LARI justru diperlombakan. Atlit juara lari disanjung. Dielu-elu memenangkan perjuangan. Namun sebaliknya ada lari yang tidak disukai. Adalah lari dari perjuangan. Lari dimaksud diinspirasi Sang Musafir ZIS isyarat jangan mundur dari basis perjuangan.
Lari dalam perspektif perjuangan, setidaknya dua hal bidik pandang. Pertama lari dari yang tak elok dan tak benar. Kedua lari ke medan juang membela yang benar. Membela yang berduit? He he tunggu dulu! Membela yang benar, berduit atau tak berduit tidak jadi pertimbangan.
Lari dari yang elok dan atau perjuangan, fenomna itu sudah jadi preseden sampai sekarang, sejak sejarah perjuangan saisuak. Baik fenomena lari dalam perjuangan menegakkan risalah Islam sejak Nabi SAW sampai dakwah sekarang, maupun lari dari perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan besi kolonialisme dulu dan atau semua bentuk kolonialisme yang penuh bujuk rayu menyesatkan.
Yang berpandangan singkat, pun dalam akidah iman tak murni dan mental ideologi tak sehat dalam prakteknya politik rendah, lari dari perjuangan dan atau beralih perahu, prasangkanya menghindari mati dan selamat. Tidak juga. Justru ada yang mati dan tak selamat karena lari dari medan juang, baik perjuangan yang dihujani senjata teknologi (sistek) maupun medan laga yang sedang dihujani peluru senjata sosial (sissos) yang sangat neversystem.
Lari cari selamat dari perjuangan yang sedang dihujani sistek, sejak masa klasik ada. Ingat Perang Tabuk, nyaris mati semua pasukan, karena ada yang lari dan ingin selamat sendiri hendak merebut cepat harta rampasan. Juga lari dari medan juang, mencari perahu lain dan atau ibarat tupai melompat ke kelapa yang berbuah, supaya tak dibilang bodoh amat jadi tupai, masih mau menghunyi kelapa tak berbuah. Antalah, soal kemurnian akidah iman dan kesehatan mental ideologi, persoalan yang selalu ada di ketiak kita. Betapa penting agama soal iman dan Pancasila soal ideologi bagi kita.
Lari dari medan juang sejak dulu dinilai tak terpuji dsn khianat. Membiarkan kawan korban dan hanya cari selamat sendiri. Lari untuk selamat, tidak juga. Yang lari mati juga, meski ada yang selamat. Justru lari semakin tak jelas. Tak jelas perjuangannya. Ironisnya, setelah perjuangan selesai menang, berteriak pula pahlawan, katanya nasib mujur kemudian dipahlawankan. Tapi yang jelas pahlawan tidak pernah meminta menjadi pahlawan. Meski tak dikenal ia tetap pahlawan. Artinya pahlawan bukan yang sisa korban karena lari dari perjuangan melawan sistek dan sissos.
Dalam masyarakat juga ada fenomena lari dari perjuangan melawan sissos. Orang barsitungkin, ia tak acuh, bahkan tak ikut serta aktifitas sama sekali. Dikenal dalam masyarakat panitia pacu kudo. Kalau sukses, yang tak aktif tadi berkata: aden sato di situ tuuu. Ambiak muko. Tapi kalau gagal, ia berkata: itulah, sejak lamo ambo tagaan, kareh angok juga. Kata kawan saya, fenomena ini disebut kemunafikan sosial. Berkelompok, lari dari tanggung jawab, janji publik tak diisi tak ditepati, dipercaya di depan elok di belakang inyo cibian awak, picayo lai bana indak, pitaruah baunyian. Sepakat untuk tak sepakat, lalu akan bekerja ia berkata: manga repot-repot dunia ko tak kalasai di awak do. Dan, lari.
Lari seperti tadi, namanya mengelak dari tanggung jawab. Kock kamamakan lai piriang tak sadang, kalau ka sawah lai pulo cangkul berlebih. Dalam ilmu sosiologi ada yang menteorikan masyarakat seperti itu, masyarakat itu singkong. Tapi dalam perspektif civic education dekat dengan prilaku demokrasi dan pengamal HAM yang tidak seimbang hak dan kewajiban. UUD 1945 mengispirasi, hak itu seimbang dengan kewajiban.
Dalam konteks tak seimbang hak dan kewajiban, sudah banyak fenomena. Saya terkesan baca novel Najib Mahfuzh penerima nobel sastra tahun 1988. Judulnya Masjid di Lorong Sempit. Di lorong sempit itu dipenuhi dan semakin bertambah para pelacur. Di dalam masjid jangankan jemaah bertambah, yang ada saja semakin kurang, justru yang rajin ke masjid kena cecar terus. Penyelenggaranya pegawai negara tak imbang kewajiban memakmurkan masjid dengan hak gaji dari negara. Syekh Abdul Rabuh imamnya tak teladan. Ketika ia bertausiyah, bom Israel berjatuhan. Para pelacur di gang sempit itu takut dan lari masuk ke mesjid. Syekh Abdul Rabuh memekik-mekik berteriak mengusir, tapi mereka tak mau keluar. Sebab di benak pelacur ada setetes Imam, siapa yang masuk masjid selamat. Kalau kalian tak keluar saya yang keluar kata Syekh. Keluarlah Syekh! Kami tetap dalam masjid. Akhirnya Syekh memilih lari, keluar, begitu keluar lansung disambar pecahan bom Israel, dan mati. Sialannya cerita ini mengesankan setetes Imam pelacur seperti lebih baik dari segudang ilmu Syekh yang lari meninggalkan kewajibannya berbanding haknya yang diterima dari negara. Astaghfirullah, berakibat penulis novel ini dicap sekuler (‘ilmaniah) dan tak dihargai di negaranya, Mesir.
Jadi kaya ilmu dan kaya harta seharusnya berbanding lurus dengan iman diabadikan dalam penunaian kewajiban, mengurus masyarakat.
Agaknya tak boleh seperti paham kaum comforzon (comfortable zone) meminjam istilah guru saya Prof Helmi. Fenomena pahamnya, seperti ungkapan: buat apa susah-susah. Pangkat dan jabatan sudah tinggi, tiap bulan duit diterima dari negara, ke masjid sajalah lagi yang rajin, sembahyang berjemaah tiap waktu, buat apalagi repot repot mengurus masyarakat. Pensiun nanti senang-senang saja, menggalas kecil-kecil, datang pembeli kotak duit dibuka, datang waktu shalat kotak duit ditutup dan ke masjid, selesai shalat pulang, buat apa repot mengurus masyarakat, bangsa dan negara. Serahkan saja lah pada orang. Maknanya itu, lari dari tanggung jawab sosial, maunya comforzon, sudah merasa enak di zona nyaman dalam kehidupan pribadi, sendiri. Ini bagian dari makna lari perjuangan dan tak terpuji.
Berlajar dari fenomena tadi, jangan lari dari perjuangan dan masuk ke comforzon, menjadi bagian fikir tindak antisipasi selanjutnya bagi KAMI dalam kekitaan Bhinneka Tunggal Ika di NKRI didasari Pancasila dan UUD 1945. Ayo di forum ini mari mengabdi bagi masyarakat, bangsa dan negara dalam cita MAS (Masyarakat Adil Makmur)