Tokoh  

Amir Syarifuddin Tak Sekadar Dhabit

(Artikel, Pemantik Diskusi tentang Prof. Dr. Amir Syarifuddin in Memoriam Meneladani Keilmuan, Kepemimpinan dan Kebersahajaan. Di Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang, Selasa 9 Januari 2024. Pemantik utama lainnya: Bidang Meneladani Keilmuan/ Prof. Dr. Makmur Syarif dan Prof. Dr. Edi Syafri. Bidang Meneladani Kepemimpinan/ Prof. Dr. Asasriwarni, YY dan Dr. Adityawarman. Bidang Meneladani Kebersahajaan/ Prof. Dr. Duski Samad dan Prof. Dr. Sheiful Yazan).

Dalam catatan saya Amir Syarifuddin tak sekedar dhabit yang dalam ilmu hadis kuat hafalannya, malah kalau tidak jenis penyakitlah hyperthymesia atau hyghly superior autobiographical  memory (HNSAM), maka guru besar hukum Islam ini, dekat dengan jenis ini. Ia punya ingatan super. Tak pernah lupa sehuruf pun dengan apa yang sudah terlanjur masuk ke otaknya. Tetapi tidak super mengingat pengalaman buruk, tetapi eksplisit pengalaman yang baik apalagi untuk menolong orang.

Saya baru berkenalan dekat dengan Amir Syarifuddin (1937-2023), setelah menjabat Rektor IAIN Imam Bonjol Padang (Yulizal Yunus, “Dr. Amir Syarifuddin”, Shautul Jami’ah No.01 Tahun I, Mei 1983 (Padang: SK 1983: 65). Ia dilantik Menteri Agama RI Munawir Sjadzali, 18 April 1983. Ia saat itu belum berpangkat (full) professor. Gelar akademiknya sudah tertinggi “doktor”. Saya ketika itu di Humas berbasis pengalaman jurnalis (wartawan), menulis sejarah, kebudayaan dan sastra di beberapa massmedia. Kepala Humas ketika itu senior saya, Syafrizal MS (alm).

Saya mencatat Amir Syarifuddin dalam beberapa tulisan. Siapa tahu tulisan tentang dia, turut mengantarkan saya meraih rangking “World Top 100 History, Philosophy, Teology, Scientist 2002” dari 5000 penulis dunia. Rangking saya pada nomor urut 50 sebagai penulis history itu,  alahmdulillah diraih berdasarkan total h-index dalam AD Scientific Index 2022. AD Scientific Index 2022 piawai betul melacak sejak tulisan para penulis yang terpublikasi dan dibaca dunia.

Tulisan-tulisan saya (sejak 1976) itu termasuk tentang Amir Syarifuddin dimuat di berbagai massmedia dan situs yang saya mangkal di sana. Yang saya beri garis tebal tentang ingatan cerdasnya yang super dimiliki pak Amir ada berbagai aspek. Tidak saja dalam kepakarannya sebagai guru besar hukum Islam, tetapi terlebih ia tak sekedar dhabit. Di antaranya ingatan supernya saya alami dalam beberapa fenomena keteladanannya. Di antaranya: (1) budaya kerja, (2) kemauan menolong, (3) serius tapi hangat dalam keilmuan.

Budaya Kerja: Argumen Logis

              Budaya kerja Amir Syarifuddin boleh menjadi bagian teladan kita dalam kepemimpinannya. Khusus dalam masa jabatannya sebagai Rektor. Dalam sebuah fenomena budaya kerja penyelenggaraan event sidang senat terbuka dan wisuda sarjana. Saya ketika itu ketua protokoler. Mengatur acara “luar/dalam”, koordinasi dengan yang membidangi masing-masing kegiatan. Ibu Ida Fauzan, dkk membidangi kesenian tim hymne dan lagu Indonesia Raya. Ibu Fauzan mengeluh. Pasalnya anggarannya tak disetujui Rektor Amir Syarifuddin. Dimungkinkan karena lemah argumen logis dalam pengajuan anggaran.

Ibu ida mendatangi saya sebagai ketua protokoler. Menjelaskan kebutuhan anggaran penyelenggaraan event momentum wisuda sarjana. Anggaran tak disetujui. Alasannya? Tak jelas!. “Bu ida, berapa anggarannya?” Tak banyak. Dua – tiga ratusan! Lho kock kecil amat! Ya itu saja tak disetujui pak Amir!

Yuk mana anggaran ibu Ida, biar saya mengahadapnya pak Amir! Saya tanyakan, anggaran kesenian dibidangi ibu Ida belum lagi pak? Iya tu! Beliau ingat. Lalu saya tawarkan anggaran ibu Ida lebih 4x sebesar yang dianggarkan ibu Ida.Maksud saya kalau dikurangi, toh memenuhi kebutuhan juga. Saya jelaskan kerangka kerja ibu Ida. Saya selorohi, kalau tak ada ibu Ida dan ibu Hasan Mahdi dkk, bisa tak bunyi orgen dan hymne nanti pak! Pak Amir senyum sambil meminta rencana anggaran. Langsung saja disetujuinya tanpa dilihat. Lalu saya antar ke ibu Ida. Ia berteriak gayanya senang. Kock bisa sebesar ini! Saya bilang, bagi pak Amir, perlu argumen yang jelas dan logis. Seberapa pun disetujui. Sebuah fenomena budaya kerja Pak Amir memimpin.

Kedekatan saya dengan pak Amir dimungkinkan, dapat menempatkan diri sebagai mitra dialog seimbang. Artinya saya berbicara dengannya tak sekedar sebagai staf. Menguntungkannya bagi saya, karena di Humas itu, ada jalur horizontal, ada jalur pertikal. Tak selalu struktural. Humas itu kalau dipandang struktur saja, sangat rendah. Kalau tak ada jalur horizintal Humas ke Rektor, saya tak akan bisa bicara dengan Rektor.

Kadang bicara dengan Rektor Amir tidak sekedar penyelenggaraan kerja komunikasi publik IAIN Imam Bonjol, tapi kadang terjebak debat politik. Pernah ketika pak Amir menjadi Anggota MPR RI. Beliau dari Golkar. Saya ketika itu generasi muda Golkar super aktif di papan atas AMPI Sumatera Barat membidangi wilayah selatan-selatan. Ke Daerah pergi pagi kadang pulang pagi, kalau pulang malam masih lumayan. Saking aktifnya nyaris tak lanjut menjadi PNS, sampai ke dosen pangkat tak pernah diurus-urus. Untunglah bermurah hari baigan personil mengurus.

Dalam suatu dialog, agumentatif dan logis terjadi. Pak Amir? Kita sama-sama di Golkar Sumatera Barat. Partai hanya dua PPP dan PDI ditambah Golkar, meski Golkar itu pada perinsipnya partai juga, tapi tak disebut partai. Tujuan saya dulu ke Golkar, bisa memancangkan panji-panji Islam. Bapak pasti lebih dari itu. Kini Bapak di MPR RI. Bagaimana kita bisa berfikir, yang PPP sudah jelas Islam. PDI, ibu Mega bertarung. Kenapa harus kita berikan satu partai PDI ke Non Islam. Apa tak lebih baik, kita bagi pak! Misal IAIN IB yang Bapak Pimpin ini dan juga Bapak Ulama. Sebagian ke PDI, sebagian lainnya ke Golkar dan PPP. Alasan logis saya, bukan berpihak ke partai kecil itu, tapi saya pikir cukup besar ruang diberikan kepada partai yang dicap non Muslim PDI ketika itu. Saya belajar sejarah politik dunia, partai kecil suatu saat, akan besar. Saya yakin benar, Mega yang partainya kecil dan terjepit nanti akan besar dan Mega menjadi Presiden.

Mendengar cerita saya itu, meski logis dalam fakta sejarah, pak Amir terpana, mikir. Tak banyak jawab dari Pak Amir. Beliau senyum dan berlalu. Suatu ketika, ternyata Mega menjadi Presiden. Sportifnya pak Amir. Ia berkata, ternyata kau benar? Ia teladan pemimpin rendah hati cerdas dapat membenarkan yang benar.  

Kemauan Menolong: Bersahaja dan Ingatan Kuat

              Satu hal yang sudah dipandangnya logis, serta merta terhubung dan ingat dengan pengalaman yang sama dan sudah ada di memorinya, Pak Amir bersahaja saja, apalagi untuk kepentingan menolong. 

Pernah, terkait pengalaman pengusulan saya menjadi dosen. Ketika itu bersamaan dengan Ali Umar Ganti. Malah lebih awal bahan usulan saya dibahas di Senat. Yang baru masuk pun sudah dibuat usulannya oleh staf personil. Entah kenapa, nama saya tertinggal.

Satu pagi komandan saya Ka Humas Syafrizal MS mencak-mencak. Yul, kenapa kamu belum juga diusulkan Rektor Amir jadi dosen. Tuh, yang baru masuk saja bahannya sudah diusulkan. Apa kurangnya kamu. Segeralah kamu, temui Rektor! dorongnya bersemangat. Saya terpancing pula dengan hebohnya senior Syafrizal. Langsung saya temui pak Amir. Saya sebutkan bahan saya sudah duluan masuk. Dengan senyum pak Amir, langsung menyebut hari tanggal persetujuan senat dan langsung membalik onggokan map, letaknya pun pak Amir tak lupa. Luar biasa ingatannya.

Pengalaman lain lagi, menggambarkan ingatan pak Amir benar-benar kuat. Dalam sebuah event kampus juga. Sederhana, dalam menyusun preseance protokoler, mendudukan orang sesuai dengan jabatan dan fungsi sosialnya. Hari paginya sudah disusun sesuai dengan struktur tempat acara. Eee tahunya berubah sore. Beliau datang, langsung saja dan bersahaja menarik tangan pekerja bersamanya lembali menyusun ulang tempat itu.

Pengalaman diundang ke luar kampus acara nasional dan daerah di Pemrov sumatera Barat. Saya bertanggung jawab tempat duduk beliau sesuai dengan preseance protokoler. Semestinya ia sebagai Rektor dudukbya sejajar dengan anggota Muspida (sekarang Forkopimda) lainnya di Provinsi Sumatera Barat. Oleh protokol Sumatera Barat, Rektor didukan sembarangan, melawan aturan protokoler.

Bagi Rektor Amir, tak jadi masalah saja. Secara bersahaja saja ia duduk ketika ditawari. Saya temui Ahdi Makmur, ketika itu Protokol Pemdaprov Sumatera Barat. Saya katakan, kalau rektor saya tak didudukan pada tempatnya sesuai dengan jabatan dan fungsinya menurut preseance protokoler, saya bawa pulang Rektor saya. Pak Amir tersenyum, bersahaja saja dan Protokol Sumatera Barat sadar. Teladan pemimpin yang rendah hati.

Serius Tapi Hangat : Kelakar dalam Hukum Islam

              Amir Syarifuddin guru besar hukum Islam tak ada duanya. Mengajar, menilai dan presentasi serius, tetapi hangat. Pernah publik heboh soal  “hukum memakan katak” dan makhluk dua alam lainnya. Ada yang menyebut haram dan ada yang makruh. Pak Amir dihadirkan dalam sebuah seminar besar tingkat nasional di Sumatera Barat.

Dalam memaparkan kertas kerjanya, dibentangnya tanpa teks, terasa amat serius. Tajam dan “dalam” menganalisa hukum dalam fenomena memakan makanan yang halal dan menyangkut memakan katak alias koncek serta binatang dua alam ( hidup di darat dan di perairan) lainnya. Terasa beliau soko guru moderasi. Tak meledak-ledak, tapi membuat orang tergelenjek kepiawaian analisanya. Serius, tapi hangat. Tak kurang kelakarnya dalam menawarkan hukum, membuat orang terpingkel.

Terlepas dari penetapan hukum makruh dan atau haram dalam hal memakan binatang yang hidup di dua alam tadi, Pak Amir pintar sekali berkelakar. Seserius apapun ia mejelaskan hukum, sempat juga berkelakar cerdas. Saya mengingat juga pak Jalal dosen Fiqh itu. Menjelaskan hukum bisa membuat mahasiswa dan audiennya terpingkel. Luar biasa, di luar perkiraan saya.

Apa kelakar pak Amir dengan gayanya sendiri. Ya soal katak alias koncek itu. Tabi’atnya! Koncek itu meloncek-loncek. Ibu sedang menggoreng cumi-cumi. Koncek meloncek-loncek juga, masuk ke kuali. Ibu tak tahu. Ya sekalianlah bergalimang dengan cumi, sebuatnya, diiringi ketawa terpingkel para hadirin.

Pak Amir dengan kecerdasannya mengingat, dapat mengingat hal yang lucu tabi’at binatang seperti koncek, sekecil apapun tak luput dalam ingatanya. Bagian dari anugerah Allah SWT, pak Amir diberi ingatan super dan tak sekedar dhabit saja. Wallahu a’lam bishshawab ! ***