FIKIR.ID – Ketika saya menulis beberapa ulama untuk buku “Riwayat Hidup Ulama Sumatra Barat” diterbitkan Islamic Centre Sumatera Barat (ICSB) 1981, saya sudah mendengar kebesaran nama Surau Tarok. Wartawan senior Skh. Haluan Masri Marjan ketika saya tanya saat itu, ia mengakui ada Surau Tarok di Kawasan Pauh IX Padang. Namun ulama yang mendirikannya ketika itu tidak diketahui nama yang pasti. Memangnya belum diteliti khusus, sampai sekarang.
Sejak tahun 2004, saya lalu lalang saja di depan Surau Tarok. Apakah memang Surau Tarok ini, kalau tidak di mana lagi? Terletak di perkampungan Suku Koto Jl. Tui, Kuranji, kawasan Belimbing Padang. Justru saya keluar masuk dari/ ke rumah melintas di depan Surau ini. Belum ada pikiran serius menelitinya.
Terniat untuk meneliti Surau Tarok ini ada, tapi tak sempat-sempat juga. Namun ada kabar Surau Tarok ini sudah diteliti mahasiswa sejarah untuk skripsi sarjananya di Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang. Fenomena penelitian itu disebut pakar sejarah Islam Dr. Saharman, yang ia menyebut pernah membimbing dan menguji skripsi tentang Surau Tarok itu.
Saya tidak tahu bahwa Surau Tarok itu sudah ditulis, meski saya juga di Fakultas ADab dan Humaniora itu mengajar sastra dan kebudayaan masyarakat Indonesia serta Islam dan Budaya Minangkabau. Ketika saya tanya nama mahasiswa yang meneliti dan menulis skripsi itu, Doktor Sejarah itu menyebutnya lupa. “Bagusnya mahasiswa yang menelitinya, penting menitipkan satu buku di Surau Tarok ini, sebagai bagian dokumen sejarah”, saya pikir dan harap begitu pada Doktor Sejarah itu.
Kadang kita ini, yang nampak setiap hari dan yang dekat, sering terabaikan. Karena biasa dilihat. Padahal yang jauh diobservasi dan diteliti bahkan kadang nan tasuruak di “sigo” (disigai, diresek, diriset). Ada gerakan saya dengan kawan-kawan tergabung dalam SAKO Anak Negeri, adalah “mencari nan tasuruak” (situs-situs asal usul, wacana artefak), di samping “nan tasurek” (dokumen wacana text dan wacana act) dan “nan tasirek” (storytelling, wacana talk dan yang terbaca dalam pikiran dan atau minset/ kerangka pikir).
Pakarnya Nan Tarusruak dan Sako Pusako lama itu di antaranya ada dua terkemuka ialah Datuk Perpatiah (GG Dt. Parpatiah dan Bambang Dt. Parpatiah) ditambah Hasanuddin Dt. Tanpatiah, M. Damris Dt. Putiah, Bundo Yapriati, Didi Rio Mandaro lainnya. Sering turun dengan kesadaran sejarah mencari nan tasuruak itu. Jauh ke nagari-nagari. Sering pula yang dekat terlampau. Kadang tak terperhatikan yang dilintasi setiap hari. Benar juga kata orang tua, “tumo di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak terlihat”.
Sama halnya memperhatikan Surau Tarok ini, siang malam melintas lokasinya, tak hendak serius melihatnya dalam pengertian merisetnya. Padahal sudah ada niat sejak 1981 itu hendak meneliti Surau Tarok ini. Mengingat fungsi Surau Tarok ini bersama surau-surau lainnya di Padang, berfungsi sebagai pusat gerakan pembaharuan pemikiran Islam dalam ikhtilaf ulama tua (ulama tradisional, tarekat) dan muda (ulama muda, modernis) di Sumatera Barat abad IX-XX. Gerakan itu seru. Pernah ditengahi Rapat 1000 Ulama di Padang 15 (19) Juli 1919 dipimpin BJO Schrieke Gubernur Belanda seperti saya rekam dalam beberapa buku saya tahun-tahun 1980-han.
Surau-surau di Padang
Banyak surau-surau di Padang yang berfungsi dalam gerakan pengembangan pemikiran yang ulama-ulamanya berperan di dalamnya. Beberapa nama Surau berdasarkan nama ulamanya sudah saya tulis dalam buku Riwayat Hidup Ulama Sumatera Barat (ICSB, 1981) juga dalam buku saya “Sastra Islam, Kajian Syair Apologetik Pembela Tareka Naqsyabandi Syekh Bayang” (1999) di samping banyak makalah seminar nasional/ internasional dan artikel publikasi berbagai media cetak dan elektronik. Di antaranya adalah jaringan surau Syekh Muhammad Dilil bin Muhammad Fatawi (Syekh Bayang kleahiran Pancuang Tebal, Bayang wilayah kilo meter nol di Sumatera Barat) di Gantiang Padang, Surau Syekh Kalawi (Syekh Muhammad Qasim) di Ulak Karang, Surau Syekh Muhammad Thaib di Seberang Padang, Surau Syekh Muhammad Thaher (apakah bersama di Surau Seberang Padang atau Surau Tarok? Yang jelas ada disebut juga Surau Tarok). Surau Tarok dimaksud apakah Surau Tarok dipimpin ulama Pakiah Datuk yang makamnya sekarang di Mihrab Surau Tarok di Jl. Tui Kuranji sekarang? Di sini pentingnya penelitian lanjutan.
Surau-surau tadi punya puluhan jaringan surau ulama di Padang dan di luar Padang sampai ke beberapa provinsi dan negeri semenanjung. Ada juga surau Syekh Abdullah di Belakang Tangsi Padang, surau Syekh Abdullah Basyir di Berok Padang, Sutau Paseban Koto Tangah, Surau Syekh Abdul Harun Ghani Toboh Pariaman terakhir Surau Lubuk Bawuk, Surau Syekh Sulaiman Ar-Rasuli Canduang, Surau Syekh Lubuk Aur Bayang lainnya.
Surau Tarok
Surau Tarok di Jalan Tui, disebut Syamsuar Lelo Pahlawan (80 tahun) orang tua di suku caniago di Tui Pauh IX, menyebut ia sejak saya kecil di Tui ini, Surau Tarok ini sudah serupa ini juga. Disebutnya surau ini sudah lama.
Syamsuar Lelo Pahlawan ini menyebut, saya dengar surau ini didirikan dan dipimpin oleh beliau Pakiah Datuk. Ia menunjuk “itu makam beliau Pakiah Datuak di Mihrab Surau Tarok ini. Makamnya bersama ulama-ulama pelanjut beliau”.
Di Surau Tarok ini, berpaham Tarekat Naqsyabandi. Ada ibadah suluknya. Disebutnya beliau Pakiah Datuak itu berguru di Limau Manih Padang. Dari mana saja sanat keilmuan terekat yang dianut Pakiah Datuak, Syamsuar Lelo Pahlawan yang bersumando ke Kampung Suku Koto di Tui, di bawah payung penghulu Pakiah Datuk itu, tidak banyak tahu.
Namun Syamsuar Lelo Pahlawan menyebut, jemaah tarekat di Surau Tarok ini dulu, pergi suluk jauh dari kampung ini. Ia tidak pula menyebut ke Suliki atau ke Batuhampar misalnya. Tapi mereka suluk jauh dari Pauh IX ini, katanya.
Saya punya pandangan, Surau Tarok ini penting diteliti. Justru fungsinya penting dalam gerakan perkembangan pemikiran Islam di kalangan kaum tua (ulama tarekat). Kalau diikuti perkembangan jaringan surau ulama Syekh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi tadi, maka Surau Tarok dapat diperkirakan sudah berusia kurang lebih 2 abad. Namun melihat pisiknya sekarang surau itu sudah baru. Diakui Syamsuar Lelo Pahlawan, sudah beberapa kali direhab.
Ancaman Bangunan Tua berpotensi ODCB
Kita tahu di Sumatera Barat, bangunan tua Surau dan Masjid berpotensi Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB) banyak diruntuh. Berakibat fatal dan mengaburkan sejarah dan cagar budaya. Pernah tahun 1980-han diteliti ICSB Sumatera Barat surau-surau dan masjid-masjid tua dan penyebab diruntuh.
Di atntara penyebab diruntuhkan bangunan tua masjid dan surau-surau itu berkaitan dengan karakter “ingin baru” dan “mengabaikan peninggalan lama”. Juga tidak dapat dilepaskan dari gaya membangun masjid dan surau. “Bangun-runtuh, runtuh-bangun”. “Tak berkesudahan”. Sikap itu mengancam bangunan tua surau dan masjid di Sumatera Barat. Penyebabnya hanya satu kata saja. Kata jema’ah kepada peguru, “pengurus, surau dan masjid kita saja yang belum baru bangunannya, orang sudah pada baru”.
Pengurus yang tidak punya visi sejarah langsung saja begerak, meruntuh bangun lama yang punya sejarah dan nilai ODCB dan atau CB (Cagar Budaya). Ya sudah, kalau sudah diruntuh habislah sejarah. Tumbuh surau dan masjid baru, orang memandang sudah biasa-bisa saja. Kalau surau dan masjid baru, apalagi kalau arsitekturnya tidak istemewa, orang pada tidak akan menoleh. Andaikan bisa mempertahankan bangunan lama masjid dan surau yang cukup banyak tadi, dipastikan akan dilirik dan dikunjungi, tidak saja beribadah tetapi juga melihat nilai sejarah. Sekaligus surau dan masjid lama itu akan menjadi bukti dan saksi kuat, bahwa surau merupakan lembaga yang melahirkan banyak kader bangsa ulama, pilitisi, sosiolog, ekonom, budayawan lainnya di Nuasantara.
Apa hendak dikata, fakta itu sejarah lama surau dan masjid tua itu sudah hilang. Disebabkan keinginan bangunan baru, yang tak jelas tujuan dan arahnya. Tindakan semena-mena itu, sepertinya meninggalkan nilai lama yang punya sejarah dan tergoda yang baru. Fenomena itu membuktikan, masyarakat kita sedang berada dalam gejala disintegrasi sosial. Dimaksudkan, mereka rentan tegorda hal yang baru yang tidak jelas nilai dan filosofinya, lalu sertamerta meningglakn nilai lama yang sudah teruji kebesaran sejarahnya dan dialami sudah dapat mengatur tertib sosial masyarakat sekitarnya.**