FIKIR.ID – Menjadi penduduk dan menjadi warga suatu negara mempunyai tata cara tersendiri. Di Minangkabau pun ada tata caranya sendiri.
Dalam sejarah Minangkabau ternyata setiap suku bangsa dari mana pun asalnya dapat menetap di negeri itu, terutama di wilayah rantau. Hal ini disebabkan rantau merupakan wilayah rantau sentra 4 kluster kerabat yang menjadi kekuatan Raja.
Sebagai daerah perekonomian, dengan sendirinya rantau akan banyak berhubungan dengan orang asing, terutama dalam hal perdagangan. Oleh karena itu, dengan sendirinya tentulah akan banyak orang asing yang menetap dan menjadi penduduk negeri itu.
Akan tetapi, untuk menjadi warga Minangkabau dengan hak-hak yang sama, diperlukan tata cara. Tata cara itu dinamakan mengisi adat: Cupak diisi limbago dituang (cupak diisi lembaga dituang), kata pepatah mereka, yang maksudnya mengiaskan aturan tersendiri untuk memenuhi suatu kewajiban pada keadaan yang berbeda-beda.
Mengisi adat merupakan prosedur yang umum berlaku, bukan hanya terhadap orang asing yang hendak menjadi warga Minangkabau, tetapi juga bagi orang Minangkabau yang melakukan perpindahan desa atau nagari.
Umpamanya, orang Minangkabau yang berasal dari Painan, yang ingin tinggal sementara atau untuk selamanya di Bukittinggi, harus mengisi adat kepada penghulu yang ditempatinya di Bukittinggi itu.
Kalau ia menjadi warga dari suku Chaniago, maka penghulu yang ditempatinya ialah penghulu suku Chaniago pula. Ia tidak dapat memilih penghulu suku lain.
Dalam mamang Minangkabau dikatakan: Tanah sabingkah alah bamiliak, rumpuik salai alah bapunyo, malu nan alun babagi, suku indak dapek diasak. (tanah sebingkah telah bermilik, rumput sehelai telah berpunya, malu yang belum dibagi, suku tidak dapat digeser).
Bagian terakhir artinya bahwa suku seseorang tidak dapat berpindah-pindah. Andai kata di Bukittinggi itu tidak ada penghulu suku Chaniago, ia dapat menempati atau menemui penghulu yang sealiran dengan Kelarasan Bodi Caniago, umpamanya suku Bodi atau juga boleh suku Tanjung.
Tata cara demikian disebut: Hinggok mancakam, tabang manumpu (hinggap mencekam, terbang bertumpu). Ibarat burung yang hinggap ke dahan, ia mencekamkan kakinya dan jika hendak terbang kakinya bertumpu ke dahan itu. Artinya, jika seorang Minangkabau meninggalkan nagarinya ia pamit pada penghulunya, lalu melapor ke penghulu di nagari tempatannya.
Dalam melapor itu, ia harus mengisi adatnya. Jika untuk tinggal sementara, tata cara mengisi adat cukup dengan membawa rokok untuk dipersilahkan dihisap penghulu yang ditempati.
Akan tetapi, kalau ia ingin menetap, syarat mengisi adanya ialah dengan membawa sirih dalam carano (sirih dalam carana) dalam memajukan permintaannya.
Namun, permintaan itu memerlukan persetujuan warga suku yang dipimpin penghulu terlebih dahulu. Apabila kaumnya sepakat, barulah permintaan itu diluluskan dalam suatu perjamuan kecil .
Bila yang meminta itu orang asing, maka persetujuan akan dimintakan juga kepada seluruh penghulu yang ada di nagari itu oleh penghulu yang ditempati orang asing itu. Seekor kerbau akan dipotong untuk perjamuan bagi seluruh penduduk nagari, sebagai tanda orang asing itu telah menjadi penduduk nagari, sebagai kemenakan Datuk Bagindo dari suku Piliang, umpamanya.
Dengan pengesahan itu, haknya sebagai warga suku dan warga nagari telah sah untuk dibawa sehilir semudik, yang artinya untuk dibawa berunding atau mendapat perlindungan.
Orang Minangkabau yang menetap di suatu nagari tanpa melalui prosedur adat dianggap sebagai orang dagang yang diperlakukan sebagai orang luar yang tidak jelas asal-usulnya. Sebagai orang dagang, mereka dapat memilih pimpinannya dengan nama jabatan penghulu dagang.
Penghulu dagang ialah jabatan yang diadakan pemerintah Hindia Belanda untuk mengepalai penduduk yang bukan asli pemukiman itu. Umumnya jabatan itu hanya ada di kota dan diangkat pemerintah. Oleh karena itu, jabatannya tidak turun temurun.