Budaya  

TARI RANTAK KUDO Versi TARI BENTEN

Tari Rantak Kudo disebut juga Tari Benten dipertunjukan oleh Pusat Kebudayaan Minangkabau bekerjasama dengan Nan Jombang Dance Company dalam event PKM-17. Pertunjukan seni tradisional langka di Sumatera Barat ini disponsori Dr. Alirman Sori, SH, Mhum dan Muslim Muhammad Yatim, Lc., MM, dua tokoh Anggota DPD RI dari Sumatera Barat. Yang dipertunjukan adalah Tari Benten produksi Sanggar Seni Puti Gubalo Intan Indrapura (didirikan 2 Feburuari 1998) pimpinan seniman Junaidi Chan (Lahir di Indrapura, 2 Januari 1964). Juga dipertunjukan tiga seni tari produksi sanggar ini juga yakni: Tari Sikambang Manih, Silek Tari Kain dan Seni Pencak Silat diiringi adok. Tari Benten yang bercerita Rantak Kudo disebut juga Tari Rantak Kudo. Disiarkan langsung kerjasama Padang TV dank kanal Youtube PKM serta semua situs PKM.

FIKIR.ID – Ery Mefri Koreografer besar dari Sumatera Barat owner Nan Jombang Dance Company mengamati, bahwa Tari Benten itu merupakan pengembangan dari Tari Rantak Kudo. Katanya Tari Rantak Kudo yang asli telah lenyap, sulit mencarinya daerah yang masih ada memeliharanya di Kabupaten Pesisir Selatan. Situasional keberadaan seni tradisional langka Tari Rantak Kudo itu dibenarkan Junaidi Chan Pimpinan Sanggar Puti Gubalo Intan. Artinya Tari Rantak Kudo itu tidak lagi dikembangkan karena sulit mencari yang aslinya.

Justru yang dikembangkan adalah Tari Beneten. Tari Benten Pesisir Selatan ini sudah ditetapkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Nasional dari 52 seni budaya yang diusul menjadi WBTB dari 16 Kabupaten/ Kota di Sumatera Barat. Penetapan dilakukan oleh Kemdikbud dalam sidang penetapan WBTB Nasional 13-16 Agustus 2019. Selain Tari Benten juga ada 6 seni langka lainnya dari Pesisir Selatan yang ditetapkan sebagai WBTB Nasional yakni: Biola (Babiola, Barabab), Tari Sikambang Manih, Tari Kain, Anak Balam, Badampiang dan Patang Balimau di Indrapura.

Rantak Kudo Asli

Manuskrip Al-Qur’an yang ditulis oleh Sultan Abdullah al-Karim tahun 1849

Diceritakan bahawa Tari Rantak Kudo yang kemudian dikembangkan menjadi Tari Benten ini, aslinya terdapat di Rawang, Kabupaten Kerinci sekarang, Provinsi Jambi. Disebut Rantak Kudo, karena gerakannya bunyi kutipak ladam kuda menghentak-hentak. Hentakannya bisa didengar dan setidaknya dirasakan dari jarak jauh lokasi pementasan.
Tari Rantak Kudo ini disakralkan kerana esensi lagu dialogis dalam scan mengantarkan rasa cinta dengan do’a- do’a sakral kepada Yang Maha Agung. Nyanyian doa-doa yang mengiringi tarian sakral Rantak Kudo di Rawang Kerinci, tembangan syairnya disebut “asuh” dan penyanyinya disebut “pengasuh”. Pengasuh ini dominan dari Tanjung Rawang di DAS Batang Merao yang bermuara ke Danau Kerinci.

Karenanya Tari Rantak Kudo khusus di Keinci itu, dihormati dan dihargai. Dihadirkan pada setiap perayaan seni budaya masyarakat terutama pada perayaan hasil panen padi di Kerinci, juga di Pesisir Selatan, terutama di Indrapura.
Kalau Indrapura disebutkan sebagai Kesultanan Islam berfungsi rajo ibadat, tapan Basa 4 Balai Rajo Adat dan Lunang dengan fungsi Rajo Batin(Rajo Alam), yang Pelabuhan Lada Samudrapuranya di Muara Sakai dulu, pernah diceritakan menjadi embarkasi Hajji abad ke-11, maka tak dapat dimungkiri suasana budayanya menaruh nilai-nilai Islam yang Sakral. Sultan Mara Baqi pernah memerintahkan Sutan Abdullah al-Karim tahun 1849 untuk menulis tangan (manuskrip) al-Qur’an dengan illuminasi Minangkabau (Kolektor St. Alamsyah, lihat Yulizal Yunus-2012). Objek budaya tradisional dan seni memiliki nilai-nilai yang sakral dimungkinkan seperti Tari Rantak Kudo yang dikonversi menjadi Tari Benten ini.

Tari Rantak Kudo ini, masa pertunjukannnya setelah panen, yakni merayakan hasil panen raya. Kadang berlangsung berhari. Ketika penen tidak berhasil dan atau terjadi musim kemarau, Tari Rantak Kudo tetap ditampilkan untuk mengantarkan doa-doa kepada Allah SWT. Terasa benar, kehadiran Tari Rantak Kudo ini untuk maksud tujuan, memotivasi peningkatan pertanian, padi menjadi, jaguang maupiah, masyarakat gembira dan makmur. Sekaligus menyatakan rasa syukur alhamdulillah masyarakat gembira masa hujan yang menyuburkan dan atau masa kemarau yang mesti dihadapi dengan penuh optimis berujung meraih keberkatan (berkah). Karena itu Tari Rentak Kudo di samping termasuk objek seni pemajuan Kebudayaan juga dapat diklasifikasi dengan objek adat dan objek ritual.

Taria Rantak Kudo sebagai seni, ritual dan adat, dalam pertunjukannya diiringi musik. Tifa musik gendang digunakan untuk mengiringi tembang syairnya disebut “asuh” di Keinci tadi, namun sedikit berbeda dengan Tari Rentak di Minang, yang diekspresikan instrumen musik minus syair. Kekuatannya terletak pada “rantak” (rentak – merentak) dipatri langkah tigo gerakan silat yang diekspressikan penari wanita dan pria. Lebih terasa ritual ketika dibakarkan kemenyan, membuat penari semakin khidmat bahkan ada sampai kesurupan.

Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Tari_Rantak_Kudo, bahwa Tari Rantak Kudo ini dipentaskan dalam acara adat resepsi pernikahan adat Kerinci. Tembangan syair pantunnya bersahut-sahutan: Tigeo dili, empoak tanoh rawoa. Tigeo mudik, empoak tanoh rawoa (Tiga di Hilir, Empat dengan Tanah Rawang. Tiga di Mudik, Empat dengan Tanah Rawang), seperti juga diceritakan Didi (2021). Kisah dalam lirik syair tembangan tadi, mengisahkan nenek moyang dulu di suku Kerinci, masa pemerintahan para Depati (Adipati) Tanah Hamparan Rawang merupakan pusat pemerintahan, pusat kota dan kebudayaan kala itu, yaitu dalam lingkup Depati 8 helai kain terutama berpusat di Hiang (Depati Atur Bumi), tidak termasuk di Recong Talang – “durian takuak rajo” sapiah Pagaruyung. Menurut Didi (2021) Tanah Hamparan Rawang merupakan tempat duduk bersama (pertemuan penting dalam adat Kerinci) boleh disebut pusat sejarah lahirnya Tari Rantak Kudo. Pencetus kreasi Tari Rantak Kudo itu, disebut-sebut Ruwai.

Berbeda dengan Rantak Kudo di Indrapura, yang sekarang dikembangkan Junaidi Chan, pimpinan Sanggar Puti Gubalo Intan, yang secara hidtoris ciptaan Dayang-dayang Istana Kerajaan Indrapura diberi nama oleh Puti Ratna Dewi Gubalo Intan. Nama Sanggar seninya pun diambil dari nama tokoh utama cerita Rantah Kudo Indrapura dalam tari tradisi Indrapura yakni “Tari Rantak Kudo Sikambang Manih” yakni Puti Ratna Dewi Gubalo Intan.

Junaidi Chan menceritakan singkat cerita Puti Ratna Dewi Gubalo Intan itu. Dibahasakan: “Tari Rantak Kudo Sikambang Manih, secara historis bermula dari permainan dayang-dayang di Istana Kerajaan Indrapura. Ceritanya mengisahkan Puti Ratna Dewi Gubalo Intan di Istana. Seketika, Puti termenung sendiri, sedih! Ia mengingat firasat buruk yang rasa mengancam dirinya. Ia ditanya dayang-dayang, ada apa gerangan Puti? Entahlah, hatiku hiba (sedih) saja! Lalu dayang-dayang menawarkan tarian dan nyanyian menghibur Puti. Serta merta Puti tersentak dan gembira. Rancak tari dan nyanyinya melompat-lompat bunyi kutipak ladam kuda. Tapi saying kalian dayang-dayang bertiga, sebaiknya dan mungkin menarik, 4,6 dan atau 8 orang menari. Namakanlah tari ini dengan Tari Rantak Kudo Sikambang Manih”. Inilah tari kemudian dinamakan Tari Rantak Kudo Sikambang Manih.

Berasimilasi Tari Benten