Budaya  

Sumbar Bakal Jadi Provinsi Pertama yang Miliki Perda Mars

Konsultasi Ranperda Mars Sumbar dengan Kemendagri

Demikian pula dengan Mars ini, kata Yulizal Yunus akan tergugah semangat mempertahankan jati diri masyarakat Daerah untuk memacu pembangunan di Daerah. Juga dapat membangkitkan semangat bersatu dan kesatuan sebagai modal pembangunan, dengan gugahan rasa indah dan sentuhan santun seni lagu dan musik Mars.

Sebab seni sebagai bagian budaya identitas Sumatera Barat. Dalam sejarahnya di Minang, jangankan budayawan seniman, ulama saja di Sumatera Barat, pun bersyair. Menjadi ulama menyair. Seni menaruh gugahan keindahan. Ini diperlukan untuk menyatukan dan memperkuat identitas dan menyatukan berbagai komponen komunitas masyarakat di Sumatera Barat.

Juga dengan Ranperda Mars ini, kata Yulizal Yunus, kita ingin terus menerus menumbuhkan rasa kebanggaan dan rasa cinta kepada daerah. Sebab, ada fenomena, saya tidak tahu pasti juga, bagian pengmatan perguruan tinggi, apakah ini dampak otonomi juga, maka rasa ber-Kabupaten dan ber-Kota, melebihi rasa ber-Provinsinya. Ini satu di antara sebab, dengan Mars ini kita lakukan gugahan keindahan untuk bangga berprovinsi, di samping untuk tujuan melengkapi lambang Sumatera Barat. Kareanya kita berharap Ranperda Mars ini segera ketuk palu menjadi Perda di Sumatera Barat.

Kata Yulizal Yunus selanjutnya, juga dengan Mars ini, kita ingin mempertahankan jati diri kita di Sumatera Barat. Mars sebagai wujud seni suara (sastra dan musik) merupakan bagian sistem kebudayaan bidang seni, justru dapat memperkuat budaya. Sumatera Barat corenya kebudayaan.

“Namun kata budaya tidak dikenal di kultur Minang. Karenanya sebagai mewakili lebih luas dari kata kebudayaan dengan seluruh sistemnya adalah kata ‘adat’,” kata Yulizal menjelaskan.

Seperti tadi disebut Direktur Marbun dan Pak Endarto sendiri, dalam Mars Sumatera Barat itu ada bahasa “ibu”. Di antaranya terdapat istilah “bundo”, “hamba” dan kata lainnya juga menjadi bagian butir diskusi sebelumnya, karenanya dapat kami jelaskan kembali kata Yulizal Yunus.

Kata “hamba” dalam Mars Sumatera Barat itu mungkin berbeda dengan kata “hamba” dalam Bahasa Indonesia. Hamba dan penghambaan dalam arti yang sesungguhnya tidak ada dalam struktur (preseance) adat Minangkabau. Karena setinggi-tinggi raja di Minangkbau itu tidak ada singgasana dan raja tidak duduk di singgansana dengan berkipas dayang-dayang kiri kanan dikawal hulubalang raja, tetapi yang ada hanya kedudukan saja, kata Yulizal Yunus mengundang respon memantik diskusi.

  • Karenanya Raja Mulawarman (juga Raja Adityawarman-pen) sukar dilacaklah, tukas Endarto mengundang hadirin terkikik.

Raja di Minangkabau, kata Yulizal Yunus menjelaskan, (karena tidak duduk di Singgasana, makanya tidak ada penghambaan). Raja dengan kedudukannya itu, duduk bersila saja. Tidak duli yang maha mulia. Raja mengambil keputusan senantiasa duduk bermusyawarah dengan quorum perwakilan untuk mengambil mufakat (keputusan) persis seperti sila keempat Pancasila. Jadi hamba tadi dimaksudkan dalam perspektif struktur sosial kaum adat Minang, menunjukan penghormatan dalam kebersamaan, saling menghargai.

Lagu dan musik Mars tadi itu yang dalam lirik lagunya ada kata hamba, dimaksudkan adalah pengakuan setiap diri dan kedirian warga Sumatera Barat. Artinya setiap diri orang Minang itu kediriannya merendah, bukan sekedar basa basi, menyebut dirinya hamba, jelas Yulizal.