Opini  

Pragmatis Konsumerisme di Kampung, Jangan Gagalkan Misi Nagari Aman Santoso

Menarik diskusi seputar fenomena Kampung dan kekhawatiran gagalnya misi ketahanan nagari aman santoso. Diskusi berlanjut ke WhatsApp merespon tulisan trending topik “Tokoh Sentral Pemuda Bisa Berantas Diskotik di Jalanan Kampung”, viral beberapa hari ini di Medsos. Mawardi Roska, Sekdakab Pesisir Selatan menilai, fenomena ini penting “diotakan” kepada khalayak ramai, di rumah-rumah, di lapau-lapau, di majelis-masjid, di kampung-kampung dan di Nagari-nagari.

Pun tokoh Sumbar asal Pesisir Selatan Novermal Yuska, SH menyebut fenomena kampung itu sudah menjadi buah bicaranya dengan berbagai para pihak di daerah. Bahkan, sudah menjadi bagian rekomendasi untuk daerah, kata tokoh masyarakat Novermal Yuska yang anggota DPRD Pesisir Selatan itu. Buah pembicaraan itu pun bersambung ke banyak phonsel di suasana lebaran ini, tukuk Dr. Edi Suandi.

Tentu saja buah bicara menjadi bagian “ota society” yang bernas. Bahkan menjadi bagian penting pemberdayaan masyarakat pada tingkat penyadaran, bahwa sesungguhnya kita ialah anak nagari yang kuat, tetapi kadang ibarat harimau, sewaktu-waktu lupa dengan belangnya. Analognya, kita hendak meramikan nagari, terkadang bentuk kegiatannya “batin kita menolak”, karena tidak kondusif memperbaiki keadaan nagari.

Karenanya pula otosociety seperti ini, baik sebagai bagian tugas pemberdayaan masyarakat tahap penyadaran, terhadap masyarakat dan nagari dalam menghadapi berbagai permasalahan yang fenomenal. Justru nagari sedang menghadapi suasana lemahnya pelaksanaan nilai-nilai yang bersumber dari adat salingka nagari selaras adat sebatang Panjang ABS-SBK (Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah) dan norma-norma agama.

Pragmatis Konsumtifisme Para Elit
mesti diperkuat penyadaran diri dalam kerangka pemberdayaan masyarakat dan nagari. Permasalahan nagari, seperti fenomena pindahnya diskotik ke sepanjang jalanan kampung, dipastikan ada masalah di balik peristiwa itu. Mawardi Roska, Sekretaris Daerah Kabupaten Pesisir Selatan melihat, ini adalah satu di antara hasil pragmatis-konsumtifisme, mungkit bersumber dari para elit di kaum, di kampuang-kampung dan di nagari-nagari. Akar rumput (mungkin anak cucu kamanakan generasi milenial dan gen-z yang tech savy) melihat dan mencontoh ke atas. Yang dicontoh adalah apa yang dipertontonkan oleh para elitnya itu.

Diperparah lagi keadaan tadi, kata Mawardi Roska, oleh apa yang ditayangkan oleh sinetron-sinetron di tv-tv. Belum lagi dampak negatif dari IT (medsos) dan teknologi (mechine) yang lebih menggiring frame of minds audiens, yang menawarkan pesan waah, glamour dan konsumtif oleh sponsor/ iklan, dipastikan akan menggoda generasi yang terbiasa sebagai konsumen dengan konsumsi siap saji.

Tidak jarang, inisiasi orgen tunggal “bak diskotik” (seperti disebut tulisan viral tadi) yang manggung di tapi labuah, ini oleh para perantauan (baik muda maupun tua) (dan atau mungkin elit kampung yang langsir ke kota), yang kesehariannya mungkin dekat dengan minuman keras dan diskotik. Lalu pulang kampung membawa “tontonan” dan “cerita hidup happy” di kota tadi, yang di kampung menilai menjadi bagian indikator sukses, maka pengaruh kota tadi membangun ilusi urang kampuang. Yang saya pikir fenomena ini dekat dengan disintegrasi sosial.

Apalagi donaturnya diskotik tapi labuah tadi, urang yang banyak ke kota tadi (meski ada fikirnya menolak membantu karena melihat gejala tak baik untuk kampung, tetapi mesti membantu juga, bak makan buah simala kama), semakin membius angan-angan orang kampuang. Orang kampung justru dalam kondisi kekinian mereka yang kapasitas literasi agama, akhlak (etika moral) dan adat, masih terbatas.

Penghargaan Ranah ke Rantau yang Terbelah

Fenomena ranah – rantau ini, menariklah pokoknya, yang jika lalai berdampak tak baik pada nagari. Adalah fenomena yang melatari timbulnya masalah yang sedang kita bicarakan. Kehidupan yang berubah dan memperlihatkan gejala merisaukan, benar sekali apa yang disebut Mawardi Roska, persoalannya saling berhubung kait dengan akar umbi masalah kekinian di rantau dan di ranah. Penghargaan kepada rantau dari ranah kampung, yang tidak lagi kepada nilai dan fikiran, tetapi seperti disebut tadi yang dihargai yang gemerlapan, yang mengkilap, tanpa disadari, penghargaan kampung itu menjadi penghargaan terbelah terhadap rantau bahkan terhadap elit di kampuang sendiri yang berfikir cemerlang.

Akibat fenomena penghargaan terbelah tadi, dirasakan dampaknya di nagari sendiri. Rantau apalagi yang plus bawa pikiran minus kepeng, tak semesra dulu pulang yang mendorong gairah duduk bersama. Ditambah lagi soal votte ala demokrasi kini (yang mulai meninggalkan musyawarah untuk mufakat), menggiring persepsi ranah terhadap rantau tak turut memilih, sampai di kampung disambut dingin. Berakibat, tak ingin lagi terlibat di kampung, bahkan menjebak gaya hidup conforzon. Kalaupun pulang kampung, mungkin dari rumah ke rumah dusanak, tak banyak lagi termotivasi peduli kepada kegiatan nagari dan keharusan duduk bersama ketika pulang kampung itu, meskipun mesti siap juga dimintai sumbangan.

Di sisi lain sebagian rantau dan atau yang berulang ke kota, yang mengkilap dan plus materi, tak bertanya asal usul materinya kadang sering menjadi dewa. Yang datang senang pula didewakan, lalu mebawa kebiasaan sebagian budaya kota/ rantau dengan dunia hidup glamor dan profan lainnya, ditiru di kampung karena disokong sumbangan materi, tanpa peduli apa dampaknya bagi nagari. Apalagi situasi nagari dalam kondisi tidak siap menghadapinya dengan nilai-nilai yang mereka anut selama ini.

Justru secara psikologi, dalam catatan Mawardi, bahwa ketika masyarakat tidak siap (dengan pondasi nilai agama, dan norma etika yang bersumber adat), maka kondisi itu akan rentan diperparah dengan dampak kemajuan industri informasi dan teknologi (mesin, komunikasi, medsos). Dampaknya suatu persoalan besar yang akan tetap menanti dan tak gampang menghadapinya.

Keluarga dalam Gawat Darurat Keteladanan Akidah dan Indeologis

Mawardi menunjuk fakta empirik di dalam keluarga, kaum, kampuang dan nagari serta tingkatan di atasnya. Katanya suka atau tidak suka, sadar atau tidak sadar, kita dalam kondisi gawat darurat ketauladanan ideologis (bahkan akidah). Tokoh yang laris manis adalah tokoh yang pragmatis-konsumtif (wani piro). Para parameternya kekayaan (aset, dompet), kedudukan dan jabatan. Kampung pun tidak mempertanyakan hal yang profan, dari mana sumber kekayaannya. Apakah yg bersumber dari halal atau haram, dari menjual narkoba, menjual perempuan, memalak, merampok, korupsi dan sebagainya.

“Liek si Anu, otonyo mangkilek, rumahnyo batingkek, galanyo ampek, bininyo kamek, dompetnyo padek, jabatannyo ampek. Sanang bana iduiknyo,” kata Mawardi menirukan ciloteh yang terbias disintegrasi sosial. Disintegrasi sosial dimaksud adalah, rentan tergiur hal yang popular dan wah yang substansinya belum dimengerti sepenuhnya, tapi serta merta meninggalkan nilainya yang cukup teruji mengatur dapat tertib sosial sejak dahulu di nagari.

Ketika berada dalam kondisi disintegrasi sosial itu, seperti diamati Mawardi, ukuran tidak lagi tingkat keilmuan. Tidak juga menjadi ukuran kasalehan ibadah/ sosial, kedermawan, kebaikan menampung banyak rang kampung di rantau, dan atau heroistik perjuangan hidupnya mambangkik batang tarandam, membela nagari dan adatnya. Tapi ukuran yang profan tadi.

Ketika Organisasi Adat Meninggalkan Musyawarah untuk Mufakat

Ditambah lagi penyebab bertambah parah integrasi sosial, sistem politik dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Justru kata Mawardi, hegemoni demokrasi (faktor suara terbanyak dalam suksesi), telah merambah dan menusuk ke akar rumput. Prakteknya dalam berbagai pertemuan di kampuang beradat sekalipun, tidak jarang dengan cara votting. Bahkan pemilihan pengurus masjid, pemilihan ketua pemuda kampuang dan nagari, pemilihan kapalo kampuang, apalagi pemilihan BAMUS Nagari, pemilihan Wali Nagari, pemilihan jabatan-jabatan birokrasi di pemerintahan, legislatif dan kepala daerah. Bahkan hal yang ironis disebut Mawardi, pemilihan ketua organisasi adat di Kerapatan Adat Nagari (KAN) dan pemilihan pimpinan Limbago Adat yakni datuak yang seharusnya memberi contoh musyawarah dalam mengambil mufakat sakato kaum, justru dilakukan dengan demokrasi votting.

Astaghafirullah, saya berdecak juga mendengar dan melihat fakta ironis yan disebut Mawardi itu. Fenomena ini sering saya sebut dalam workshop datuk penghulu dan pimpinan KAN se Sumatera Barat yang banyak digelar Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Sumatera Barat yang dipimpin Kadis Amasrul, SH.
Ketika nagari apalagi limbago adat dan organisasi adatnya terperangkap votting ala demokrasi barat yang tak berakar pada budaya Minang itu, dalam memilih pimpinan, saat itu tanpa disadari sudah muncul tanda kerusakan nagari dan mengancam masyarakat adat ke depan. Saya senang merekam ciloteh intelektual peduli adat dan nagari, kalau nagari dan kelembagaan adat tidak mau lagi bermusyawarah untuk mengambil mufakat (keputusan), berhentilah bernagari. Astaghfirullah! Saya kaget.

Padahal, negara kita mengambil salah satu sila Pancasila adalah dari sistem musyawarah Minang, adalah “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilian”. Artinya, kedaulatan masyarakat adat itu dipimpin oleh hikmah (yakni nilai dasar: nan bana) dan kebijakasanaan (adalah nilai instrumental), forumnya musyawarah dan qourumnya adalah perwakilan. Sidang ninik mamak dalam adat dengan sistem perwakilan suku mengambil mufakat (keputusan) dalam musyawarah, dipimpin hikmah kebijaksanaan. Karenanya, nagari itu istimewa dengan musyawarah perwakilan. Kalau enggan bermusyawarah di nagari, itu yang diketuskan mereka tadi, berhentilah bernagari.

Keengganan Musyawarah Mengantarkan ke Politik Transaksional

Mawardi tadi juga menyebut kerumitan lain di nagari di era yang berharga itu adalah suara ramai-ramai (demokrasi ala barat), bukan suara perwakilan ala musyawarah dalam sistem masyarakat adat dan diadopsi nilai luhurnya oleh perinsip dasar Pancasila. Kata Mawardi, politik transaksional dengan kasat mata dipertontonkan. Teramati, bukan lagi dipertontonkan, tetapi jadi permainan. Pemilihan Walinagaripun sudah terjebak politik transaksional. Terpilihlah pimpinan yang tidak berpihak kepada penyelamatan nagari. Terjadi krisis moral pada pimpinan nagari, sulit digugat masyarakat, justru dipilih suara terbanyak. Mau ke mana nagari dibawa! Ini bagian jadi pengalaman di nagari dalam pemilihan pimpinan dengan politik transaksional.

Jangankan membawa nagari sesuai misi “aman santoso”, ketika ada diskotik di jalanan kampung saja pimpinan nagari diam. Justru fenomena diskotik di pintu labuah seperti mengawali pembicaraan tadi itu, ketika sudah merasuki ilusi sebagian anak muda, siapa yang berani dengan heroik melarangnya? Akal pikiran politik transaksional berkalkulasi akan ancaman untung rugi vote ke depan, kata Mawardi.
“Bak makan buah simala kama”, pemerintah dan legislatif merasakan rasa tak mau memberi dukungan seperti helat diskotik di kampung dan keramaian lainnya yang tidak kondusif itu, tapi kalau tidak memberi kontribusi susah pula. Suatu tantangan, kata Mawardi, kok musik dangdut koplo yg merangsang birahi diminati? Sementara di Kota sudah ditinggalkan. Kok tidak rabab disenangi, atau talempong, pupuik sarunai, kecapi, gambus, aukustik, kim, tari kain, tari rantak kudo, randai dan alat musik serta seni lainnya diminati? Saya pikir ini bagian dari buah pikir, bagi para pihak, mau kemana arah pemajuan kebudayaan kita? Penyakit ini, sudah komplikasi. Namun kita tidak putus asa, kalau soal diskotik di jalanan kampung, yang Novermal menyarankan jangan pindahkan diskotik ke jalanan, kita sebenarnya yakin, hanya pemuda yang perlu di garis depan, untuk bersama dan duduk bersama, menentukan arah keramaian nanti di kampung-kampung salingka nagari.

Solusi-solusi Membawa Kampung Aman Sentosa

Sebagai solusi-solusi perbaikan kampung dalam nagari, pemerintah sebenarnya sudah memberi peluang. Secara strategis regulatif, peluang obat yang paling mujarab itu sebenarnya adalah pelaksanaan UU No.6/ 2014 mengenai amanat pilihan desa adat, yang pemerintah pusat dengan UU ini seperti berbisik pada orang Minang, “balik lah banagari”, yakni hidup baadat dalam bentuk “Nagari sebagai Desa Adat”, dijamin kekuatan masyarakat hukum adatnya dan dijamin penganggaran dengan APBN-APBD di samping pincuran pendanaan lainnya lebih banyak.

Peluang UU 6/2014 itu pertama di Indonesia dijawab pemerintah di Sumatera Barat dengan mengeluarkan Perda Payung No. 7/2018 tentang Nagari di Sumatera Barat. Intinya memberi kesempatan kembali mengajak “nagari balik beradat” dan “pemilihan pimpinan berbasis pada suku”, “bersidang berdasarkan musyawarah mengambil mufakat”. Tapi sayang Perda Payung ini tidak bisa dilaksanakan menurut amanat UU No.6/2014, kalau tidak ada Perda Kabupaten/ Kota yang mengatur tentang Nagari sebgai Desa Adat yang berdasarkan UU No.2014 dan Perda No.7/2018 itu. Situasi kini, adalah masih tersandung di Kab/ Kota, yakni belum ada Perda Kab/ Kota.

Solusi-solusi teknis dan taktis lainnya mengenai menjaga nagari dan adatnya, ditawarkan Mawardi. Pertama, keluarga sakinah, mawaddah, warahmah, angat perlu dipahami dan dilaksanakan setiap pimpinan keluarga (ayah dan ibu). Kedua, setiap suku/ kaum atau kampuang punya kegiatan “magaji agama dan adat jo basilek” (mangaji : mangaji ilimu agamo jo dunia, adat basilek : kecakapan/ keterampilan bela diri agar eksis di manapun berada). Ketiga, rumah-rumah tafizh yang diberi roh surau, mewajibkan lulusannya khatam juz 30 dan melaksanakan shalat. Keempat, kesepakatan di tingkat Nagari Adat (KAN), calon pengantin harus bisa mengaji dan shalat, kalau tidak surat keliling tdk dikeluarkan, kalau kawin lari ditolak tinggal di kampung. Kelima, tindakan represif dilakukan oleh Pemda bersama kepolisian, yang dikawal oleh elit-elit di lokasi diskotik labuah itu.

Disadari amat penting bebepa solusi yang ditawarkan. Hanya saja tugas kita selanjut, penting mencari pembaharuan cara bagaimana mengkomunikan pemikiran ini dengan tokoh sentral di nagari: tokoh adat (todat: datuk penghulu, penjaga kaum), tokoh agama (toga: jinih nan-4, suluah bendang di nagari), tokoh pemuda (toda: cadik pandai, parik paga di nagari). Komunikasi public dibangun dan duduk bersama, menyadarkan kita bersama pada keadaan yang kita alami di nagari cukup rumit menciptakan kampung dalam nagari aman santoso.

Penulis adalah akademisi, budayawan dan ninik mamak di Sumatera Barat.