duo tigo (Jatuh ke sayak dua tiga)
Tigo bulan dikanduang bapak (Tiga bulan dikandung bapak)
Alun tantu jatuah ka ibu (Belum tentu jatuh ke ibu)
Kasieh jo kawan alah juo (Kasih dengan teman sudah mulai juga)


Syair Tari Benten ini menceritakan, keinginan dengan baik mendapatkan yang di hati, agar kehidupan tidak berdosa. Sejak dalam kandungan, kasih dengan kawan justru sudah dimulai, seperti cerita filsafat a’yan tsabitah saja. Kisah Benten sang ibu dan Rantak Kudo sang anak, yang dari awal-awal meyakini, hanya Allah Yang Maha Tahu.
Filosofi penyadaran kehidupan yang bertauhid mengalahkan kesombongan dalam Rantak Kudo, menyalakan semangat menggali dan mengembangkannya. Kini Rantak Kudo sudah langka dan memang patut dikembangkan. Dr.Alirman Sori, SH, Mhum Anggota DPD RI (2021) memandang seni langka ini patut dikembangkan, ia siap di garda terdepat menggali dan pentunjukan serta ditayang dalam bentuk video dokumenter dalam seluruh saluran dimulai dari ia sponsori pertunjukannya di PKM-17 Desember 2021 ini. Pengembangan ini sejalan dengan Tari Benten yang justru substansi dan esensinya adalah juga Rantak Kudo.

Tari Kain

Tari Kain. Sumber: Bandasapuluah.com