FIKIR.ID – Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa anak-anak di lingkungan perkotaan yang berusia 6-12 tahun, lebih mungkin mengalami masalah pernapasan seperti batuk di malam hari dan kesulitan bernapas.
Kesenjangan ini menunjukkan bahwa mungkin terdapat diagnosis yang tidak memadai atau salah tafsir gejala di wilayah perkotaan, sehingga menyebabkan prevalensi asma yang sebenarnya lebih tinggi dibandingkan dengan angka diagnostik yang ditunjukkan.
Seperti dilansir dari Times of India, Kamis (9/5/2024), ada sejumlah faktor spesifik perkotaan yang dapat meningkatkan risiko asma. Akibat lalu lintas, emisi industri, dan sumber materi partikulat lainnya, daerah perkotaan biasanya mempunyai tingkat polusi udara lebih tinggi.
Selain itu, sering kali terdapat lebih banyak orang yang tinggal di wilayah metropolitan, sehingga meningkatkan paparan terhadap virus, alergi, dan iritasi pernapasan lainnya.
Anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan. Terutama mereka yang berusia antara 0-6 dan 0-18 tahun. Untuk anak-anak di bawah usia 2 tahun, perbedaan risiko antara lingkungan perkotaan dan pedesaan tidak terlalu terlihat.
Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik tertentu dari kehidupan perkotaan mungkin mempunyai dampak yang lebih besar pada anak-anak yang lebih besar. Untuk memahami sepenuhnya hal ini, diperlukan lebih banyak penelitian untuk menentukan penyebab pasti peningkatan risiko asma di perkotaan.
Penelitian di wilayah seperti Tamil Nadu, India harus fokus pada penjelasan mekanisme kehidupan perkotaan berdampak pada kesehatan pernapasan.
Masalah sosial ekonomi, alergen dalam ruangan, kualitas udara, dan akses layanan kesehatan merupakan topik studi yang penting. Intervensi kesehatan masyarakat dapat dirancang untuk menurunkan risiko asma pada populasi perkotaan dengan mengatasi tantangan-tantangan ini, yang pada akhirnya akan meningkatkan hasil kesehatan pernapasan bagi anak-anak yang tinggal di kota.