FIKIR.ID – Enak duduk pagi (Jumat, 28 Jan 2028) di Kafe dalam komplek Gedung Serba Guna (GSG) Perkumpulan Keluarga Pesisir Selatan (PKPS) di Padang. GSG yang strategis berada di tepi air Banda Bakali, di seberang Universitas Taman Siswa (TAMSIS) di Padang. Situasional dan kondisioning serta lingkungan menginspirasi maota kareh, ota society. Ota dengan multi topik dan trending merespon perkembangan dan perubahan.
Filosofi Air, Lapau dan Universitas
Melirik ke air, mengingatkan kepada filosofi air, kalau manabek salului air. Air mesti dialirkan ke pembulu salurannya membantu mersihb tujuannya hendak ke muara. Mengisyaratkan manajemen psikologi pemimpin, yang mengerti potensi kekuatan yang dipimpin dan people power yang kalau tak ingat-ingat dan tak arif kekuatan itu siap kapan saja menerjang tembok kekuasaan bila terjadi sumbatan komunikasi.
Memandang universitas di seberang air, menyadarkan kita, tidak sekedar sentra industri otak, tetapi membudayakan unity (kesatuan) cerdik pandai. Cerdik, kepadanya boleh berguru. Pandai, kepadanya boleh bertanya.
Menyidik ke kafe, teringat lapau orang Minang, sebagai pusat informasi. Kalau ota berdarak-darak. Belum ketuk palu dalam pleno permusyawaratan perwakilan di DPR, di lapau sudah putus. Belum ada putusan pengadilan, di lapau si anu si ana sudah dihukum. Namanya ota, adalah budaya bicara orang Minangkabau. Namun jangan salah, orang Minang tidak akan bicara kalau sebelum orang selesai bicara dan mendengar baik-baik bicara orang. Kalau ada yang senjang mereka menyolang dengan tata karama sopan, layaknya interupsi.
Ota Multi Topik
Ota di lapau, multi topik. Tapi yang jelas tak mencla mencle. Mulai dari issue aktual, politik lokal. mekanisme organisasi paguyuban, filosofi dan adat budaya di kampuang, management strategik psikologik sampai ke kurenah layang-layang putuih yang dalam perspektif kepala keluarga nak mencari tempat hinggap baru – buka cawangan – selama layang-layang tak tersangkut. Ambiak contoh ka nan sudah ambiak tuah ke nan manang, ciloteh kawan.
Ulama pewaris Nabi dulu, betapa contoh sudah 4 ummi masih ada yang meminang, soalnya paradigmanya bibit penerus keturunan yang baik. Dan, perempuan shalihah ketika itu, malu kalau ia sendiri saja pendampingnya, maka yang tua mengalah, dengan alasan sudah punya keturunan. Fenomenal! pecah ketawa di lapau seiring komen Hamdanus “ini senior manganaan nan lupo ma”.
Ada debat di tengah ota society. Muncullah karakter moderat dan radic. Moderat untuk menimbang – nimbang, menimbang ateh nan ado dan siap hadirkan safety valve (katup pengaman) meredam konflik. Artinya tidak harus dipaksakan perbaikan, selama konflik memuncak. Ditunggu hari mainnya, pernah disebut ketua. Namun kalau memperlihatkan karakter radic sedikit terdengar keras, tetapi dalam makna, senantiasa berkata di nan bana (benar).
Mengerucutkan pembicaraan, tentang paguyuban dalam realita berorganisasi kampung, sudah ada yang mau memimpin dan jalan saja organisasi, sudah syukur. Ini itu, seperti beliau itu, sudah mau saja alhamdulillah, justru sulit mencari figur sepertinya. Jarang orang mau seperti ketua kita ini, mau dan sedia berkorban. Kadang segera turun tangan, asal memajukan orang ksmpung dsn organisasinya, meski tak diserahi tugas yang jelas. Kita yakin, kepemurahan berbuat dan socialized seperti ini, pada saatnya nanti value (nilainya) akan muncul nanti di belakang, orang akan menilai sebagai reward, analisis Edi.
Nilai Tetap, Perilaku Berubah
Ota lebih lanjut memberi pandangan pada nilai jati diri. Artinya nilai tetap wujud, yang berubah perilaku, behavior. Harus siap berada dalam perubahan, adalah berubah tanpa meninggalkan hal yang esensial dan substansial. Berubah adalah budaya, perilaku dan atau behavior, itu penting. Justru tanpa didukung iklim budaya yang kondusif apa saja usaha akan menuai kegagalan.
Fenomena kondisioning, mengundang pikir. Pikir pelita hati, nanang seribu aka. Runding alot, diparambunkan (dipending). Itu bagian budaya sosok arif menjadikannya sebagai salah satu safety valve konflik. Pandai benar di agak. Mengalah selangkah untuk maju beberapa langkah. Tak mau menyongsong derasnya arus banjir, kalau harus menyeberang tidak melawan arus, tetapi melintas mengikuti arus sejenak, tanpa lupa tujuan. Caranya memancung arus, kiat jitu hendak sampai di seberang.
Dan, memang orang Minang tidak pernah mengambil keputusan dalam sikon debat alot. Fenomena ini salah satu bukti orang dulu, tak gusar dalam debat, artinya siap dan senang beda pendapat. Konflik pun dipelihara untuk menyalakan semangat, memantik kecerdasan dan membuat dinamis dalam berbagai aspek kehidupan sebagai inti ketahanan adat budaya rang Minang.
Bahkan, konflik sekalipun mengarah cakak, mereka sportif. Runding ditunda, cooling down. Ambil kesempatan, mau minta pandapat orang lain. Mau bertandang, sianu pandai dan dijelang ke rumahnya. Kini sayang, tak dibudayakan bertanya, padahal bertanya itu kunci ilmu. Makanya ketika sedikit konflik, diartikan perang. Pada hal dalam organisasi, beda pendapat biasa. Tapi perangai, sedikit beda, kawan dibuang, dan atau kawan itupun lari pula dari kesatuan organisasi. Nan tak “tabado”nya, lari dan mendirikan organisasi tandingan pula. Itu bagian fenomena orang berorganisasi kini, baik organisasi masyarakat, maupun supra dan inpra struktur politik.
Fenomena ini bagian dari perubahan behavior, prilku. Yang penting dan asal tahu saja, nilai tak pernah berubah, yang berubah perilaku penganut nilai. Kalau dulu dilihatnya nilai vital sekarang tidak, maka perlu revitalisasi nilai kembali seiring perubahan perilaku penganut nilai itu. Namun disadari perubahan perilaku tidak saja pada masyarakat kita tetapi juga terjadi pada masyarakat dunia. Ambiaklah contoh ka nan sudah, yang baik teruskan, yang buruk kita belajar untuk meninggalkannya.
Generasi Z Jangan Digurui
Preseden buruk, yang tua seperti pemangku adat tak mau belajar ke nan sudah (pengalaman). Tak ampuh lagi cara lama menggurui. Artinya mewariskan nilai agama dan adat, sekarang tidak mesti lagi memakai metodologi menggurui.
Generasi Z (Gen Z) yang mahir teknologi (tech savvy), suka berkomunikasi maya, ambisi, mengumbar privasi, tapi toleran dan mandiri. Fenomena mereka sekarang alergi dengan cara-cara menggurui. Mungkin lebih baik diajak bersama dan bekerjasama, berkolaborasi, pandang Edi, menyambung ota society lapau.
Justru mereka terbiasa bersama dan bekerjasama misal dalam permainan game mereka sehari-hari,yang Puncak meeting kopi darat. Mereka biasa main bareng bersama. Mereka mudah diajak bersama. Malah lebih sulit generasi millenial ke atas yang cenderung menonjol ego.
Artinya dibanding generasi Z, generasi milenial dan setingkat keatas generasi bapaknya susah diajak bersama berkolaborasi. Karenanya mungkin kita sedikit masuk dunianya ajak bersama dan dalam kebersamaan kita pakai filosofi Minang, kalau kamandindiang saluluih angin, kalau kamanabek saluluih air. Alirkan air yang mengalir ke saluran.
Justru penting diakui potensi mereka, meskipun mereka belum banyak tahu nilai adat bersandi syara’ (agama) namun mereka tidak mau kehilangan adat dan agamanya. Satu bentuk sikap dalam perubahan behavior anak muda Minang yang tidak bergeser dari prinsip kepemilikan mereka terhadap adat dan agama, dan berbeda dengan perubahan anak muda di negeri lain.
Rumah Tahfizh New Surau
Fenomena prinsip perubahan anak Minang tadi bagian dari peluang strategi pewarisan value (nilai) adat disandi syara’ (agama). Ditambah lagi fenomena maraknya, berdiri dan rumah tahfizh. Pikir Edi, sebaik gerakan itu bagian upaya: balik ba surau. Rumah tahfizh sebagai new-surau.
Artinya tidak copy paste saja surau lama, tapi ambil rohnya. Tahfizh kasih roh surau. Saya bilang, roh surau itu pada trilogi pengajarannya: mengaji, belajar adat dan berlatih silat. Maknanya rumah tahfiz dikasih pengajaran sosiologi, antropolologi yang tercover dalam pelajaran adat disandi syara’ (Islam) dalam praktek mengaji. Saya kira ini bagian strategi merespon gunjingan sementara elit dan bikin telinga kita merah dan marah, lantaran sembarang dugaannya: tahfizh cikal radikal! Astaghfirullah! Tegasnya kerja taktis teknis strategis, kita meredam purbasangka yang menaruh dosa itu, rumah tahfizh kasih roh surau, menjadi rumah tahfizh menjadi new surau di Minangkabau.
Bagaimana mengembangkan rumah tahfizh new surau itu ? Hidupkan kembali roh karakter Minang, adalah karakter enter preneurship dan saudagar untuk menghidupkan diri sendiri. Menghidupkan karakter itu seiring dengan menanam nilai: estetika, erotika plus etiks (akhlak mulia). Mendidik behavior, dengan kompetensi akhlak mulia: sopan santun, budi baik baso indah, suka kerja keras, mandiri dan tidak punya ketergantungan tinggi dengan para pihak.
Para pihak penting untuk mendukung, tetapi new surau harus mandiri. Mandiri dimaksud kemampuan bekerjasama dengan berbagai pihak tanpa menjual harga diri. Sebab faktanya, bukan pitih yang kurang tapi sering aka (akal) nan kurang. Maka lagu lamanya sering keluar: dana ya dana!
Orang Minang lubuak aka tepian Budi. Aka tak pernah tatumbuak dan budi tak pernah tajua. Karenanya betapa sulitnya hidup orang Minang, akanya tak pernah hilang.
Betapapun konfliknya hidup, malah di situ akal orang Minang encer. Tidakkah disimbolkan dalam kupiah balilik datuk penghulu, ada kerutnya, setiap kerutnya di situ akal merangkak. Tapi jangan salah tafsir, aka merangkak orang Minang, tidak selalu sama dengan BA rang Minang “banyak aka”.
Wah!. Sudah panjang saja buah ota society, sudah 6 SKS, tukas Edi. Wallahu a’lam bishshawab! **