Berita  

Setahun Panggung Seniman Sumatra Barat: Spektrum Gong Perjuangan, Pemajuan Kebudayaan Sumatera Barat

FIKIR.ID – Forum Perjuangan Seniman Sumatera Barat, sudah setahun menggelar Panggung Ekspresi Seniman di Taman Budaya (Tambud) Dinas Kebudayaan Sumatera Barat. Dapat dipandang sebagai salah satu spektrum (ar. nitaq, lat. spectre) gerakan mendinamisasi perjuangan pemajuan kebudayaan di Sumatera Barat dari aspek sistem seni. Spectre Panggung Ekspresi Seni ini, cukup disegani, mudah-mudahan tak ditakuti, karena bukan gerakan hantu dalam senyap, tetapi terbuka, lantang dan tak terbatas dalam sebuah kontinum. Bagaikan gong kebudayaan yang di”gua” (dipukul) seniman dari tingkat Provinsi Sumatera Barat. Suaranya terdengar bergema dalam menggerakkan perjuangan pemajuan kebudayaan sebagai unsur stakeholder seniman secara mandiri dan menginspirasi Kabupaten – Kota sampai ke nagari-nagari di Sumatera Barat untuk bergerak sharing dalam penentuan arah kebijakan pemajuan kebudayaan dan implementasi Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK).

Panggung: Kegelisahan Intelektual Seniman

Dari Panggung Ekspresi Seni, gong dipukul, mengumandangkan berbagai suara sarat pemikiran dan kritik yang kadang “lepas” dalam mengapresiasi pemajuan kebudayaan yang sedang berjalan. Pemikiran dan kritik itu muncul berangkat dari kegelisahan intelektual seniman dalam fenomena pemajuan kebudayaan. Kegelisahan itu dipicu mulai dari isu aktual mengenai kepastian arah gerakan pemajuan kebudayaan sampai kepada sumbang (diduga, mengarah salah) arah pembangunan Gedung Kebudayaan Sumatera Barat yang dilansir Zona C akan dikonvesi menjadi Hotel Berbintang dan diduga mengancam rumah dan panggung seniman budayawan. Sampai mereka membuat petisi yang diserahkan kepada Gubernur dalam duduk bersama di Istana, 4 Januari 2023. Gubernur Mahyeldi menerima, diiringi penjelasan dan pernyataan Gubernur, tidak bakal ada “Hotel Berbintang” di Gedung Kebudayaan rumah seniman itu.

Pernyataan Gubernur itu dikawal terus oleh seniman budayawan dengan membentuk barisan dan suara berlapis para seniman di Sumatera Barat. Artinya isu aktual pemajuan kebudayaan serta pernyataan tekad Gubernur tadi, positifnya secara tidak langsung mendorong penyatuan gerakan Seniman sejak mati suri dan bahkan tak bernafas lagi Dewan Kesenian Sumatera Barat (DKSB) meskipun sudah dipasilitasi Gubernur Irwan Prayitno sebelumnya, namun juga tak hidup-hidup. Kesatuan dan persatuan seniman itu ditandai dengan berdirinya Forum Perjuangan Seniman Sumatera Barat. Forum diperkuat wadah komunikasi WhatsApp Group (WAG) Komunitas Seniman Tambud yang beranggotakan 144 orang aktif. Saya diundang Adminnya sekaligus presedium FPS Sumatera Barat: Ery Mefri, Dr. Hermawan, Prof. Dr. Emearaldi Chatra, Rizal Tanjung, Zamzami Ismail, Bram, Octa lainnya. Disemangati presedium Edi Utama, Syarifuddin Arifin, Dr. Adria Catri Tamsin, Fauzul Elnurca, Viferi Yudi, Rahmat Wartira, SH, Dedi Navis, Dr. Trikora Irianto, Jefnil, SH lainnya. WAG ini dinamis menayangkan digitalik gambar, video, suara, dialog-dialog singkat dalam beragam tema memberi kritik terhadap fenomena sumbang (diduga, mengarah salah) dalam pelaksanaan pemajuan kebudayaan tadi. Tidak cukup disitu, kawalan itu muncul secara esensial subtantif dalam karya kreatif seni: puisi, cerkan, esei sastra, lukis, pameran, tari dan pertunjukan lainnya mengapresiasi jalannya pemajuan kebudayaan dan kritik terhadap yang dirasakan sumbang (diduga, mengarah salah) tadi. Lihatlah semua kreasi ekspresi seni itu selama satu minggu (26-31 Desember 2023) di Gedung Pameran Tambud ini dalam merayakan peringatan Setahun Panggung Ekspresi Seniman, FPS Sumatera Barat, dibuka 26 Desember 2023 kemaren.

Forum Ekspresi Seniman aktif menggelar Panggung Ekspresi Seniman di Pelataran Tambud setiap tanggal 13/ bulan. Fenomena panggung ekspresi seniman yang sudah berusia 1 tahun ini, dalam pandangan saya, alangkah serunya kalau “didadak” Gubernur, seperti dulu pernah terjadi ketika aksi di Lapau Catuih Ambuih PKP, sering dikunjungi spontan Gubernur Azwar Anas dan seniman diapresiasinya dan diakui sebagai partisipan aktor seniman budayawan yang setiap saat tampil menjadi narasumber spontan tanpa bayar menawarkan kekayaan ide dan gagasan bagaikan mata air yang tak pernah kering keluar dari lisan para seniman budayawan dalam pemastian arah pembangunan kebudayaan ketika itu.

Matrik Pendistribusian Stakeholders Pemajuan Kebudayaan

Sebenarnya, mengutip Presedium FPS Sumatera Barat Ery Mefri (maestro seni yang ia juga Owner Nan Jombang Dance Company Padang yang ladang tarinya, pintunya selalu dibuka Direktur Festivalnya Angga, mempasilitasi kesempatan dan tempat pertunjukan bagi sanggar-sanggar seni) menyebut dalam pembukaan helat ini kemaren (26/12), bahwa kritik disertai ide dan gagasan mesti ada, tanda seniman dan budayawan itu ada. Namun di sisi lain ia menyebut Gubernur dan pemerintah daerah dalam hal ini tak boleh selalu disalahkan, kita-kita juga harus koreksi diri, karena sudah disediakan ragam pasilitasi. Semua sudah diberi, tak penuh ke atas penuh ke bawah, baik regulasi maupun anggaran, semua ada. Hanya saja dimungkinkan para pelaksana teknis kebijakan di pemerintahan belum sempat mengatur penyertaan dan belum menunjukkan keterbawaan para pihak kebudayaan, baik dibawa serta dihargai sebagai sumber ide dan gagasan maupun membawa dan menempatkannya dalam pelaksanaan bersama sebagai stakeholders seni dan kebudayaan dalam pemajuan kebudayaan itu. Artinya dari teori pembangunan, belum mencerminkan ketersusunan matriks pendestribusian stakeholders kebudayaan dalam melaksansanakan tugas bersama dan bekerjasama dalam pemajuan kebudayaan, terutama antara aktor pemerintah (dengan OPD-nya terkait), swasta dan aktor masyarakat budaya lainnya termasuk masyarakat seni.

Sungguhpun demikian tetap ada angin segar berhembus, justru Kadisbud Syaifullah bersama Kepala UPT Tambud Supriyadi mengakui, tetap “membuka ruang kritik” untuk membangun komitmen bersama memperhatikan kelembagaan kebudayaan termasuk sanggar-sanggar seni yang ada dalam rangka pemajuan kebudayaan sebagai tugas bersama dan bekerjasama, termasuk memperhatikan Forum Perjuangan Seniman dan Budayawan Sumatera Barat. Terakhir Kadisbud sudah memperhitungkan dan menghitung jumlah kelembagaan kebudayaan baik di aspek seni maupun di aspek adat dan aspek objek/ unsur pemajuan kebudayaan lainnya yang jumlahnya puluhan yang sudah ber-SK Mengkumham RI. Juga sudah memfasilitasi kelembagaan seni pertunjukan tradisional sampai ke nagari-nagari, “kalau tidak penuh ke atas, penuh ke bawah”. Terakhir Pergelaran Pertunjukan Seni Tradisional diselenggarakan Tambud dibawa ke nagari-nagari, yang tahun ini di Nagari Pangian. Para pihak sanggar seni di sana terinspirasi mengadakan Pesona Pangian dan menyeminarkan kekayaan budaya dan adatnya di sana bekerjasama dengan SAKO Anak Negeri dan dikoordinasikan dengan Kepala Tambud serta anggota legislatif pemilik pokir Hendra Irawan Rahim sebagai sponsorship. Fenomena ini bagian dari upaya pemajuan budaya dan ABS-SBK yang terkonsentrasi di Nagari-nagari dipasilitasi akato pemerintahan (Pemdaprov, Disbud  dan DPRD Provinsi Sumatera Barat). 

Harapan besar semua para pihak kebudayaan, penting menjelaskan kepastian arah pemajuan kebudayaan dan pelaksanaan ABS-SBK dengan pendistribusian stakeholders kebudayaan dalam matriks yang seimbang untuk “mengeroyok” tugas pemajuan kebudayaan itu. Pelaksanaan harapan itu adalah sebagai upaya kepastian sikap mengamanahkan UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dan UU 17/2022 tentang Provinsi Sumatera Barat yang mengeksplisitkan filosofi ABS-SBK. Perwujudan harapan itu sudah dimulai Disbud, dalam bentuk pelaksanaan dan pernilaian 18 Nagari Pengimplementasi ABS-SBK di Sumatera Barat, menjelang akhir tahun 2023 ini. Pelaksanaannya melibat para ahli di bidangnya dari berbagai disiplin dan kelembagaan.

Artinya, diakui secara realistik faktual gerakan pemajuan kebudayaan di Sumatera Barat sudah berjalan, meski tetap terus dimaksimalkan. Tinggal lagi pendistribusian stakeholders kebudayaan dalam matriks para pihak yang seimbang. Menandai perjalanan pemajuan kebudayaan itu dimulai dari respon positif regulasi pemajuan kebudayaan. Disbud Sumatera Barat termasuk cepat merespon UU 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, begitu diundangkan tahun 2017, tahun itu, Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat menunjuk tim merumus Naskah Akademik mengantarkan Ranperda Pemajuan Kebudayaan ke DPRD Provinsi Sumatera Barat. Sayang sejenak terhenti, disebabkan PP Pemajuan Kebudayaan itu belum ada. Lalu dilanjutkan 2023 ini oleh DPRD melalui hak inisiatifnya di garda terdepan anggota legislatif yang peduli budaya Hidayat dengan tim Naskah Akademik dan Ramperdanya ialah Koko, dkk.

Tim Naskah Akademik dan Ranperda Pemajuan Kebudayaan Disbud Sumatera Barat sebelumnya tahun 2017, terdiri dari para pakar perguruan tinggi (Unand, UIN Imam Bonjol, UNP, UBH, ISI Padang Panjang lainnya) di Sumatera Barat diketuai Dr. Hasanuddin yang ketika itu Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unand. Hasanuddin, dkk ketika itu berfikir, gerakan pemajuan kebudayaan itu semestinya menyentuh hal yang ideologis dan akidah/ keyakinan kebudayaan dengan pertimbangan aspek hukum, filosofi, dan sosiologis. Artinya pemajuan kebudayaan itu tidak sebatas barang museum “adat lamo pusako usang” 10 unsur/ objek yang diamanatkan UU 5/2017 itu saja, tetapi menyentuh ipoleksosbudhankam, sehingga kita dapat memastikan arah pemajuan kebudayaan tak jauh dari masyarakatnya dalam mengemban amanat aspek hukum, filosofis, nilai sosiologis Undang-undang pemajuan kebudayaan itu.

Komunikasi Publik Memastikan Arah Pemajuan Kebudayaan

Arah pemajuan kebudayaan di Sumatera Barat yang gerakan perjuangannya yang sedang berlangsung, disadari masih perlu dipastikan. Beralasan Disbud mengadakan komunikasi publik terutama masyarakat budaya termasuk seni dalam bentuk FGD Kebudayaan di Auditorium Gubernur Sumatera Barat yang dihadiri, disambut dan diberi amanah Gubernur Mahyeldi sendiri, 11 Desember 2023. FGD ingin memastikan arah kebijakan pemajuan kebudayaan dan pelaksanaan ABS-SBK dengan menghadirkan dua nara sumber Prof. Nursyirwan Effendi dan saya sendiri. Sayang FGD kepepet waktu “malam bajangko”, setelah paparan singkat dua nara sumber tidak berlanjut ke paparan narsumber yang banyak, sifatnya FGD semua peserta narasumber. Kita sadar sebenarnya FGD itu penting. Karena dianggap penting FGD itu, maka peserta meminta dilanjutkan apakah dalam bentuk forum daring atau luring. Justri dari FGD ini diharapkan menjadi input dalam FGD Tematik Bappeda Sumatera Barat, 20 Desember 2023.

FGD Tematik Bappeda itu, adalah dalam rangka perumusan RPJPD Sumatera Barat 2025-2045 dengan topik: “Transformasi Tata Kelola Pemerintahan dan Kehidupan Berbudaya Beragama dalam rangka Mewujudkan Sumatera Barat yang Maslahat dan Berkeadilan 2045”. Kepala Bappeda Medi Iswandi menghadirkan tiga narasumber: Prof. Asrinaldi, Miko Kamal, Ph.D dan Prof. Nursyirwan Effendi. Narasumber memperlihatkan fakta budaya masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan, betapa mengejutkan belum terbentuknya legal culture (budaya hukum) baik dalam tata kelola pemerintahan, penerapan hukum dan pemajuan kebudayaan dalam index yang rendah dibanding Yogyakarta. “Sudahlah! kata Kadisbud Syaifullah, rendahnya indeks, itu soal indikator saja. Yang jelas ke depan kita pastikan arah pemajuan kebudayaan di daerah kita”, pungkasnya. Kenyataan dan arah ini digarisbawahi para penanggap lainnya di antaranya oleh Ketua Umum Pusat Kebudayaan Sumatera Barat Dr. Shofwan Karim didampingi Wakil ketua Hasril Chaniago serta Sekumnya, yang terakhir Pusat Kebudayaan ini sudah berhasil menulis dan meluncurkan 1 Oktober 2023 lalu Ensiklopedia Tokoh 1001 Orang Minang dalam 3 jilid yang mengesankan orang Minang itu hebat dan bagaimana mempertahankan kehebatan itu selanjutnya dalam perubahan. 

Persoalaan inti dalam pemajuan kebudayaan di Sumatera Barat, sekali lagi adalah kepastian arah dan memaksimalkan pelaksanaan ABS-SBK sebagai mengamanahkan UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dan UU 17/ 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat. Di setiap forum diskusi dan seminar termasuk di Panggung Ekspressi Seni FPS Sumatera Barat yang baru berumur 1 tahun ini, suara nyaring pemastian arah kebijakan pemajuan kebudayaan dan pelaksanaan ABS-SBK itu terus berkumandang. Tentang suara nyaring dan hangat pemastian arah pemajuan kebudayaan, juga muncul saat usai FGD Kebudayaan Disbud Sumbar di Istana Gubernuran 11 Desmber 2023 yang terputus tadi. Di antaranya oleh Prof. Dr. Emeraldi Chatra dalam percakapan dengan narasumber dan beberapa orang budayawan, bahwa bertumpu pada 10 unsur/ objek pemajauan kebudayaan itu saja, dikesankannya sebagai terpisah dari daily life (keseharian) masyarakat.

Kata Emeraldi Chatra, kesan saya mengenai pemajuan kebudayaan dalam (fenomena sekarang-pen) berpotensi memisahkan kebudayaan dengan alam pikiran dan nilai-nilai yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Pemajuan kebudayaan arahnya ke utara, dan masyarakat bergerak ke selatan. Sepuluh unsur/ objek pemajuan kebudayaan diamanahkah UU 5/ 2017: (1) Tradisi Lisan, (2) Manuskrip, (3) Adat Istiadat, (4) Ritus, (5) Pengetahuan Tradisional, (6) Teknologi Tradisional, (7) Seni, (8) Bahasa, (9) Permainan Rakyat, (10) Olahraga Tradisional ditambah (11) Cagar Budaya serta Museum, dinilainya semakin jauh dari keseharian masyarakat. Masyarakat sibuk dengan media sosial di era digital ini, terdoda gaya hidup global dan budaya populer lainnya. Pertanyaannya, kalau sudah begitu keadaannya, bagaimana kita akan bicara tentang ketahanan budaya seperti tadi banyak dijelaskan Prof. Nursyirwan dalam FGD 11 Desember. Dalam pandangannya bahwa ketahanan budaya itu baru muncul kalau apa yang kita katakan kebudayaan itu sejalan dengan keseharian masyarakat, yang nilai-nilainya diyakini benar. Budaya itu what people’s believe. Budaya itu ideologi. Karenanya beralasan tadi Dr. Hasanuddin menyebut pemajuan kebudayaan semestinya didasari ideologi dan akidah/ keyakinan kebudayaan itu sendiri.

Keyakinan Budaya Warisan Masyarakat : Storytelling

Justru Emaraldi secara kritis melihat tantangan pemajuan kebudayaan itu adalah fenomena penggerusan keyakinan budaya di tengah masyarakat. Orang semakin tak yakin, warisan nenek moyang mereka akan membuat hidup lebih baik, lebih nyaman dan dapat mengantarkan mereka pada perwujudan berbagai imajinasi. Biang penggerusan keyakinan budaya itu sudah sama diketahui adalah “gadget”. Mengubah tantangan penggerusan keyainan budaya itu, Emaeraldi menawarkan solusi. Di antaranya bangkitkan kembali tradisi “bacarito” (berceita, storytelling) di tengah masyarakat. Terutama tradisi “bacarito” dari ibu ke anak. Tentulah ini bagian di antara teknik mewariskan alam pikir dan nilai dalam pemajuan kebudayaan yang menjadi catatan Emeraldi.

Ide storytelling Emeraldi sebagai salah cara pemajuan kebudayaan, cukup menarik. Beberapa tahun lalu masih dalam gagasan pemerintah tentang pendidikan berkarakter, storytelling di lombanasionalkan antar perguruan tinggi terutama di PTAI se Indonesia. Saya pernah dilibatkan menjadi juri. Event itu menarik dan mengesankan dalam penguatan keyakinan warisan budaya masyarakat.

Rasa ketertarikan saya dengan storytelling, sebenarnya bagian dari reproduksi pengalaman saya dengan nenek saya bernama Tikar, membenangkan cerita kepada cucunya sebagai mengantar tidur. Kadang saya tertidur dalam buain storytelling nenekku dulu itu. Kesan dan pengalaman itu menginspirasi saya, menulis skripsi berbahasa Arab setebal 200-san halaman di FT-IAIN Imam Bonjol, 1983. Skripsi itu berjudul, Al-Qashashu l-Islamiyah fi Tatsqifi Syakhshiyati Athfal (القصص الاسلامية فى تثقيف شخصية الاطفال). Maknanya “Storytelling Islami dalam Pembentukan Karakter Anak”. Karya ilmiah ini diminta untuk diterbitkan IAIN IB-Press, lalu diterbitkan tahun 1983, dan Cet.II 1991.

Sejak 1983 itu saya berfikir, penting pendidikan berkarakter melalui storytelling yang menginspirasi saya menulis bukunya, dan pemerintah baru terakhir ini memikirkannya “pendidik berkarakter”. Dalam pandangan saya, kemampuan ibu dan atau nenek yang menguasai adat syara’, bacarito/ storytelling Islami dan Minangkabau, kemungkinan bisa mengalahkan daya tarik gadget, sehingga ketergantungan anak kepada gadget dapat dikurangi. Kalau anak sudah tidak lagi menomorsatukan gadget dan lebih merindukan cerita dari ibu dan nenek mandeh sakonya (Bundo Kanduang), kita optimis dapat mengurangi pengaruh buruk gadget kepada anak. Dengan demikian storytelling dapat menjadi medium bagi ibu mewariskan nilai-nilai dan alam pikir budaya kepada anak mereka dalam kultur Minangkabau yang berfilosofi ABS-SBK dan suku bangsa lain yang sudah “hinggap mencakam” dalam wilayah kultur di Sumatera Barat, di samping dapat membentuk karakter dan legal culture (budaya hukum) masyarakat di mana saja.

Pelaksanaan ABS-SBK di Nagari

Dari Panggung Ekspresi Seni FPS Sumatera Barat, seperti tadi disebut gong suara lantangnya terdengar ke nagari-nagari. Tentang arah pemajuan kebudayaan dan pelaksanaan ABS-SBK yang menjadi sumber nilai dan alam pikir orang Minangkabau. Justru filosofi ABS-SBK sumber Adat Sabatang Panjang (ASP), terdiri dari Adat Nan Sabana Adat (ANSA) dan Adat Nan Taadatkan (ANTA). Adat nan Sabatang Panjang ini menjadi sumber dari Adat Salingka Nagari (ASN) terdiri dari Adat Nan DiAdatkan (ANDA) dan Adat IstiAdat (AIA). ASP dan ASN keduanya hidup dalam limbago adat penghulu di nagari termasuk nagari yang sudah menjadi kawasan kota (kota dalam nagari Minang, bukan nagari dalam kota). ABS-SBK itu sudah final, yang belum final pelaksanaannya dan para pihak pelaksana. Karenanya melaksanakan Nilai-nilai adat diperlukan pula pendistribusian stakeholders seimbang dalam pelaksanaan ABS-SBK yang terkonsentrasi di nagari-nagari itu, yakni ada 3 kelembagaan dalam kaitan Adat dan Pemerintahan Nagari.

Tiga kelembagaan dalam kaitan adat dengan pemerintahan Nagari itu adalah (1) Limago Adat yakni Limbago Penghulu/ Rajo yang berjenjang naik dan bertanggo turun di Nagari sebagai pemilik adat sesusai asal usul yang berwenang melaksanakan dan mewariskan adatnya di garda terdepan Tungku Tigo Sajarangan (Penghulu, Ulama, Cadiak Pandai) berdasarkan kaidah hukum Tali Tigo Sapilin (tali/ hukum syara’, hukum adat dan hukum akal/ bentu regulasi), di samping melaksanakan fungsinya sebagai limbago kerapatan penghulu/ rajo di nagari dalam menyelesaikan sengketa dan perdamaian adat di nagari, (2) Lembaga “Organisasi Adat yang kukuh di Nagari” yakni wujudnya Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang mempunyai kewenangan memfasilitasi Limbago Adat dalam pelaksanaan dan pewarisan adat di Nagari di samping fungsinya sebagai lembaga permusyawaratan perwakilan adat tertinggi di Nagari, dan (3) Kelembagaan Pemerintahan Nagari yakni Wali Nagari dan Badan Permusyawaratan Nagari.

Ketiga kelembagaan tadi sebagai para pihak pelaksanaan ABS-SBK terkonsentrasi di nagari-nagari, penting pengaturan seperti Perdaprov 13/ 1983 yang tidak berlaku lagi sebagai amanat berdirinya KAN 544 Nagari di Sumatera Barat. Adalah mengatur dalam penyusunan matriks stakeholdes seimbang dalam pelaksanaan ABS-SBK yang memperkaya teknik pemajuan kebudayaan. Justru dalam amanat sejarah KAN 1983 itu sudah ada arah, hubungan ketiga kelembaga nagari tadi adalah dalam bentuk konsultatif, tidak boleh saling memasuki, tetapi kalau ada sentuhan pembangunan nagari mengenai persoalan adat budaya, maka wali nagari berkonsultasi dengan KAN dan Limbango Ada.

Justru matriks pendistribusian ketiga kelembagaan nagari tadi sebagai stakeholders kebudayaan sudah digambarkan sebelumnya dalam amanat sejarah tahun 1983 persandingan pemerintahan nagari, Limbago Adat Nagari dan KAN. Sekarang peraturan seperti itu tidak ada, mau dirancang perda dan atau pergum masih menunggu kuliah dari bagian hukum. Amanat sejarah 1983 tadi itu pada Perdaprov 13/1983 yang tak berlaku lagi, sudah bidjak mengatur, (1) Pemerintahan Nagari (Wali Nagari dan Bamus) berkedudukan sebagai regulator, pembuat peraturan pemerintah di nagari yang menyeelaraskan hukum pemerintah dengan hukum adat, sehingga nagari dan adat tak “tagaduah”. Selain itu Pemerintahan nagari menyelenggarakan satu kewenangan saja yakni urusan umum pemerintah. (2) KAN dapat berfungsi sebagai organizing committee dalam pelaksanaan tugasnya mengembang fungsi nagari sebagai desa adat, dua sisi mata uang dengan wali nagari yang kewenangannya mengurus urusan umum pemerintahan saja. Sedangkan (3) Limbago Adat Nagari berkedudukan sebagai Steerring Committee, bila KAN melaksanakan fungsi nagari sebagai desa adat dan sebagai Masyarakat Hukum Adat (MHA), dan Wali Nagari melaksanakan urusan umum pemerintah bersentuhan dengan adat, semestinya meminta arah adat budaya dari Limbago Adat Nagari, sehingga ketiga lembaga di 544 nagari itu berjalan terkonsultatif dan dapat sharing power dalam pemajuan kebudayaan dan pelaksanaan ABS-SBK yang terkonsentrasi di nagari-nagari itu.

Akhirnya, tak dapat saya pungkiri pada satu sisi pandang, suara lantang penentuan arah kebijakan pemajuan kebudayaan dan pelaksanaan ABS-SBK terkonsentrasi di nagari-nagari sebagai desa adat khususnya (istilah UU 6/2014 dan Perdaprov Sumbar 7/2018), gong sudah bergema dari Panggung Ekspresi Seni FPS Sumatera Barat sejak awal berdiri setahun yang lalu. Suaranya lantang dan terbuka, menginspirasi Kabupaten Kota sampai ke nagari-nagari. Mengilhami hadirnya panggung ilmiah seperti seminar dan FGD-FGD lainnya di pihak aktor pemerintahan, aktor perguruan tinggi, swasta dan masyarakat buday termasuk seni, adalah bagian spektrum kebudayaan tahun ini, membawa inspirasi dan aspirasi penyadaran dalam ilmu pemberdayaan dalam tugas pemajuan kebudayaan dan implementasi ABS-SBK.***yy27-12-2023


[1]Yulizal Yunus, Pengajar dan peneliti Kebudayaan dan Sastra dari Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang. Pengamat gerakan pemajuan kebudayaan dari berbagai kelembagaan kebudayaan di Sumatera Barat. Tulisan sisi kecil dari presentasi sebagai narasumber pada Diskusi Budaya, dengan topik: “Setahun Panggung Ekspressi Seniman, Forum Perjuangan Seniman Sumatera Barat”, di Taman Budaya Dinas Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat, 27 Desember 2023.