FIKIR.ID – Tari Buai-buai, satu di antara seni budaya langka di Sumatera Barat, teradapat di Pauh Padang. Sekarang dilestarikembangkan oleh Sanggar Seni Palito Nyalo di Limau Manis, Pauh Padang.
Sejarah dan Filosofi Tari Buai-Buai
Hendri Yusuf seniman pelatih/penari dan mantan Ketua Palito Nyalo menjelaskan sejarah Tari Buai-Buai kepada FIKIR.ID. “Menurut yang saya terima dari Kakek berasal dari Pesisir Selatan. Nama lainnya Tari Buai-Buai ini Tari Sikambang. Berawal dari keseharian Sikambang Manih mainang anak rajo. Mengasuh dan menatah-tatah anak rajo. Dibuai-buaian, didendangkan”, sebut Hendri (2022).
Disebut mainang anak Rajo, dimaksudkan adalah Rajo/ Sultan Kesultanan Indrapura. Justru Hubungan Indrapura dengan Pauh, terkait kerabat Rajo Putih terus ke beberapa rajo di Pariaman, turunan dari Kesultanan Pagaruyung juga. Di Pauh Ranji Keturunan Rajo Putih itu masih tersimpan.
Disebut tadi oleh Hendri, Tari Buai-Buai nama lainnya Tari Sikambang. Di Kesultanan Indrapura Tari Sikambang adalah warisan dari seni budaya di Kesultanan masa kejayaannya abad ke-15-17. Disebut juga Tari Rantak Kudo seperti yang juga ada dari Kerinci.
Indrapura dan Kerinci sama-sama memiliki tari itu, dengan konten yang sama menyebut Buai-Buai, Rantak Kudo dan Nandi-nandi dalam sejarah adalah anak dayang-dayang istana bernama Benten bersuami Adau-adau. Karena itu Tari Rantak Kudo di Indrapura juga untuk menyebut Tari Bentan dan Tari Rantak Kudo Sikambang Manih. Semua, tarian orang istana Kesultanan Pagaruyung dulu itu.
Secara filosofis dan nilai didik seni tradisi itu, penting diketahui kata Ratmil dari Diknas Sumbar, budayawan peminat seni tradisional dan permainan anak nagari. Tari Buai-Buai tidak kurang nilai didiknya, patut dikembangkan menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah, kata Ratmil (2022).
Baik Tari Buai-Buai dalam Tari Benten dan Tari Rantak Kudo Sikambang Manih di daerah asalnya Indrapura, filosofi nilainya adalah cara ibu menggurauan istilahnya menjujai anak, ceria memandang dunia. Anak sejak dibuaian, dibuai-dibuai dan dilelakan {didendangkan).
Isi dendangan ibu dalam sentuhan Tari-tarian tradisi tadi, mendidik anak di samping ceria memandang dunia, terlebih mendidik anak dengan kompetensi berakhlak mulia Islamiyah, berakidah tauhid, taat serta mempedengarkan nasehat lainnya dari ibu tentang kehidupan mulai dari cara bahagia masyarakat petani sampai ke kehidupan orang di istana.
Perekembangan Tari Buai-Buai berikutnya, sebelumnya tahun 1970-han sebenarnya juga sudah dipopulerkan. Penarinya laki-laki. Kemudian terjadi perubahan, tahun 1980-han penarinya perempuan. Namun sekarang dirasakan justru penari padusi (perempuan) sejak dekade sebelumnya paling payah, hampir tak ada, kata Hendri Yusuf.
Karenanya di Paun dan Limau Manis ada upaya pengembangan Tari Buai-Buat. Ditandai dengan berdirintya Sanggar Seni Palito Nyalo, tahun 1989. Ketuanya sekarang Dasrul, SS, MSi.
Hendri Yusuf mantan Ketua (2006-2011) Palito Nyalo ini menyebutkan para penari tradisinya minus perempuan. Di antaranya penari tradisi yang ada laki-laki: Hendri Yusuf sendiri, Dasril, Maulana Akbar Ashshidqi Sepriskianto Putra, Abdillah Rajab Sani lainnya.
Halaman Selanjutnya: Pertunjukan Tari Buai-Buai