Budaya  

Musyawarah Kubong XIII

Oleh Yulizal Yunus

FIKIR.ID – Mewakili Niniak mamak, Alim ulama, Cadiak pandai serta Mandeh Sako/ Bundo Kanduang Kubong XIII memfasilitasi aspirasi gerakan pemajuan Adat Minangkabau WhatsApp Group (WAG) Forum Musyawarah Adat Minangkabau (FMAM), mengundang 100-san lebih unsur Niniak Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai serta Mandeh Sako/ Bundo Kanduang, mengadakan Musyawarah Mufakat sehari. Musyawarah dilaksanakan di Balai Adat Nan Panjang Kubong XIII, Ahad 12 Januari 2025, pukul 08.00 – 16.00 wib. Agendanya “Silaturahmi, Upaya Mempererat Buhul Tali (Silaturrahmi) dalam Rangka Mempertahankan dan Melestarikan Adat Minangkabau yang (dalam Prilaku) Telah Bergeser dari (Cupak) Usali yang Diwarisi Turun Temurun”. Yang mewakili pengundang, (1) Niniak Mamak Pemangku Adat Nagari Solok, di antaranya: (1) Abel Dt. Bagindo Tan Ameh, (2) A.n Panghulu Adat Chaniago III Korong Nagari Salayo Hafrin Dt. Rangkayo Batuah/ Orang Tuo Adat Caniago III Korong, (3) Panghulu Adat Melayu Bendang Nagari Pintu Rimbo Lolo Surian Alkamra Dt. Bandaro Putih, (4) Rajo Koto Gadang Koto Anau N. Rajo Bagindo Hyang DiPatuan Pucuak Adat Malayu Tinggi Kampung Dalam. Pembentak lapiak Bundo Yetna Sriyanti dan mamak Almansuri.

Sebuah apresiasi, diakui Musyawarah Kubong XIII ini menarik sebagai pembuat sejarah gerakan adat. Tidak sekedar silaturrahmi. Sarat dengan tawaran pemikiran tentang pemajuan adat Minangkabau dan penguatan kapasitas ninik mamak ke depan.

Saking menariknya Musyawarah Kubong XIII ini, 100-san tokoh adat yang hadir hendak mau bicara semua. Namun waktu juga yang membatasi. Pun yang mendapat kesempatan bicara, diharap “to the point”, justru seperti tidak mau melepas microphone dari tangan, berakibat tak semua dapat kesempatan berbicara. Dimungkinkankan karena forum musyawarah seperti ini jarang terjadi. Karenanya forum ini dimanfaatkan untuk menumpahkan unek-unek, pikiran, perasaan, pengalaman rasa kesal bahwa adat mereka dikerdilkan dan termarjinalkan dan peranan limbago adat sebagai pemilik adat “terbunuh” dalam kehidupan beradat dalam tataran prilaku para pihak, seiiring ancaman pengaruh global yang menawarkan transformasi budaya, meski menaruh peluang dan tantangan.

Antusias hadirin yang diundang Musyawarah Kubong XIII ini spiritnya mirip forum Seminar “Sumpah Sati Bukit Marapalam” dan upacara “Memperbaharui – Update Sumpah Sati Bukit Marapalam 1403”, diselenggarakan 18 desember 2018 dipelopori MUI Sumatera Barat. Saya ketika itu didaulat mewakili unsur penghulu Minangkabau menyampaikan pidato adat sorenya di Puncak Pato, Bukit Marapalam, setelah paginya Seminar di Batusangkar sebagai salah seorang Narasumber. Sedangkan pidato Cadiak Pandai disampaikan Prof. Dr. Mestika Zed dan Pidato Syara’ disampaikan Gusrizal Gazahar/ Ketua Umum MUI Sumatera Barat.

Pertemuan informal Forum Musyawarah Kubong XIII, mengedepankan berbagai masalah dan pemecahannya dalam pemajuan adat Minangkabau yang terhambat dan peranan ninik mamak yang termarjinalkan. Pada perinsipnya meliputi dua hal: (1) sakao pusako salingka kaum serta peranan ninik mamak, dan (2) hukum adat tidak dihargai bersanding dengan hukum negara. Keduanya pertama dibentang Bundo Yetna.

Saya diberi kesempatan menjelang akhir Musyawarah Kubong XIII. Adalah sore menjelas ashar dalam kondisi microphone macet yang memaksa berbicara dengan mengangkat ekstra keras suara sendiri. Saya mengajak hadirin menghargai berterima kasih kepada WAG FMAM dan Ninik Mamak Balai Adat Nan Panjang Kubong XIII yang mengundang.

Dalam pandangan saya, perjalanan pertemuan informal Forum Musyawarah Kubong XIII seperti pelaksanaan sistem Simposium. Simposium dimaksud, adalah Forum Musyawarah ini memfasilitasi semua yang hadir berbicara menyampaikan pemikiran, pengalaman dan simpul-simpul piawai sekitar masalaha-masalah adat dan peranan ninik mamak serta cara mempertahankan ulayat dan pelaksanaan hukum adat. Namun sebagai Simposium biasanya tidak membuat kesimpulan dan Musyawarah Report. Sungguhpun demikian hadirin membuat beberapa kesepakatan. Kesepakatan yang paling penting satu di antaranya membentuk Forum Pemuka Adat Sumatera Barat yang seaspirasi dengan nama WAG “Forum Musyawarah Adat Minangkabau” (FMAM).

Merespon pemikiran yang berkembang membahas dua masalah yang tadi dibentang Bundo Yetna dan mendapat tanggapan dan pembahasan dari anggota musyawarah, cukup hangat. Pertama tentang “sako pusako dan pernan ninik mamak”. Saya katakan, kekayaan pemikiran yang kita terima dalam Musyawarah Kubong XIII ini, mengantarkan kita “ninik mamak, bundo kanduang, cadiak pandai dan ulama” “babaliak” ke Limbago Adat kita masing-masing dan meningkatkan kapasitas peranan di kaum dan di nagari. Limbago Adat yang dimaksud adalah Limbago Kaum kita, yang punya otoritas melaksanakan dan mewariskan adat, karena Limbago kaum ini tempat tumbuh adat itu sendiri sesuai asal usulnya dan sako pusako salingka kaumnya serta adat salingka nagarinya yang dikawal adat sabatang panjang di nagari kita masing-masing.

Balik dari musyawarah ini kita sampaikan kekayaan pemikiran yang dibentang pada Musyawarah Kubong XIII ini, kepada kaum suku dan nagari kita masing-masing. Justru inti Minangkabau itu adalah nagari. Minangkabau tidak mengenal kecamatan, tidak mengenal kabupaten, tidak mengenal provinsi, yang dikenalnya nagari. Karenanya nagari itu inti Minangkabau. Di nagari itu ada Limbago Penghulu ba-kaampek suku dan atau lebih. Limbago Panghulu ini memiliki “Kerapatan Nagari” (bukan KAN) membuat mufakat dan punya otoritas perumusan hukum adat yang bersumber dari norma Undang-Undang Adat Limbago Minangkabau dan peraturan adat lainnya sejalan dengan adat nan-4 (adat nan sabana adat, adat nan teradatkan, adat nan diadatkan dan adat istiadat). Nagari berfungsi, apa bila kaum suku kuat. Kuat kaum suku itu ditandai keberadaan sako pusako salingka kaumnya. Habis sako pusako, habislah kaum. Habis kaum hilang Nagari. Hilang Nagari maka lenyaplah Minangkabau.

Di Nagari itu adat tiga kelembagaan: (1) pertama pemerintahan, (2) Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai organisasi adat di Nagari sesuai amanat sejarah berdirinya dipasilitasi Perda 13/1983, dan (3) Limbago Adat Penghulu Nagari/ Rajo dengan Kerapatan Nagarinya. Ketiga kelembagaan nagari ini tidak boleh saling mencampuri. Hubungannya hanya sebatas “konsultatif”. Pendistribusian kewenangan, (1) pemerintahan nagari (wali dan bamus) berfungsi sebagai regulator, (2) KAN sebagai organizing, yakni pelaksana pasilitasi penguatan fungsi nagari sebagai kesatuan MHA dan penguatan Limbago Adat Penghulu Nagari/ Rajo dalam mengemban fungsi nagari sebagai kesatuan wilayah Masyarakat Hukum Adat (MHA) itu, dan (3) Limbago Adat Penghulu berbasis kaumnya adalah mengemban fungsi steerring, pengarah dalam pelaksanaan adat di nagari, karena Limbago Adat ini tempat tumbuhnya adat dan punya otoritas merumus, menjalankan dan mewariskan adat dan undang-undangnya sebagai sumber norma hukum adat. Karena itu perlu digagas menggunakan otoritas: (1) Penghulu Nagari/ Rajo perlu merumuskan hukum adatnya berdasarkan Tambo Adat/ Barih Balabehnya, dan (2) Perlu membuat manajemen kaum, dimungkinkan dalam bentuk “tambo baru”, mengganti tambonya dan ranjinya yang asli sudah tidak ditemukan lagi.

Kedua, tentang tidak dihargainya hukum adat terutama dalam mempertahankan ulayat, dan yang banyak berbicara hukum negara yang sering tidak banyak berpihak bagi ketahanan tanah ulayat kaum dan nagari, seperti tadi dibentang Bundo Yetna dalam kerisauannya persoaalan antara ulayat Selayo dan Pauh Kota Padang dan ancaman terhadap ulayat dan hutan lindung sepanjang bukit barisan di Wilayah Solok, Padang, Pesisir Selatan dan Muko-muko.

Sebenarnya, penting penyadaran, bahwa hukum negara itu dirumuskan berdasarkan hukum adat. Prof. Dr. Kurniawarman ahli hukum piawai dalam soal pertanahan dan agraria dari Unand menyebut “pada perinsipnya hukum adat itu adalah hukum formal, tak banyak tertulis”. Fakta itu dimungkinkan, lihatlah contoh Undang-undang Pokok Agararia (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UUPA ini juga mengatur “hak milik tanah sebagai hak turun-temurun”. Pasal 5-nya menyebutkan, bahwa “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa “ialah hukum adat”, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara…”. Namun dalam prakteknya, hukum adat tetap dimarjinalkan, dan tidak ada kepastian hukum, yang karenanya merisaukan MHA dalam mepertahankan tanah dan hutan ulayat kaum dan nagarinya.

Untuk memperkuat adat dan peranan ninik mamak, penting dengan hukum. Di Minangkabau berlaku tiga hukum. Tiga hukum itu disebut “tiga tali sapilin” (tali tiga sepilin). Tali itu artinya hukum. Tiga hukum itu: (1) Tali Syara’ (hukum Agama Islam), normanya: “badasa ka anggo tanggo” (berdasar ke anggaran dasar, yakni syara’ dan kitabullah), (2) Tali Adat (Hukum Adat), normanya: “bahukum ka raso jo pareso” (berhukum kepada kecerdasan emosional dan kecerdasan intellegence), dan (3) Tali Undang (Hukum Negara, disebut Minangkabau sebagai hukum akal), normanya: “baundang ka alua jo patuik” (berundang-undang ke alur dan patut). Artinya tiga hukum yang bersinergi ini berlaku di Minangkabau. Tiga hukum ini disebut dalam pasal 5 Undang Adat Minangkabau 1403 (ABS-SBK sebagai Undang Adat Minangkabau 15 pasal 90 ayat, Sumpah Sati Bukit Marapalam 1403) menyebut, bahwa orang Minangkabau tidak diikat dengan tali tigo sapilin itu akan kacau.

Tali tigo sapilin dituangkan dalam struktur hukum “Limbago Nan-10”, yakni (1) cupak nan 2, (2) Undang nan-4 dan (3) Kato Nan 4. Cupak Nan 2 adalah: (1) cupak usali dan (2) cupak buatan. Cupak usali pada undang nan-4 adalah pada (1) Undang Luak dan Rantau, dan (2) Undang (beridirinya) Nagari. Cupak buatan pada Undang Nan-4 adalah (1) Undang Nan-20 dan (2) Undang Dalam Nagari. Cupak usali dalam kato nan 4, adalah (1) Kato pusako dan (2) Kato Mufakat. Cupak buatan pada kato nan-4, adalah: (1) kato dahulu dan (2) kato kemudian. Inilah Undang- Undang Adat Limbago Minangkabau yang dahulu berlaku dan sekarang nyaris tidak dikenal lagi dalam perilaku pelaksanaan adat di nagari-nagari.

Jadi untuk penguataan adat dan peranan ninik mamak Limbago Pangulu Nagari, penting bekal Undang-Undang Adat Limbago Minangkabau. Nanti akan berguna bagi hakim adat dalam Peradilan Adat Nagari seperti diamantkan Perdaprov 7/ 2018 tentang Nagari. Dalam hal ini penting digagas menggunakan otoritas Limbago Pangulu Nagari merumuskan Undang-Undang Adat Nagarinya sesuai dengan Tambo Adat/ Barih Balabehnya dan ambil contoh kepada “yang sudah” Tambo Alam Minangkabau, yang pernah memberlakukan hukum adat di setiap nagari.

Terakhir saya sudah meneliti dan membukukan, diterbitkan oleh Pemda Provinsi Sumatera Barat/ Museum Nagari Adityawarman Disbud Sumabat, insya Allah awal tahun ini sudah didistribusi, adalah buku: “Undang-Undang Adat Limbago Minangkabau”. Setidaknya mengiringi penerbitan dan pendistribusian buku ini, ada satu manfaat, dapat memberikan kontribusi kepada Limbago Pangulu Nagari untuk merumuskan Hukum Adatnya di Nagari Masing-masing yang dapat digunakan untuk pedoman dalam penyelenggaraan peradilan dan perdamaina adat di nagari oleh hakim adat dan Kerapatan Nagari Limbago Penghulu Nagari di samping KAN.

Musyawarah Kubong XIII, dalam pengamatan (simak lihat), diakui kaya membetangkan ide dan pemikiran yang dapat mengantarkan Ninik Mamak (Penghulu dan Mandeh Sako/ Bundo Kanduang) beserta ulama dan cadik pandainya, kuat “balik” ke kaum masing-masing di nagari dalam wilayah Sumatera Barat dan Minangkabau umumnya.**