Islam  

Sakit

FIKIR.ID – Siapa yang bangun di pagi hari dalam keadaan aman sehat badan dan punya persdiaan, Hari itu makanan seakan-akan dunia telah dihimpunkan untuknya (HR Tarmizi dan Ibnu Majah)

Sebuah tayangan “renungan senja” bersumber hadis tadi, dalam sebuah video, dishare Beliau H.Arnis Saleh. Mengilhami saya dan jadi pangana merepreproduksi sebuah pengalaman sedih saya baru saja menyaksikan seorang yang sakit mengenaskan dan tanpa sadar meminta uluran tangan. Benar sekali kata cerdasnya, bahwa “sehat itu berharga, jaga kesehatan dan kendalikan nafsu makan”.
Sakit adalah adat hidup. Ada sehat, sesudahnya sakit. Selama sehat, suatu kali sakit. Itu alamiah yang sudah ditakdirkan Allah. Yang baik datang dari Allah, yang buruk berasal dari kita. Tak ada cara lain, selain sabar, berdoa dan berobat. Kami berdoa: syafakallah (semoga Allah memberi kesembuhan) dan kembali bugar.


Paling itu untaian kalimat pengunjung si sakit (‘iyatulmaridh). Ya, itu bagian dari kata nasehat kepada si sakit. Si sakit saat itu merasakan ada olesan sitawa sidingin. Hilang sekejap rasa sakit, ketika dapat siraman nasehat dan penghargaan kunjungan.


Setelah pergi pengunjung dan habis nasehat, si sakit kembali ke rasa dan pikirannya yang berkecamuk. Dites iman di dada. Tak terbayangkan! Rasa sakit kembali menyerang, meradang dan menerjang. Apalagi saat semua sudah tidak ada, jangan untuk berobat, untuk makan saja tidak. Paling bisa sabar, tapi entah sampai kapan tegar dan berakhirnya penyakit yang menyakitkan ini ketika tak dapat upaya pengobatan. Ditambah pula perasaan, mana makan keluarga yang harus dipikirkan, saat badan sakit parah. Hanya kadang jawabannya, air mata gemiring, merembes ke pipi. Air mata berderai, jatuh ke perut. Luluh perasaan. Yang menyaksikannya pun empati, si sakit menangis, kita yang melihat sakitnya tersedu.
Baru saja saya mendapat pemandangan menyedihkan itu.

Saya luluh, tak tertahankan dan meneteskan air mata, ketika dishare whatsApp sebuah gambar menyedihkan si sakit mengidap gula basah. Gulanya parah, glukosa darahnya tinggi, ratusan mg/dl sudah melewati batas maksimal di ambang batas darurat. Pikiran awam tak ada harapan. Meskipun mati tak selalu karena sakit, tapi faktor ajal. Yang muda mati yang tua mati, yang sehat mati, yang sakit mati, kelapa jatuh mumbang jatuh, kata Orang Minangkabau. Meski darah seakan mau beku, daging serasa melunak, badannya nan rancak tinggi menjadi kurus, habis daging tulang beraut. Semuanya sudah ketentuan Allah, namun masih diberi peluang berusaha merubah nasib, disertai doa bermohon, semoga Allah memberi jalan yang terbaik.


Si sakit tidur di alas lantai seadanya di rumah yang tak layak hunyi. Kurus semakin kurus, tinggal kulit pembalut tulang. Ditambah pula pemandangan pada kakinya sudah berlubang, bertukak. Daging yang ada sekitar lubang, rontok. Kulit-kulitnya berserfihan, membusuk. Langau hijau pun hinggap tak terhalau. Ditinggal langau, “barangan” segera menjadi ulat belatung. Sudah mulai nampak ulat putih belatung merayapi daging membusuk. Bau, dapat dipastikan menyengat tak tertahankan, bayangkan daging manusia sudah membusuk.


Ya Allah Yang Maha Penyembuh, sumbuhkanlah si sakit. Nasib buruk menimpa si sakit anak dagang asal Pesisir ini. Isterinya asal Padang Panjang, dengan anak beberapa orang, entah dengan apa pula hidup, makan saja susah. Pun sakit-sakitan pula. Pasangan muda mendekatai 40-han ini, buruk benar nasibnya. Sewa rumah tak terbayar, pindah ke rumah mertua. Rumah kecil, padat pula lagi, penghunyinya dan tak layak.


Badan sakit tak lagi berpencaharian. Apalah daya keluarga. Apalah kata mertua, selama ini anak perempuan berharap pada suami. Semula menggalas Soto Padang di bilangan Pakanbaru sana, yang kadang laku, kadang tidak, hasil cukup-cukupan untuk makan saja. Sekarang sudah tak lagi bisa, karena sakit benar-benar menyiksa badan dan perasaan. Berhenti menggalas soto. Tak lama gerobak pun lapuk dan rontok. Modal sedikit jual soto, pun habis.


Mau berobat, pitih tak ada lagi. BPJS pun tak ada, mungkin tak ada dari awal dan mungkin BPJS mati karena tak terbayar iyuran. Dan, jangankan pitih ongkos berobat, untuk makan saja tidak ada. Nan tasalek di bawah bantal pun sudah habis. Pasrahlah sudah. Hilang akal keluarga yang sedang diuji ini. Dirunding, dapat kesepakatan. Isteri dan anak tinggal di perantauan, berduka. Suami dijemput keluarga, pasrah. Pulang ke rumah ibu dan ayah yang tidak pula punya. Rang Kampung datang, si anu pulang, sakit! Pastilah tak punya apa!


Dusanak juga rang kampung spontan mengunjungi si sakit. Syukur pada Allah, rang kampung masih tertanam nilai: alek baik baimbauan, alek buruk baambauan (helat yang baik diundang, helat buruk spontan datang). Mereka baambauan, sepontan badoncek. Dusanak dan sato rang kampuang. Terkumpul uang seadanya, tak penuh ke atas penuh ke bawah. Tentu tidak terus menerus orang mampu membantu. Untuk kini, bolehlah, selanjutnya? Untuk berobat awal dan biaya makan sebagian untuk keluarga, bolehlah.

Sehari-hari si sakit mengerang sakit dalam ketiadaan. Tak ada caranya selain sabar menanti. Butuh bantuan untuk berobat, siapa tahu nasibnya baik, sembuh lagi. Umurnya panjang dan dipanjangkan ilahi.
Banyak sakit si sakit dikunjungi, tak ada sedih secemas ini. Lebih cemas lagi, ketika si sakit, andaikan lupa mendekat kepada Ilahi Yang Maha Penyembuh.


Sebab ada fakta pada yang lain pernah sakit. Saat sakit, ada dua reaksi si sakit. Pertama rata-rata si sakit mengeluh berkepanjang. Kedua orang sabar penuh penyerahannya kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Yang Maha Penyembuh.


Sialnya si sakit tipe pertama mengeluh berkepanjang, sampai lupa Allah, berteriak durhaka, meneriakan sesali tuhan tak adil. Malah ada yang lebih durhaka lagi, ia bercarut-carut, mempercarutkan tuhannya. Astaghafirullah! Orang di sekitar tak kuasa menyadarkan dan menyabarkannya, sampai ia mati dalam berteriak durhaka kepada Allah. Rasanya tak sedih secemas ini.

Hebatnya si sakit tipe kedua. Ia tegar dan sabar. Malah lebih banyak tersenyum dari kerut keningnya. Ia senantiasa mencari bahagia dalam sakitnya. Ia bersyukur dan bangga ditegur kekasihnya yang abadi, ialah Allah Yang Maha Kasih dan Maha Penyembuh. Bahagia ditegur Allah, bagian dari imannya berbuah manis.

Malah kadang si sakit yang tegar dan sabar ini seperti Ayub a.s (keturunan Nabi Ishak putra Nabi Ibrahim). Ia diuji penyakit yang mengenaskan. Sampai habis kekayaannya, perkebunan dan peternakannya yang penyakit tak sembuh juga. Sampai ia terusir, karena orang kampung tidak tahan dengan bau menyengat daging rontoknya dipenuhi ulat belatung. Istrinya pun malah ada yang tak setia mendampinginya.

Penyakit Ayub as, kian parah. Badan, daging dan kulitnya tinggal pembalut tulang. Yang tersisa urat, jantung dan hatinya yang masih berdenyut dan bergerak berzikir kepada Allah. Ia tegar dan sabar tak putus berdoa, ingat (zikir) sebagai rasa cinta (mahabbah) pada kekasihnya Allah Yang Maha Kasih dan Terkasih. Kadang ia malu berdoa minta sembuh dan disembuhkan Allah kekasihnya itu. Karena ia pikir sudah hidup sehat separoh umur selama 70 tahun lebih, kini baru sakit 18 tahun. Ia khauf (takut) tak mendapat sayang Allah, dan khawatir nanti ketika berhisab, ditanya kemana saja usia sehat digunakan.
Namun Ayub as senantiasa bersemangat dan tak putus asa. Berdoa tidak minta sembuh dan disembuhkan, tetapi meminta senantiasa diberi rahmat (kasih sayang) dan redha (rasa senang) Allah yang tak pernah putus kepadanya meskipun sekedip mata. Akhirnya dengan ketegaran dan sabar, Allah redha padanya, ia pun disembuhkan dan sembuh. Allah menganugerahi mata air obat penyembuh. Ia disembuhkan sekaligus memulihkan kekayaannya serta mengembalikan keluarganya yang samawa. Ia diberi keyakinan, seperti Firman Allah SWT, “jika aku sakit, Dialah yang menyembuhkanku” (idza maridhtu, fahuwa yasyfiini) – QS.As-Syu’ara’ 26:70.

Karenanya, sakit, perlu tegar dan sabar. Artinya tidak boleh gelisah dan putus asa. Tak kalah pentingnya upaya berobat. Berobat diikuti doa. Tak boleh takut berobat, dengan alasan obat pahit dan takut diinjeksi atau diimpus. Takut tak ada ongkos. Upaya, di mana ada kemauan di sana pasti ada jalan. Tak mampu, asal mau, insya Allah akan banyak orang menolong. Namun kemauan berobat, jangan tak tegar dan sabar, maunya cepat sembuh. Berupaya terus, lama sembuhnya, jangan disesali Tuhan, kenapa sakit ini tak sembuh-sembuh juga! Justru tambahlah keyakinan kepadaNya, belum bertemu obat dengan penyakit. Justru diyakinkan: “setiap penyakit ada obatnya, karena itu kamu berobatlah” (likulli da’ dawa’, dawau). Tak dukun dan tak dokter yang menyembuhkan, tetapi Allah memberi anugerah kepadanya dan menginspirasinya mengeluarkan resep dan obat yang mujarab.

Seiiring upaya berobat mengobati penyakit, tingkatkan kedekatan dengan Allah (taqarrabu ilallah). Mendekat kepada Allah, caranya dengan mengerjakan banyak-banyak nawafil (amalan sunat di samping amalan wajib) dan terus berdoa meminta redha dan rahmat Allah. Orang yang tak mau berdoa, dianggap sombong dan melawan Allah, akan mengundang laknatNya.

Si sakit, yakinlah berdoa dan berobat. Justru Allah itu Rahman (Maha Penyantun) dan Rahim (Penyayang). Ia akan memberi kesembuhan kepada hambanya yang tegar, sabar, berobat dan tulus berdoa meminta kepada Allah. Allah akan mengabulkan doa orang yang tulus berdoa. Justru bertemunya obat dengan penyakit itu, bagian redha dan rahmat Allah. Berdoa dan berobat, harapan untuk sehat. Bugar, segar (refreh) kembali seperti sedia kala, semuanya anugerah Allah. Diberikan kepada Hambanya yang yakin dan yang dikehendakiNya. Semoga kita tegar dan sabar menghadipi ujian Allah, serta senantiasa dalam redha dan rahmat Allah, terhindar dari segala penyakit berbahaya dan kornis. Amin*