FIKIR.ID – Ahmad Chatib menjadi penting empat dasawarsa pasca Paderi. Justeru sejak dasawarsa ke-4 abad ke-19, Paderi menyisakan traumatik orang Minang bahkan ulama kecewa dengan kaum adat. Kekecewaan itu tidak saja karena lumpuh menghadapi tekanan penjajah, secara internal tak kurang dahsyatnya tantangan pengkhianatan orang yang tinggal di Minang sendiri terhadap Islam. Imam Bonjol sendiri mengeluh seperti terungkap dalam drama klosal Imam Bonjol-nya Wisran Hadi, yakni mengalahkan penjajah tidak terlalu susah, tetapi mempertahankan persatuan di antara kita, aku terluka karenanya.
Bagi ulama fenomena tadi rasanya jalan di dunia sudah dipagar, meskipun orang adat punya dalih yang katanya way of life (falsafah hidup) orang Minang tapi identik hela yakni adat basandi syara, syara
basandi Kitabullah yang belum pernah punya bentuk implementatif. Untung saja para tokoh agama plus perjuang Paderi tidak pessimis, mereka masih yakin jalan ke langit masih tetap terbuka lebar. Makanya untuk menelusuri jalan kelangit serta merambah kembali jalan dunia dan membongkar pagarnya, dalam pengertian lain untuk membangun Islam dan kebangsaan Tuanku Nan Tuo (ulama dan guru ulama pejuang paderi termasuk guru dari Tuanku Nan Renceh) punya cita mengirim anak cucunya ke ke Timur dan Barat.
Citanya sampai, tiga cucu Tuangku Nan Tuo, yakni Ahmad Chatib di kirim ke Timur Tengah (Makah), disusul adik sepupu yakni Taher Jalaluddin dan saudara sepupunya yang lain Agus Salim ke Barat. Namun sekarang terhadap Minangkabau dalam perspektif masa depan masih tersisa pertanyaan yang belum pernah terjawab, Quo vadis masyarakat dan Islam Minang?, meskipun sudah diketahui Ahmad Chatib kemudian telah melahirkan para ulama pembaharu Islam dan pejuang penyambung mata rantai perjuangan yang terputus, tidak saja untuk Minangkabau tetapi Indonesia secara keseluruhan.
Khusus Ahmad Chatib yang dikirim Tuanku Nan Tuo meraih sukses besar pelanjut dan penyambung mata rantai perjuangan Islam dan bangsa yang terputus. Keberhasilan di Mekah yang diraih putra Chatib Abdul Latif seorang khatib Nagari (Ahmad Chatib) yang lahir di Balai Gurah Koto Tuo, Senen 6 Zulhijjah 1276 H/ 1860) ini dilatari keberuntungannya menempati posisi penting di Makah, yakni sebagai Mufti (Pemberi Fatwa) dalam mazhab Syafi`iy dan Imam Besar di Masjid Al-Haram itu. Dengan posisi penting itu, Ahmad Chatib Al-Minangkbawiy punya peluang berperan mendidik para ulama yang datang dari berbagai negara-negara Islam di penjuru dunia termasuk di Indonesia, khusus dari Minangkabau.
Eksistensi Ahmad Chatib selama hanyatnya di Makah (wafat Senen, 2 Jumadil Awal 1334/ 1917) tidak saja mengangkat citra bangsa Indonesia di mata dunia dalam bidang ilmu ke-Islaman, tetapi tidak sedikit mendidik para ulama sebagai pejuang Islam di tanah airnya. Citra Indonesia yang diangkat pertama sebagai orang Indonesia ia mampu menunjukkan kepada dunia luar mampu menandingi kefasihan orang Arab sendiri dalam berbahasa Al-Qur’an, kedua membuka isolasi konsep mawalli Arab yang memandang rendah orang asing termasuk orang Indonesia dan mengangkat derajat yang sama dari peringkat kelas dua di mata Arab dan tidak boleh menjadi imam selain Arab. Justeru Ahmad Chatib Al-Minangkabawiy dipercaya menjadi imam umat Islam se-dunia ketika itu di Masjid Al-Haram Al-Syarif.
Ahmad Chatib di Makah sampai dasawarsa ke-2 itu merupakan tiang tengah penegak mazhab Syafi’iy. Ia belajar dan mengajarkan fiqh Syafi`iy seperti Kitab Manhaj Al-Thalibin karya Imam Syafi’iy, Thuhfah karangan Imam Ibnu Hajar Haitami, Nihayah karang Imam Ramli dll. Ia belajar dengan banyak guru dan para pakar di bidangnya di berbagai negara Arab. Ia pun banyak mempunyai murid datang dari berbagai penjuru dunia Islam dan banyak pula ulama yang ia didik. Muridnya itu kembali ke tanah air masing-masing, merdeka mengembangkan paham keagamaan yang dianut. Setidaknya ada muridnya yang mengelompok ulama modernis (kaum muda) dan ada yang ulama tradisional (kaum tua).
Ulama-ulama yang berhasil dididik Syeikh Ahmad Chatib itu di antaranya, ulama muda (modernis) empat serangkai yakni Dr.H.Abdul Karim Amarullah (Maninjau – Agam), Dr. Abdullah Ahmad (Padang), Syeikh Jamil Jambek Al-Falaki (Bukittinggi) dan Syeikh Muhammad Thaib Umar (Sungayang- Tanah Datar) dan ulama tua (tradisional) dua serangkai ialah Syeikh Chatib Muhammad Ali Al-Fadani (Padang) pimpinan ulama tua yang radikal penulis buku kepustakaan pejuang abad ke-20 Burhan Al-Haq, dan Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi (Bayang- Pesisir Selatan) pimpinan ulama tua moderat pengarang buku kepustakaan pejuang penuh moral abad ke-20 Taraghub ila Rahmatilllah (Mencari Rahmat Alla), Syeikh Taher Jalaluddin Al-Falaki (ulama kharismatik Malaysia asal Bukittinggi ayah dari Gubernur Pulau Pinang, Malaysia), Syeikh Sulaiman Al-Rasuli (Candung), Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Syeikh Arifin Batuhampar, Syeikh Muhammad Jamil Jaho, Syeikh Ahmad Baruah Gunung Suliki, Syeikh Abbas Ladang Lawas Bukittinggi, Syeikh Abdullah Abbas Padang Japang, Syeikh Musthafa Padang Japang, Syeikh Musthafa Husen Purba Baru, Syeikh Hasan Maksum Medan Deli, Syeikh KH. Muhammad Dahlan dll. dari Jawa – Madura, Kalimantan, Sulawesi dan dari negara- negara Islam lainnya.
Ulama murid dari Ahmad Chatib inilah yang melanjutkan perjuangan Islam sekaligus mempunyai saham memupuk rasa kebangsaan hubb al-wathan (cinta tanah air) sebagai ciri nasionalis sejati. Di Minangkabau muridnya menyambung mata rantai yang terputus perjuangan pengembangan Islam dan kebangsaan pada gelombang pertama.
Secara kategoris gerakan yang paling dahsyat dalam pengembangan Islam, gelombang pertama adalah perang paderi. Pasca Paderi disusul pergolakan agama diisi polemik Tuanku Muhammad ayah dari Taher Jalaludin yang terlibat langsung dalam menentang paham Wahdat al-Wujud yang dalam filsafat ketuhanan disebut dengan istilah Pantaisme. Tuanku Muhamad ini adalah tokoh pembela paham Wahdat al-Syuhud di Cangking. Fenomena susulan pasca paderi ini merupakan konpensasi awal kecenderungan mengalihkan perhatian kepada tashawwuf dari kejenuhan gemuruh dunia melawan kolonialisme.
Beberapa Negeri para pemuka tarekat mendirikan kegiatan-kegiatan tarekat seperti di wilayah Darat, tarekat Naqsabandiyah al-Khalidiyah mendirikan suluk. Sementara di pantai barat bagian utara seperti di Pariaman, Batuhampar (Payakumbuh), Kumango, Maninjau, Pariangan, Ulakan, Malalo dll, berkembang kegiatan tarekat Satariyah.
Kecendrungan tadi menurut Buya Prof. Dr. Hamka timbul karena kegagalan perjuangan menuntut kedaulatan duniawi oleh Paderi. Fenomena ini menyebabkan perhatian tertumpah kepada urusan kerohanian (fiqh bathin) dalam pengertian lain mengalihkan perhatian ke jalan menuju langit yang masih tetap terbuka lebar itu, di samping jalan di muka bumi telah berpagar.
Gelombang kedua adalah era Syeikh Ahmad Chatib Al-Minangkabawiy (yang tadinya dikirim belajar ke Mekah, pergi bersama ayahnya yang Khatib Nagari itu naik hajji tahun 1871) diteruskan dengan era gerakan murid-muridnya. Muridnya yang terkemuka di kalangan ulama tua (tradisional) dikenal dua serangkai Syeikh Chatib Ali (Padang) dan Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi (Bayang, pesisir selatan), di kalangan ulama kaum muda (modernis) dikenal empat serangkai yakni Syeikh Dr. H.Abdul Karim Amrullah dari Mninjau, Syeikh Muhammad Jamil Jambek di Bukittinggi, Syeikh Muhammad Thaib Umar di Sungyang dan Syeikh Dr.H. Abdullah Ahmad di Padang. Empat ulama modernis ini merupakan ulama penyambung mata rantai perjuangan pembaharuan Islam di Minangkabau sejak awal abad ke-20.
Gerakan pembaharuan pemikiran Islam gelombang kedua Minangkabau semakin mengambil bentuk awal abad ke-20. Diwarnai dengan taktik politik adu domba Belanda yang menghembuskan angin pertentangan kepada dua golongan Islam sama-sama murid dari Syeikh Ahmad Chatib yakni Kaum Muda (Modernis) dipimpin DR. H. Abdul Karim Amarullah yang radikal serta kawan-kawannya empat serangkai yang moderat dan Kaum Tua (Tradisional) dipimpin Syeikh Chatib Muhammad Ali Al-Fadaniy yang radikal dan Syeikh Bayang (Syeikh Muhammad Dalil bin Muhammad Fatawi) yang moderat serta memberi PR kepada dua golongan ulama tadi dengan 40 masalah khilafiyah.
Pembaharuan tampak menggelorakan semangat ulama-ulama kaum muda yang menghirup angin pembaharuan dihembuskan majalah Al-Manar Rasyid Ridha dan ‘Urwat Al-Wusqa disambut Al-Imam Taher Jalaluddin di Singapura (saudara sepupu Ahmad Chatib) dan Al-Manar serta Al-Munir Al-Manar Dr. HAKA (ayah HAMKA) dan Dr. Abdullah Ahmad di Padang dan Padang Panjang. Kaum muda pembaharu mendapat pujian besar dan kaum tua (tradisional) giat menyusun kekuatan dan penulisan buku polemik dan apologetik pembelaan paham yang dianut. Kaum muda terus melanjutkan pengaderan (pendidikan kader) terhadap generasi pembaharu, antara lain di Thawalib Padang Panjang, Parabek, Sungayang dan Padang Japang di samping juga menulis buku dan menerbitkan pers Islam seperti jenis Bulletin, Jurnal, koran dan Majalah.
Satu hal yang menjadi suri teladan dan panutan sebagai tokoh tiang tua pembela paham Syafiiy dan Ahli Sunnah wa l-Jama
ah ini ialah Ahmad Chatib tidak pernah memihak pada salah satu kelompok muridnya baik ulama modernis (kaum muda) mau pun ulama tradisional (kaum tua). Keadilannya itu sudah menjadi sikapnya sewaktu mulai mengajar di Masjid Al-Haram Makah dan setelah muridnya dilepas ke tengah umat masing-masing, meski ia sendiri harus memberontak atas sistem perkawinan dan kewarisan yang dinominasi hukum adat di negerinya. Di antara polemik muridnya ia berjalan di tengah. Sikapnya itu terlihat dalam fiqh al-bathin (kode prilaku bathin), perinsip, tindakannya, maupun dalam pandangannya secara oral dan dalam tulisan lepas dan dalam bentuk buku baik ditulis dalam bahasa Malayu menggunakan huruf Arab – Malayu maupun dalam bahasa Arab.
Di antara karya Syeikh Ahmad Chatib Al-Minangkabawiy 13 buah buku terdiri dari 5 buku dalam Bahasa Malayu (1) Khiththat Al-Mardiyah (tentang shalat), (2) Riyadh Al-Wardiyah (fiqh Imam Syafiiy), (3) Izhar Zighli l-Kazibin (Fatwa tentang tarekat Naqsyabandi), (4) Al-Saf Al-Batar (tentang tarekat), (5) Manhaj Al-Masyru
(tentang tarekat), dan 8 buah buku ditulis dalam bahasa Arab yakni (1) Al-Nafahat Syarah Waraqah (tentang ushul fiqh), (2) Sulhu l-Jumah (tentang shalat Jum
at), (3) Iqna’ Al-Nufus (tentang zakat uang kerta), (4) Al-Dai l-Masmu(tentang tarekat), (5) Raf’u l-Iltibas, (6) Irsyad Al-Hayara (tentang kristen), (7) Tanbih Al-
Awam (tentang Sarikat Islam) dan (8) Isbat Al-Zain, dll.
Syeikh Ahmad Chatib Al-Minangkabawiy menjadi bintang di langit Minang bahkan menghiasi langit dunia menandingi ulama penulis 34 buku Islam dari Banten ialah Syeikh Nawawi Banten (wafat 1315 H), karena ia berhasil dan ia anak emas zamannya. Ia mengangkat citra Indonesia di mata dunia, ia dipercaya pemberi fatwa (mufti) dunia, ia terangkat dari mawalli dipercayai mengimami dunia di Masjid al-Haram. Ia bandyak melahirkan pandangan dan pemikiran yang jernih, baik dalam bentuk fatwa oral (langsung secara lisan) maupun tertulis lewat risalah (surat kiriman) yang diminta muridnya ketika kandas dan tertarung di batu kecil dalam polemik ke-Islaman. Ia banyak menulis memproduk buku-buku keagamaan dan pengetahuan menghimpun pemikirannya yang tidak ternilai harganya di dunia Islam. Lebih dari itu, ia melahirkan ulama kader pembaharu abad ke-20 serta pelanjut dan penyambung mata rantai perjuangan Islam.
Sebuah refleksi untuk zaman sekarang, tokoh Ahmad Chatib ini dan muridnya hidup di zaman penjajah yang serba sulit di bawah tekanan dan fasilitas terbatas serta peluang sempit, mampu melahirkan pemikiran dan karya tulis yang bernas serta melahirkan kader pelanjut, kenapa sekarang hidup di zaman merdeka, berkarya tak gairah, produktifitas pemikiran tidak terbaca di peta tanah air apalagi di dunia dan amat riskan tidak mampu melahirkan kader ulama pelanjut, nama besar Minang seperti lenyap ditelan dunia maju sekarang.
Fenomena tadi mendalangi munculnya tanda tanya besar yang tak pernah berjawab, kalau dulu Minang gudang ulama, sekarang langka ulama, kalau pun ada ulama satu atau dua, pemikiranntnya tidak pula dipertimbangkan untuk kepentingan Islam dan kebangsaan di kawasan ini bahkan ironisnya tidak dipandang sebelah mata. Ila aidna (quo vadis – hendak kemana) dan bagaimana masyarakat dan Islam Minang, kini?.
Solusi terpenting adalah kesadaran baru semua komponen Minang harus ditumbuhkan, tak harus banyak bernostalgia dan berapologia. Belajar terus berlajar berperan lagi dan punya identitas yang kuat serta berfikir dan berkarya. Tak mungkin lagi bertanya langsung kepada Syeikh Ahmad Chatib Al-Minangkabawiy, toh!. Yulizal Yunus.