Islam  

Menebar Semangat Senang Berkurban

FIKIR.ID – Panjang lebar sudah saya khutbahkan dalam rangkaian ibadah shalat ‘Iduldha di Masjid Raya Assakinah Balimbing Padang, 28 Juni 2023. Ingin berbagi lebih banyak, disingkat inti khutbah. Judul “Unsyuru Ruh al-Tadhiyat al-Sa’idah (انشروا روح التضحية السعيدة) / Tebarlah Semangat Senang Berkurban”. Senang – ikhlas berkurban itu akhlak mulia derjat pribadi yang mukhbitin, muhsinin dan muttaqin. Dengan akhlak muttaqin ini, melahirkan semangat senang (ikhlas) berkurban dan memberikannya kepada yang tidak meminta (al-qani’) dan yang meminta (al-mu’tarr). Karenanya kurban yang iklhas menaikan derjat mukhbitin, muhsinin dan muttaqin itu, jangan sempat dirusak (dibatalkan) pahala sedekahnya dengan menyebut-nyebutnya (al-manna) dan menyakiti perasaan )al-adza) penerima – panitia penyelenggara kurban.

Penyembelihan/ Kurban terdapat beberapa kata di dalam al-Qur’an. Di antaranya: al-nahr (al-Kautsar:2) , al-mansak (al-Hajji: 34), al-zabh (Assaffat:107), al-hadyu (al-Baqarah: 196) dan al-qurban (al-Maidah: 27 berkaitan Kisal Kurban Qail dan Habil) lainnya. Semua kata itu menunjukkan arti penyembelihan dan atau kurban.

“Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu (Muhammad) nikmat yang banyak, maka dirikanlah shalat (shalli) kareana Tuhanmu dan berkurbanlah (anhar). Sesungguhnya orang-orang yang membencimu dia akan terputus” (SQ al-Kautsar:1-3). Mendirikan shalat (‘idul adha) melaksanakan shalat memenuhi rukun syarat. Sesudah shalat berkurbanlah.

Menyembelih kurban (al-nahr), dalam kata lain al-mansak (penyembelihan). “Dan bagi tiap-tiap umat kami syari’atkan penyembelihan (mansakan, kurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang direzkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kepadaNya dan berilah kabar gembira kepada mukhbitin (orang yang tunduk patuh), QS. al-Hajj:34.

Penyembelihan kurban, bila dilaksanakan dengan ikhlas, akan mengantarkan yang berkurban kepada peringkat kualitas ke-Islamannya yang tinggi. Di antaranya 3 tingkatan: (1) al-mukhbitin (orang yang tunduk patuh kepada Allah), (2) al-muhsinin (orang yang senang berbuat baik, Tuhan senanatiasa hadir dalam hidupnya di manapun dan kapanpun) dan (3) al-muttaqin (orang yang bertaqwa).
1. Al-Mukhbitin, ialah orang yang memiliki 4 ciri. (1) orang yang bila disebut nama Allah, bergetar hatinya (ٱلَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ ٱللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ). Tersentuh hatinya mendengar ayat-ayat Allah dan ajakanNya meraih kemenangan; (2) orang yang sabar terhadap segala sesuatu yang menimpanya (وَٱلصَّٰبِرِينَ عَلَىٰ مَآ أَصَابَهُمْ): bala’, ujian lainnya; (3) orang yang mendirikan shalat (وَٱلْمُقِيمِى ٱلصَّلَوٰةِ) dengan segala syarat dan rukunya, dan (4) orang yang menginfakan sebagian dari apa yang telah kami rezkikan kepada mereka (وَمِمَّا رَزَقْنَٰهُمْ يُنفِقُونَ).

2. Al-Muhsinin, ialah orang senantiasa berbuat baik, Tuhan hadir dalam kehidupannya di mana dan kapan saja. Piawai membuat keseimbangan cinta Allah (mahabbatullah), hubb al-’ailah (cinta keluarga) dan ikhlas. Namun memilih cinta Allah diabadikan dengan ikhlas melaksanakan perintahNya.

Dalam praktek memberi, akhlak orang muhsinin, senang memberi (berkurban), mau memberikan lebih dari jumlah yang harus ia berikan dan atau rela mengurangi haknya dari seharusnya ia diterima, bahkan dirinya (jiwa raganya) rela diinfakan karena mahabbah (cinta) pada Allah. Untuk contoh keluarga muhsinin ini dalam konteks semangat senang berkurban ialah keluarga Nabi Ibrahim, anaknya Ismail dan isterinya Siti Hajar. Demi mematuhi perintah Allah, mereka rela mengurangi kebahagiaan keluarganya.

Ujian berat dari Allah Ibrahim rela mengubankan kebahagiaannya. Ketika sudah tua Ibarahim baru mendapat anak Ismail, dalam keadaan bahagia, anaknya kecil belum tahu apa-apa, diperintah keluar dari Palestina. Ia membawa anak dan isterinya keluar Palestina, sampai di lembah tandus – kering disebut Bakkah (kemudian dikenal Makkah, Mekah sekarang). Tidak lama pula, ia mendapat perintah lagi dari Allah kembali ke Palestina dan harus meninggalkan anak istrinya dengan makanan dan air sekedarnya.

Sang istri Siti Hajar bertanya. Suamiku, benarkan kau akan kembali ke Palestina tanpa membawa kami? Ibrahim diam. Apakah suamiku tidak kasihan meninggalkan kami dan si buyung belum tahu apa-apa di tanah yang tandus kering ini? Ibarahim diam. Apakah ini perintah Allah? Barulah Ibarahim menjawab dengan isyarat mengangguk, air mata mengambang di pelipis. Tahulah Siti Hajar, ini perinta Allah, ia senang. Ia yakin kalau sudah perintah Allah, insya Allah akan hidup, meski tanpa makanan dan tanpa ada air. Karena Allah yan menghidupkan dan mematikan, insya Allah akan ada dariNya jaminan rizki makan minum.

Sepeninggal Ibrahim, makanan dan air yang ditinggal habis. Anak yang belum tahu apa-apa lapar dan kehausan. Siti Hajar berusaha mencari air. Dilayangkan pandangan jauh, ditukikan pandangan dekat, tak ada air. Nampak bukit Safa, mengesankan air mengalir, berlari ke sana, ternyata bukan air, yang ada fatamargana. Berlari pula ke Bukit Marwa, tidak juga ada air. Bolak balik 7 kali berlari antara Safa dan Marwa, tiada setetes air pun yang mungkin diraih. Peristiwa bolak balik Hajar dari Safa dan Marwa itu, kemudian diabadikn menjadi bagian rukun haji dan umrah disebut dengan sa’i. Justru makna dasarnya sa’i itu adalah usaha mencari kehidupan.

Letih meletihkan, lalu Siti Hajar mendengar gemericing air, di bawah kaki Ismail kecil. Saking derasnya air memancar dari bumi tandus kering, curiga pula Siti Hajar akan terjadi banji, lalu ia berucap meminta air itu berhenti, jangan terus memancar dan mengalir. Ucapannya zamzami… zamzami ya mubarak! Berhentilah … berhentilah air yang memberi berkat, maka kemudian dari ucapannya itu, bernamalah air dari sumur bersumber mata air itu dengan air zamzam, yang sampai sekarang tidak pernah kering. Itu berkat kesabaran dan ketaatan seorang perempuan, ketabahan seorang ibu mengasuh anaknya seorang diri karena Allah, karena kesalehan seorang istri setia memegang amanah suami sampai kembali dari Palestina ke Bakkah.

Ibrahim kemudian kembali dari Palestina ke Bakkah. Ismail sudah menunjukkan tanda perkembangannya yang matang ada yang menyebut usia 13 tahun, sudah bisa membantu Ibarahim bekerja (فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ) berusaha mencari rizki Allah (Assaffat:102). Belum cukup ujian Ibarahim, saat itu datang pula perintah Allah melalui mimpi, untuk menyembelih sebagai kurban anak lelakinya yang semata wayang itu. Perintah itu dirunding dengan anak dan isteri, terjadi dialog antara anak yang saleh dengan ayah yang sangat sayang pada anaknya itu Isamil yang teramat sabar.
– Anakku sayang, sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku, bahwasanya aku akan menyembelihmu, pikirkanlah apa pendapatmu? (قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ) ? Lihat Surat Assaffat: 102.

Perkataan ayah yang santun (qaulan sadida) dan kata yang lembut meluluhkan hati (qaulan layyina) dan Ismail luluh.

+ Ayahku sayang, lakukanlah apa yang diperintah (Allah), engkau ayahanda akan mendapatkanku insya Allah termasuk orang yang sabar! Surat Assaffat:102 (قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ) !

Perkataan qaulan karima (kata yang memuliakan), qaulan baligha (komunikatif menyentuh hati) dan qaulan maisura (perkataan yang memberi kemudahan) kepada yang mulia ayahnya, tak terduga oleh Ibrahim keluar dari mulut anaknya yang saleh dan ditakdirkan memiliki sifat sabar luar biasa (ghullam halim), menambah lirih perasaan dan mengundang air mata memeluk anak.

Terjadi semula konflik batin. Ibrahim sang ayah, Ismail sang anak dan Hajar sang ibu yang salehah, menghadapkannya kepada pilihan antara: Cinta Allah dan cinta keluarga. Godaan setan pun masuk. Kepada Ibarahim dan Ismail terang-terangan mencegah tidak mengikuti perintah Allah. Kepada ibu, setan masuk dari belakang. Tetapi karena taat kepada Allah keluarga yang berkelas muhsinin (yang Allah hadir dalam kehidupannya kapan dan di mana saja), setan tidak pernah punya peluang masuk. Terjadi kesepakatan Ibarahim dan Ismail, tatkala keduanya telah berserah diri, dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, nyatalah kesabaran keduanya (فَلَمَّآ أَسْلَمَا وَتَلَّهُۥ لِلْجَبِينِ) Surat Assaffat:103, siap akan menyembelih Ismail anaknya. Ismail memohon pada ayahnya dengan qaulan maisura (kata yang memberi kemudahan) agar ayahnya mudah menyebelihnya: (1) ikat ia dengan kuat, supaya tidak bisa bergerak, (2) tajamkan pisau, supaya mengurangi rasa sakit, (3) buka bajunya nanti berikan kepada ibu sebagai kenangan. Lalu dengan hati yang ikhlas kedunya penyembelihan dilakukan. Ternyata rahmat Allah (kasih sayang Allah) datang, mata pisau yang tajam tidak kuasa, jangankan leher anaknya putus, tergores saja tidak. Ibarat terulang pengalaman Ibrahim sendiri, api unggun yang panas disiapkan membakarnya, jangankan membakar, baju putihnya saja tidak ternoda, malah ia kedinginan dalam api yang panas, karena Allah memerintahkan api menjadi dingin (bardan).

Ibrahim tercenung, dirasakan darah mengalir menghangat mengenai tubuh, disangka anak sudah terpotong lehernya, dalam situasi genting itu, Allah berfirman, “kami panggil dia, hai Ibarhim” (وَنَٰدَيْنَٰهُ أَن يَٰٓإِبْرَٰهِيمُ) Surat Assaffat:104. Ibrahim tersadar dan diberi tahu Allah, “sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik/ muhsinin” (قَدْ صَدَّقْتَ ٱلرُّءْيَآ ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْمُحْسِنِينَ) Surat Assaffat:105. “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata” (إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلْبَلَٰٓؤُا۟ ٱلْمُبِينُ) Surat Assaffat:106. Karena Ibrahim dan Ismail lulus ujian Allah, keduanya selamat, Ismail tidak tersembelih, yang tersembelih adalah ganti Ismail yakni kibas, sesuai firman Allah, “dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” (وَفَدَيْنَٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ) Surat Assaffat:107. “Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian” (وتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِى ٱلْءَاخِرِينَ) Surat Assaffat:108, “yaitu kesejahteraan dilimpahkan kepada Ibrahim” (سَلَٰمٌ عَلَىٰٓ إِبْرَٰهِيمَ) Surat Assaffat:109. “Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik” (كَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْمُحْسِنِينَ) Surat Assaffat:110. Ibrahim dan keluarganya naik derjat dari mukhbitin, muhsinin menjadi muttaqin.

Muttaqin, orang bertaqwa, berkurbn ata dasar ketaqwaan melahirkan semangat senang berkurban itu. Dari pengalaman Qabil dan Habil berkurban, justru yang diterima adalah kurban yang didasari ketaqwaannya. Pengalaman Ibrahim dan Ismail berkurban, diterima karena ketaqwaannya. Anak si buah hati Ismail, dikurbankan dengan ikhlas memenuhi perintah Allah, Ibrahim mendapat ucapan salam dari Allah SWT. Ismail yang tadi dibaringkan di pelipis, lalu Ibrahim dengan pisaunya yang tajam digorokan kelehernya. Ternyata, tidak Ismail yang tersembelih. Jangankan tersembelih, pisau tajam itu seperti tidak mampu menggores leher putra kesayangannya itu. Dipastikan karena ikhlasnya memenuhi perintah Allah, kurbannya diganti oleh Allah dengan kibas yang dinyatakan sebagai kurban yang besar ) dzabhu ‘azhim , ذبح عظيم).

Sekarang kurban kita binatang ternak, kibas/ kambing, lembu, kerbau, unta lainnya. Leher digorok dengan pisau tajam, menyebut namba Allah dan membesarkannya, darah mencurat mengalir, kaki menerjang-nerjang menahat sakit, demi tuannya yang ikhlas berkurban. Tapi yang diterima Allah bukan karena darah dan dagingnya itu, yang diterima itu keiklasan berlandasan ketaqwaan yang berkurban itu. Ibarat unta kurban kita. Apa amanat ayat Allah (Al-Hajj:37): “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik – muhsinin” (لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ ۗ وَبَشِّرِ ٱلْمُحْسِنِينَ).

Jelasnya, kurban kita bukan daging dan darahnya yang sampai kepada Allah, tetapi faktor ketaqwaan yang berkurban menentukan kurbannya itu diterima Allah. Karenanya amanat ayat, “carilah hewan kurban yng mudah didapat (istaisara min al-hadyi)”, al-Baqarah: 196. Tidak perlu pusing-pusing dan memaksakan diri mencari binatang kurban yang banyak dagingnya kalau memang tidak ada lagi persediaan di pasaran ternak atau penjual ternak. Tidak perlu yang berkurban ngotot kepada panitia penyelenggara, tidak dapat mengadakan kurban binatang yang banyak dagingnya, yang penting sehat. Justru yang berkurban ngotot dengan menyebut-nyebut (manna) dan mengeluarkan kata yang menyakitkan perasaan penerima dan penyelenggara kurban (adza) dengan qaulun syathatha/ heboh, gharur/ sombong dan qaul zur/ ucapan kepalsuan lainnya, justru akan membatalkan pahala kurbannya, karena banyak mulut tidak menggambarkan dasar ketaqwaan yang menyebabkan senang dan ikhlas rela berkurban.

Kalau sekarang kurban kita hewan ternak, lalu pengembangan selanjutnya apa kurban kita? Tentulah kurban kita termasuk upaya menebar semangat senang berkurban, senang memberi, bangga memberi tidak saja materi (harta), tetapi juga setidaknya immateri (jiwa besar) mengorbankan sebahagian kepentingannya (waktu, kesempatan, pikiran dan perasaan) di samping sebagian harta rizki dari Allah SWT diberikan iklhas untuk orang yang membutuhkan. Kalau hari ini tidak sempat berkurban binatang ternak, tetapi kurbankan sebagian waktu, kesempatan, pikiran, perasaan, termasuk kurbankanlah jiwa angkuh merasa benar dan hebat sendiri, sifat sombong dan sifat hewani dan setani (syaithani) dalam diri kita. Tumbuhkan rasa rendah hati (tawadhddu’) dan akhlak mulia senang memberi, sehingga tak enak perasaannya dalam sehari-hari kalau tidak dapat memberi. Justru kurban itu sendiri nafasnya jiwa senang memberi sebagai kesalehan sosial. Karena kurban itu di samping dagingnya boleh dimakan pemilik kurban sekedarnya (seperti perintah kulu minha), namun sebanyak mungkin dibagi (seperti perintah ath’amu, memberi makan daging) kepada orang lain, baik yang tidak meminta, diberi atau tak diberi baginya alhamdulillah (disebut al-Qani’), maupun kepada orang yang meminta daging, hiba hatinya kalau tak diberi kupon daging (disebut al-mu’tarr), seperti halnya dipesankan Surat Al-Hajj: 36.

Artinya dari perspektif amal sosial kurban, daging kurban lebih banyak untuk memberi makan orang lain atas dasar ketakwaannya yang melahirkan semangat senang memberi. Semangat seperti ini pasti didasari ketaqwaan. Justru ketaqwaan seseorang yang berkurban itulah yang menjadi faktor, kurbannya diterima Allah, daging dan darah kurban itu justru tidak akan sampai kepada Allah. Karenanya jangan dirusak tetapi peliharalah filosofi dan pahala (ajrun) kurban itu mengangkat derjat yang berkurban menjadi orang mukhbitin (bergetar hatinya bila disebut nama Allah, sabar, shalat dan senang berinfak), mushsinin (hadir Allah dalam hidupnya di mana dan kapan saja) dan muttaqin (taqwa kepada Allah).***