Pelangi fenomena alam juga. Indah. Pelangi dalam sain disebut fenomena optic. Terjadi ketika sinar matahari dan hujan saling bereaksi. Terbentuk dari biasan sinar matahari di garis-garis tetesan air. Prosesnya sinar itu berbelok dan berpindah dari perjalanan satu medium ke medium lain dibiaskan oleh butiran air dan atau tetesan air tadi yang ada di atmosfer. Terjadilah pelangi. Luar biasa menakjubkan.
Banyak orang tertarik dan menikmati pelangi. Memandanginya membelakang mata hari. Tampak warna warni melengkung bersumber dari acuan pancaran cahaya matahari dalam sain disebut polikomatrik. Orang sain menghitung pelangi punya 7 warna, secara kasat mata diapit warna merah dan biru. Warna warni pelangi itu rincinya: biru, jingga, kuning, hijau, nila, ungu dan merah. Indah sekali. Maha Besar Allah, menciptakan alam dan mencontohkan pada kita fenomena pelangi itu indah, inheren bersama itu indah.
Pelangi di langit Indonesia juga di langit dunia, tak banyak orang tahu kenapa warna warni pelangi itu begitu terjadi membuat keindahan? Kecuali yang belajar sain tahu. Malah tak banyak pula yang arif, membaca filosofi fenomena alam yang optic itu. Ketidaktahuan itu, orang dan atau masyarakat tradisional duhulu menjauhinya. Mucul mitos yang menurut mereka mempunyai kekuatan magic dan arus ghaib. Esensi mitos mereka itu tergambar dalam ungkapan literasi tradisional: jangan dekati dan jangan dilintasi pelangi dan jangan menunjuknya, nanti tersapa. Pelangi ia diburukan, katanya: di situ sarang setan, bisa deman tersapa pengunyi sumber pelangi muncul. Astahhafirullah.
Meski pun ada paham pembusukan dan menyudutkan perlangi atas ketidaktahuan asal usul dan filosofinya, tapi sejak dulu pula diam-diam dan jujur dengan hati nurani orang suka dan menikmati pelangi. Faktanya orang tua muda memandang pelangi tetap berdecak takjub. Anak-anak mereka pun berkerubutan menikmatinya. Tanda rasa kagum dan menikmati pelangi, mereka dahulu itu mengabdikan dan memapakainya menjadi nomenklatur nama nagari, bahkan nama kerajaan. Bacalah Monografi Nagari Palangai versi Soetan Pariaman Raja Adat Palangai dalam Kawasan Banda X yang juga sangat pelangis, orbitasinya secara geografis berada dalam wilayah Kabupaten Pesisir Selatan sekarang. Keranjaan Pelangai itu mengabadikan mitos pelangi yang orang di sana menyebutnya dengan “Opong” menjadi nama nagari Palangai itu.
Pelangi dalam kisah monografik Pelangai itu tadi, mencegat tapi memberi peluang bagi Yang DiPertuan (YDP) Rajo Mudo atau Yang Dipertuan Mudo (YDM) Sultan Lenang Bagampo Maharaja Dewi. Ia berhenti berjalan mencari dubalang Raja dan Sikambang Manih yang hilang. Kenapa berhenti? Karena yang menghambat bahkan yang mengancam ketika itu adalah paham tradisionalnya tadi. Ia langsung memerintahkan: jangan menyeberang sungai selagi pelangi sedang mengopong dan bayangannya jatuh pada sungai/ batang air (yang kemudian bernama Pelangai) yang dalam dan jernih, nanti bisa tersapa. Bayangkan, dengan bayangan pelangi saja, raja merasa terancam dan takut bahkan terganggu dan terhambat langkahnya, meski sementara menangguhkan mencari dan melindungi anggota keluarga istana/ anggota wangsa raja yang hilang.
Meskipun secara jujur, YDM merasa takjub dan menikmati pelangi, keindahannya. Diam-diam ia diispirasi pelangi dalam membentuk struktur masyarakat dan hidup berkelompok dalam masyarakat. Ia bawa ke ranah Pelangai, berbagai kampung yang ada berpenghunyi termasuk kelompok masyarakat yang tak mau balik kampung ke Kerajaan Alam Surambi Sungai Pagu setelah kalah tanding dengan Kesultan Indrapura, lalu memilih tinggal di Bukit Sikai dipimpin Datuk Tan Paliharo. Lalu Struktur Nagari Palangai dalam wujud kelompok yang pelangis dalam kemajemukan bersuku-suku. YDM lalu menjadi raja adat dengan bernama Sutan Lenang Bagampo gelar YDM Sutan Maha Rajo Dewi.
Struktur Kerajaan Pelangai, kemudian dirumuskan dalam susunan koto piliangnya ninik mamak: “ikek-4 payung sekaki ninik mamak nan-50 haluan nan ba-3 dipimpin raja adat”. Suku sikumbang sebagai basis raja adat. Gelar raja adatnya dua, pertama YDM Sutan Pariaman dan kedua Rajo Sulaiman. Secara presidium gelar raja itu bergilir dalam system: “kucuik (tutup, wafat) payung Sutan Pariaman (asal Pariaman), kambang (berganti) payung Rajo Sulaiman (Asal Sungai Pagu). Lalu, Suku Melayu, Suku Tigo Lareh, Suku Kampai dan Suku Panai, 4 suku ini, pucuknya menjadi ikek-4. Haluan nan ba-3: Yang Dipertuan Mudo (dari pihak Rajo Adat Sutan Pariaman), Bagindo Sulaiman (pihak Rajo Adat Rajo Sulaiman) dan Suran Maharajo Indo (berfungsi perdana Menteri/ panitahan raja, dapat sebagai pengganti raja sementara sewaktu raja wafat, tetapi ia tidak boleh menjadi raja).
Dari perspektif ilmu alamiah dasar dan sosial budaya dasar pelangi itu, ternyata telah lama dipakai dalam system kerajaan dan diwarisi menjadi tujuan pemerintahan melindungi segenap bangsa yang memang diberi Tuhan fitrahnya majemuk, banyak warna ibarat pelangi. Negara kita berbentuk NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) diperkuat pilar kehidupan berbangsa Bhinneka Tunggal Ika (Walaupun Berbeda-beda Tetap Satu) disebut juga sebagai moto dan semboyan tertulis pada lambing Negara Burung Garuda. Filosofinya mengakui, bahwa meski majemuk/ beragam wajah asli Indonesia, tetapi tetap satu. Ibarat pelangi, tidak satu warna. Bertanah air satu nusantara punya 17 ribu pulau dan 2/5 laut, punya banyak suku bangsa dan bahasa, disebut ada 300 kelompok etnik, 15 macam suku, mengikuti sensus BPS tahun 2010 mencatat 1.340 suku bangsa di Tanah Air Indonesia.
Di samping suku bangsa dan bahasa, belum lagi dihitung unsur bangsa yang mengelompok dalam limbago adat, organisasi adat, ormas (NGO) dan GO serta forum komponen bangsa. Pemuda saja yang menggerakan kebangkitan bangsa yang menggambarkan tiada episode sejarah tanpa peran pemuda, sejak 1908 dan 1928, betapa banyak. Tidakkah kita kenal: Jong Java, Jong Soemateranen bond, jong bataks bond, jong Islamieten bond, pemoeda Indonesia, PPPI, jong Celebes, Jong Ambon, Pemoeda Kaoem Betawi lainnya. Merekalah yang berikrar dalam kongres pemuda menyatukan nusa, bangsa dan bahasa: Indonesia. Di lain sisi (infra/supra struktur) termasuk partai politik saja banyak dan lembaga afiliasinya yang punya garis sejarah. Kemudian muncul aliansi strategis yang muncul ketika chacks and balances system dan balance of power tidak jalan di pemerintahan dan parlemen, partai dan control mass media lumpuh.
Seandainya di bumi ini hanya ada satu warna, tidak pelangis betapa dingin dan pasifnya kehidupan ini, kata Zaitul Ikhlas Saad Rajo Intan sang musyafir di pondoknya. Ia berkata dalam secangkir kopi paginya. Terkesan pada konteks kehendak kedaulatan rakyat dan lemahnya pelaksanaan chacks and balances system pemerintah dan parelemen, muncul tuntutan mengawal dan membela pembangunan peradaban, merayakan dan menjayakan NKRI dalam kemasan Islami yang indah.
Inspiratif sebenarnya, pelangi sebagai fenomena alam optic bersumber cahaya mata hari sebagai peristiwa polikomatrik bagai pengkuhan kemajemukan termasuk unsur bangsa yang baru tumbuh. Makna, pelangi di langit Indonesia bersamaan wujud takdir kemajemukan bangsa Indonesia. Justru fenomena ini seharusnya mengispirasi “kapalo nagari” dalam pelaksanaan tujuan pemerintah melindungi segenap bangsa. Bangsa dan Nusa ini majemuk. Meminjam ungkapan Prof. Dr. Nursyirwan Effendi peristiwa kemajemukan adalah ditadirkan bagi Nusantara atau wajah asli Indonesia. Bangsa ini telah diberi cotoh Dharmasraya (Kerajaan Melayu Sumatera Swarna Bhumi basis awal dan pelanjut Sriwijaya, seperti disebut Tambo Sriwijaya) dalam kaitan peristiwa ekspedidi Pamalayu di antara terbetik Singhasari hendak menangkal kemungkinan serangan Tionghoa minta bantuan Dharmasraya. Pengalaman Pamalayu itu disebut Prof. Nursyirwan memberi bukti kuatnya kemajemukan etnis, kebudayaan, religi, geografis dan politik.
Karenanya sebagai simpul kecil untuk membela Indonesia dalam fitrah kemajemukan yang pelangis itu sesuai nafas Bhinneka Tunggal Ika, maka pelaksanaan tujuan pemerintah NKRI tetap komit dengan tujuan, melindungi segenap bangsa yang ditakdirkan majemuk dan pelangi itu, dipatri perinsip dan sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, menaungi semua kepentingan bangsa yang pelangi itu, yakni: kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita terkesima kembali mengingat pidato pengukuhan founding father Soekarno dalam anugerah gelar DR.Hon. Soekarno di Universitas Muhammadiyah dan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dahulu seperti disebut Dr. Raichul Amar, mengulangi inti pidato Soekarno itu: “Tauhid adalah jiwaku. Celakalah Negara tak ber-Tuhan”.
Perinsip founding father Indonesia ini tak mesti kita abaikan. Semuga aktifitas masyarakat, bangsa dan negara serta peradaban dan berkebudayaan harus dipayungi perinsip ke-Tuhan-an. Tuhan di atas segalanya, seperti perinsip dasar sila pertama Pancasaila yang termuat dalam Pembukaan UUD 1945 ditetapkan 18 Agustus 1945