Adat  

Jaga dan Kembangkan Nilai-nilai ABS-SBK dalam Pemerintahan Nagari: Sudut Pandang dan Peranan Tokoh Adat

Oleh: Yulizal Yunus
(Dr. Drs. MSi, BA Dt. Rajo Bagindo)
Tim Pakar Lembaga Kajian Strategis dan Kemitraan PWM Sumatera Barat

FIKIR.ID – Tak dapat disangkal bahwa kekayaan pandangan dan kekuatan peranan tokoh adat, penting dalam menjaga dan mengembangkan nilai-nilai ABS-SBK dalam tata kelola Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat. Karena nagari merupakan inti wilayah kultur Minangkabau, yang dalam sejarah lamanya Pemerintahan Nagari Minangkabau itu mempunyai dua kewenangan: mengurus urusan umum pemerintahan terintegrasi dengan kewenangan mengurus urusan umum adat dan masyarakat hukum adat.

PWM Sumatera Barat melakukan kajian kerjasama Pemrov Sumatera Barat dengan tema: Implementasi ABS-SBK Perspektif Tata Kelola Pemerintahan Nagari. Makalah ini semula diberi judul : “Peranan dan Perspektif Tokoh Adat dalam Menjaga dan Mengembangkan Nilai-nilai ABS-SBK dalam Pemerintahan Nagari”, dirumus ulang kembali menjadi: “Jaga dan Kembangkan Nilai-Nilai ABS-SBK dalam Pemerintahan Nagai: Sebuah Sudut Pandang dan Peranan Tokoh Adat”.

Muhammadiyah bersyahwat melakukan kajian strategis Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK) bersama Pemrov Sumatera Barat, di tengah-tengah dunia diguncang ancaman “Perang Dunia III ” yang mencemaskan, sebagai isu sentral Lingkungan Startegis Internasional. Apakah ini fenomena cooling down mengalihkan perhatian anak-anak bangsa yang lagi asyik menikmati kreasi Artificial Intellegence dan bermain Tiktok di HP Android yang kadang tegang menonton perang bintang “tamparan bela diri Iran” atas serangan Israel di sela-sela genosida Negara Yahudi itu di Gaza – Palestina.

Tidak, tidak sekedar kegiatan kecil, cooling down. Muhammadiyah itu besar, tak pernah berhenti melakukan kajian strategis dan gerakan amal usaha dan atau social movement lainnya menunjukkan eksistensinya di Negeri ABS-SBK ini. Ingin perinsip-perinsi tata kelola pemerintahan nagari selaras dengan nilai-nilai ABS-SBK, dengan mengeksplor peran dan sinergi pemerintah serta tokoh adat sekaligus memberikan rekomendasi dalam menciptakan pemerintahan nagari yang bersih dan berwibawa (good and clean governance). Justru Muhammadiyah yang lahir di Yogyakarta (8 Zulhijjah 1330/ 18 November 1912) dan besar di Sumatera Barat, mesti senantiasa meningkatkan peranannya, tidak saja dalam tata kelola pemerintahan nagari yang berbasis ABS-SBK, juga sekaligus bagian peran sertanya melakukan penguatan karakteristik adat budaya berdasarkan nilai-nilai filosofi Sumatera Barat yakni daerah yang membesarkanya ini.

Karakteristik adat budaya Minangkabau yang dimaksud adalah ABS-SBK yang alhamdulillah sudah diakui dan dikukuhkan Pemerintah RI melalui UU RI Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat. Pasal 5.c mengamanatkan: “Adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah”. Nilai-nilai falsafat ini dilaksanakan dengan “adat salingka nagari” (ASN) dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat.

Muhammadiyah yang dibesarkan di Nagari-nagari ABS-SBK inti Minangkabau ini, sekaligus membawa kesadaran baru senantiasa mempotensi pucak kebudayaan Nasional di daerah, sebagai bagian peran pentingnya dalam merayakan Indonesia Negara Super Power bidang kebudayaan. Indonesia satu di antara 3 negara super power di dunia saat ini. Amerika super power bidang militer. Cina super power bidang ekonomi. Indonesia dinyatakan UNESCO sebagai negara super power bidang kebudayaan. Kebesaran itu disusul pengakuan UNESCO terhadap Bahasa Indonesia menjadi Bahasa Resmi ke-10 pada badan dunia PBB.

Mengembalikan the Minangkabau ethics for the global ethics

Senator Irman Gurman anggota DPD RI utusan Sumatera Barat, tokoh yang lahir dari basis Muhammdiyah di negeri ini, menyuarakan kebesaran kebudayaan Sumatera Barat sebagai puncak kebudayaan Nasional bagian penting dari budaya warga dunia. Dalam pidato keynote speakersnya dalam SEMINANGS-1 (Seminar Minangkabau Berseri, Seri -1) yang digelar Y-PKM dan SAKO Anak Negeri bersama IG Centre mengambil momentum Reses III Tahun 2025 kegiatan Senator Irman Gusman, Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan, 14 Juni 2025 kemaren, mengumandangkan suara mengusung semangat mengembalikan “Etika Minangkabau untuk Dunia (the Minangkabau Ethics for the World)”.

Gagasan hendak menggali dan mengembalikan “etika Minangkabau untuk dunia”, sudah hendak ditulis menjadi buku oleh beberapa :Tim Sumatera Barat Penilai Nagari Pengimplementasi ABS-SBK se Sumatera Barat tahun 2024” kemaren. Di antaranya beberapa anggota tim yang merancang penelitian dan penulisan buku “the Minangkabau Ethics for the Global Ethics” itu: Prof. Dr. Nursyirwan Effendi, Buya Mas’ud Abidin, YY Dt. Rajo Bagindo dan Hasanuddin Dt. Tan Patiah.

Pidato Senator Irman Gusman berjudul: “Minangkabau dan Lingkungan Strategis: Mengembalikan Etika Minangkabau untuk Dunia” (the Minangkabau Ethics for the Global Ethics). Getarannya terasa, menggelorakan semangat Muhammadiyah khususnya dan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Sumatera Barat umumnya, untuk terus berperan merayakan dan mempertahankan Indonesia sebagai Negara super power bidang kebudayaan. Sekaligus memberikan spirit bagi para akademisi hendak meneliti dan menulis buku “Etika Minangkabau untuk Dunia” tadi.

Seruan mengembalikan kebesaran “the Minangkabau Ethics for the Global Ethics” itu oleh senator yang juga seorang pemangku adat Minangkabau dengan gelar Datuk Rajo Nan Labiah, bukan tanpa alasan. Justru cukup fakta, bahwa adat Minangkabau sejak nenek moyang, sudah menawarkan nilai-nilai adat yang dipakai tidak terbatas pada Lingstra di tingkat “lokal”. Justru “Barih Balabeh Adat Minangkabau” memuat konten, bahwa nilai-nilai adat Minangkabau itu adalah universal. Keagungan nilai-nilai itu, justru sudah dipakai di dunia internasional sejak lama, bahkan lebih tua dari nomenklatur Minangkabau sendiri.

Nilai universal dari adat Minangkabau itu disebut dalam “barih balabeh” (Tambo Adat yang pernah dicetak ulang 1875 sebagai sumber nilai-nilai hukum adat sejak tahun 1403), bahwa “adat itu adalah “pakaian” (etika yang dipakai). Adat sebagai nilai etika yang dipakai itu sudah dipakai di masriq (timur) dan di maghrib (barat) pada negeri-negeri kerajaan dan atau negeri tidak kerajaan, di Arab, di Parsi dan di Ajam (bangsa-bangsa lainnya di dunia), sejak masa nubuat (masa kenabian) mulai dari Nabi Adam sampai kepada Nabi Muhammad SAW”.

Adat sebagai nilai etika yang dipakai itu, bukan maksudnya busana. Tetapi selaras dengan penjelasan Dr. HAKA (ayah Buya Hamka) kepada orang Arab yang suatu kali bertanya, apa adat Minangkabau itu? Penjelasannya itu dimuat dalam bukunya “Pertimbangan Adat” (1928). Bahwa Adat Minangkabau itu adalah mu’tabarah (pakaian yang dipakai, kuat), sudah dipakai sejak masa nubuwwat (masa kenabian dari Adam sampai ke Nabi Muhammad SAW), karenanya ia berseru, pakailah adat Minangakbau itu sebagai pedoman hidup! Untuk menjelaskan adat sebagai pakaian (pedoman hidup) menarik pula dijadikan referensi buku yang ditulis Inyiak Candung (Syekh Sulaiman Al-Rasuli) tokoh yang pernah menyarikan ABS-SBK, berjudul: “Pedoman Hidup Orang Minangkabau Menurut Adat dan Syara’”.

Dijelaskan bahwa adat sebagai nilai etika Minangkabau yang dipakai, seyogyanya terus dipakai, agar orang Minangkabau tidak kacau, setidaknya jangan “sumbang” (perbuat mengarah kepada salah secara hukum adat). Di Minangkabau dikenal dengan nilai-nilai etika Sumbang-12 yang mesti dihindari. Sumbang-12 itu termasuk salah satu dari 8 pokok norma hukum adat yang dimuat dalam “Undang-Undang Nan-8” sebagai bagian dari Undang-Undang Nan-20” yang berlaku di Minangkabau. Sumbang 12 itu meliputi: (1) sumbang duduk, (2) sumbang tagak (tagak), (3) sumbang makan, (4) sumbang bajalan (berjalan), (5) sumbang kato (berkata), (6) sumbang caliak (melihat), (7) sumbang bapakaian (berpakaian), (8) sumbang bagaua (bergaul), (9) sumbang karajo (bekerja), (10) sumbang tanyo (bertanya), (11) sumbang jawab (menjawab) dan (12) sumbang kurenah (perilaku). Semua norma hukum adat ini adalah turunan dari nilai-nilai ABS-SBK pada aspek “Tali Tigo Sapilin” (Tiga Hukum yang dipakai di Minangkabau: Hukum Adat, Hukum Syara’ dan Hukum Negara) dan turunannya dirinci dalam struktur hukum adat “Limbago nan-10” (terdiri dari: Cupak Nan-2, Undang Nan-4 dan Kato Nan-4).

ABS-SBK dan Tantangan Tokoh Adat,
Era Modernisasi dan Perubahan Sosial

Bukan saja tantangan tokoh adat menghadapi era modernisasi dan perubahan sosial di samping isu Lingstra (Internasional – Global, Regional, Nasional dan Lokal) lainnya, juga tantangan internal. ABS-SBK saja masih banyak tokoh adat (dalam limbago dan pada organisasi adat lainnya) yang belum banyak paham. Faktanya masih ada yang menyebut ABS-SBK itu adagium dan atau petata petitih. Sungguh pun demikian alahmadulillah mereka masih tetap punya pandangan bahwa ABS SBK tetap sesuai sepanjang masa.

ABS-SBK bukan sekedar falsafah adat dan bukan pula adagium dan atau bukan petatah petiti, tetapi dirumuskan dari Sumpah Sati Bukit Marapalam oleh Rajo Tigo Selo Kesultanan Minangkabau Darulqarar di Pagaruyung, menjadi “Undang Adat Minangkabau 1403”. Perumusannya dilakukan dalam musyawarah Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Minangkabau ini, dipimpin dan dicatat oleh manti (juru tulis) Maharaja Diraja Alam Minangkabau dan Pucuak Adat Bungo Setangkai Sungai Tarab. Ditetapkan di Puncak Pato Bukit Marapalam pada Sya’ban 804 H/ Mei 1403 M. Ditandatangani DYD Sulthan Minangkabau Darulqarar di Pagaruyung Sultan Alif Kalifatullah dan Tuan Titah Kesultanan Minangkabau Darul Qarar Dt. Bandaro Putiah.

Sumpah Sati (disebut juga bai’at) Bukit Marapalam yang dirumuskan sebagai “Undang Adat Minangkabau 1403 (UAM 1403)” itu terdiri dari 15 Pasal dan 90 ayat dan menjadi sumber norma dan nilai-nilai hukum adat ber-sandi syara’ di Minangkabau. Pasal 1 UAM 1403 itu menegaskan, “Adat kito bansadi syara’, syara’ basadi Kitabullah”. Pasal 2 menyebut: Syara’ Mangato Adat Mamakai, Syara’ nan kawi adat nan lazim”. Pasal 5 ayat 3 menegaskan: Nagari dan rakyat bapacik kepada “Tali Tigo Sapilin”. Tali tigo sapilin adalah (hukum) syara’, undang adat Minangkabau dan aturan (pemerintah, hukum negara). Aturan ditetapkan Rajo Nan Tigo Selo (Rajo Alam, Rajo Adat dan Rajo Ibadat).

Awalnya ABS-SBK sebagai UAM 1403 ini berfungsi sebagai Undang-Undang Dasar Kesultanan Minangkabau Darulqarar di Pagaruyung serta dasar kerajaan kerabat dan dasar pemerintahan nagari-nagari beraja dan nagari-nagari berpenghulu. Implementasiaannya sampai sekarang menjadi hutang Masyarakat Hukum Adat di Nagari-nagari Minangkabau dan sebagai sumpah sati, wajib melaksanakannya kalau tidak mau dimakan sumpah sati Bukti Marapalam itu. Apa bunyi Sumpah Satinya itu? Pasal 15 “Sangsi”:

“Barang siapa yang meragukan atau menolak akan terkutuk, dimakan sumpah biso qawi, ka ateh indak bapucuak, ka bawah indak baurek, di tangah digiriak kumbang, akan dapat bencana dari Allah”.

Sumpah sati Bukit Marapalam ini, diwarisi salah satu naskah buku “Undang Adat Minangkabau 1403” dan disalin Asbir Dt. Rajo Mangkuto. Sebagian kontennya dimuat dalam bukunya “Kesultanan Minangkabau Pagaruyung Darul Quorar” (Jakarta: Taushia, 2010:161).

Sanatnya, buku ABS-SBK sebagai Undang Adat Minangkabau 1403 itu, disalin Asbir Datuak Rajo Mangkuto, dari naskah yang diwarisi ayahnya Angku Batuah Nan Sati Abdul Latif Dt.Panduko Sati bin Muhammad Saleh, dari naskah asli yang dimiliki ninik Abdul Latif itu ialah Banso Dt. Panduko Sati ahli hukum Adat masa Rajo Adat di Buo Tuanku Nan Bakundi (yang kemudian digantikan Sultan Abdul Jalil).

Naskah asli ABS-SBK itu diceritakan Asbir, hanya digandakan 8 buku saja. Dibagi, 3 buku untuk Rajo Tigo Selo (yakni Rajo Alam di Pagaruyung, Rajo Adat di Buo dan Rajo Ibadat di Sumpur Kudus), 4 buku untuk Basa 4 Balai di Pagaruyung (Machudum di Sumaniak – Aluang Bunian Koto Piliang, dan Indomo di Saruaso – Payuang Panji Koto Piliang dan Tuan Kadi di Padang Gantiang, Suluah Bendang Koto Piliang) dan 1 buku untuk Harimau Campo Koto Piliang yakni Tuan Gadang di Batipuah. Naskah yang diwarisi Asbir dan disalinnya dari naskah yang diwariskan ayahnya Abdul Latif berasal dari Naskah 1 buku yang dimiliki Rajo Adat di Buo. 

Naskah buku ABS-SBK yang diurunkan dari Rajo Adat Buo juga tidak saja disalin Asbir, tetapi juga disarikan dengan tulisan aksara Arab – Melayu oleh Syekh Sulaiman Al-Rasul (1384/ 1964). Naskah yang disarikan Syekh itu juga naskah yang sama diterima Asbir dari ayahnya Abdul Latif. Ayah Asbir itu Abdul Latif, punya adik bernama Hasnah ialah isteri dari Syekh Sulaiman al-Rasuli. Melalui istrinya inilah Syekh meringkaskan buku ABS-SBK yang sama, dimiliki kakak isterinya Abdul Latif, sebut Asbir.

Kemudian tahun 1960 cerita Asbir, pernah menemui lima buku Undang Adat Minangkabau – 1403 yang sama, termasuk yang ada padanya. Satu milik Wali Nagari Balai Gurah, satu milik Wali Nagari Sungai Kamuyang Inyiak Uban, satu milik Wali Nagari Sungai Balantiak Ahmad Dt Panduko Tuan dan satu lagi milik Wali Nagari Talang Anau Dt Pobo. Setelah pergolakan, semua Wali Nagari pemilik buku itu, mengatakan buku Undang Adatnya disita tentara APRI, karena disangka orang PRRI.

Cerita Asbir, “begitu juga buku Undang Adat Minangkbau 1403 milik saya, dipinjam tentara APRI dan tak balik-balik”. Kasus seperti yang dialamai Asbir ini sudah berlangsung sejak penjajahan Belanda. Justru strategi penjajah, setiap dokumen Minangkabau termasuk tambo yang kuat adat sandi syara’-nya, dipinjam dan dihanguskan. Syekh Sulaiman Al-Rasuli pun menyebut demikian, seperti dicatatnya dalam “Sari Pati Sumpah Sati Bukit Marapalam/ ABS-SBK, 26 Muharram 13847 / Juni 1964” (Lihat juga Yulizal Yunus, dkk., Biografi, Sejarah Perjuangan Syekh Sulaiman Al-Rasuli, Pemkab Agam Dinas Sosial, Lubuk Basung, 2019): “Tambo-tambo adat yang dipinjam, katanya untuk dipelajari, tetapi sebenarnya untuk dihabiskan, guna mengaburkan sejarah sebenarnya, termasuk sejarah Bukit Marapalam ini”. Fenomena sejarah ini bagian tantangan fungsi adat dalam kehidupan sosial dan pemerintahan nagari sekarang.

Fungsi Adat: Pemerintahan Nagari dan Kehidupan Sosial

Dalam kehidupan sosial dan pemerintahan Nagari secara tradisional dan kontemporer semestinya adat Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah” menjadi basis. Bagaimana pun pemerintahan nagari puya kompetensi memperhatikan nilai-nilai falsafat ABS-SBK ini sebagai sumber pelaksanaan “adat salingka nagari” (ASN) dan kearifan lokal kearah pembuatan peraturan nagari yang selaras dengan hukum adat. Pemerintahan nagari dan kehidupan sosial secara tradisional (nagari sebagai desa adat) maupun secara kontemporer (nagari sebagai desa), tidak mesti ada pemisahan kewenangan menyelenggarakan urusan-urusan adat dan urusan masyarakat hukum adat dengan kewenangan mengurus urusan-urusan umum pemerintahan.

Namun kenyataannya, tiga kelembagaan di Nagari secara umum belum memiliki kesepahaman bahwa tata kelola pemerintahan nagari dan peraturan nagari selaras dengan noma hukum adat. Malah sebaliknya memaksa adat selaras dengan peraturan nagari (Perna). Tiga kelembagaan di nagari yang berperan itu adalah: (1) kelembagaa Pemerintahan Nagari (terdapat pada pasal 5 ayat 4 ABS-SBK-UAM 1403) terdiri dari Pemerintah Nagari, Kerapatan Nagari dan Peradilan Adat Nagari), (2) Oragnisasi Adat yakni Kerapatan Adat Nagari (KAN, sesuai amanat sejarah lahirnya 1983, forum tempat berhimpun penghulu, statusnya semi pemerintah dua sisi mata uang dengan pemerintah nagari/ wali nagari) dan (3) Limbago Pengulu Nagari dengan Kerapatan Nagari dengan Tungku Tiga Sajarangannya mempunyai otoritas adat, bersidang di Balai-balai/ Balairung dipasilitasi organisasi adat KAN.

Fenomena ketiga kelembagaan di nagari tadi masih disaksikan, saling mencampuri kewenganan masing-masing. Di nagari cukup banyak tokoh adat (di satu pihak dalam limbago adat: penghulu plus bundo kanduang, ulama dan cadiak padai, di lain pihak tokoh adat di luar limbago adat yakni para tokoh yang paham adat dan fungsinya mengatur kehidupan bernagari). Mereka masih belum sama visi dan persepsi “kebersamaan – keterpaduan” membangun (di) nagari sesuai visi nagari secara adat “nagari aman senotoso” (aman dan sejahtera). Sebetulnya kepintaran boleh saja setinggi langit, tetapi harus disadari bahwa bekerja sesuai dengan kewenangan, tanpa mengabaikan bentuk hubungan kerja secara konsultatif antara satu pihak dengan pihak lain. Tentu saja fenomena ini terjadi dimungkinkan berkaitan dengan kemampuan mengeksplor dan mengeksplisitkan pengalaman oleh tokoh adat dalam membuat keseimbangan, bagaimana bisa selaras norma hukum syara’, hukum adat dan hukum negara yang dalam struktur hukum adat Minangkabau disebut dengan “tali tigo saplin”, seperti disebut dalam ABS-SBK sebagai Undang Adat Minangkabau 1403 pada pasal 5.

Pengalaman Tokoh Adat
dan Keseimbangan Nilai Adat dan Syara’
dalam Masyarakat Nagari

Secara ideal nilai adat, nilai syara’ serta norma hukum negara semestinya seimbang dalam mengatur masyarakat hukum adat di 544 nagari Minangkabau. Namun dalam faktanya pada pengalaman tokoh adat dan agama serta pemerintah masih memisahkan antara nilai syara’ dan nilai adat serta nilai hukum negara. Padahal nilai itu terintegrasi sesuai dengan nafasnya “tali tigo sapilin” yang pelaksanaannya di garda terdepan adalah “tungku tigo sajarangan” (tiga tuanku fungsionaris: penghulu, ulama dan cadiak pandai). Tidak ada saling klaim hebat, tidak ada saling menyalahkan, sharing power Tungku Tigo Sajarangan, tida ada kesan bahwa “tungku bajarangan” (terpisah satu sama lainnya).

Integrasi dan keseimbangan nilai tadi, ditata dalam komitmen menjalankan ABS-SBK, yakni Syara’ Mangato Adat Mamakai (SM-AM). Jelas bahwa nilai Islam itu dilaksanakan (dipakai) oleh adat, tidak terpisah sama sekali. Kalau nilai itu tidak ada tertulis dalam syara’ dan sandinya Kitabullah, maka adat membaca tanda-tanda kearifan alam selaras amanat komitmen pelaksanaan ABS-SBK: Alam Takambang Jadi Guru (ATJG). Fenomena ini dikotomi tiga nilai tadi juga terdapat dalam pengalaman pemerintah, yakni memisahkan adat dan agama.

Faktanya lihatlah ketika pemerintah merancang kegiatan diklat/ workshop adat dan penguatan kapasitas ninik mamak, bahkan dalam pelaksanaan Pesantren Ramadhan, dipisahkan judul ceramah nara sumber: “ini judul agama” dan “ini judul adat”. Semestinya judul itu blur adat sejalan dengan perubahan itu, judulnya satu, tetapi ketika dibentang oleh nara sumber maka terjelaskan nilai syara’ sekaligus nilai adat serta norma hukum pemertintah.

Pendikotomian nilai adat dan agama itu juga terbaca dalam ceramah Ulama dan orasi adat para Penghulu. Belum menguat gaya berdakwah adat syara’. Bahkan masih didengar suara miring, melaksanakan nilai agama tidak perlu nilai adat, yang penting agama. Dalam masyarakat Minang diyakini, agama bertilanjang, adat bersisamping. Apa yang dikatakan Agama dilaksanakan oleh adat. Menyadari fenomena dikotomi tiga nilai tadi, PWM Sumatera Barat pernah meluncurkan Program S-2 Non Degree Muballigh Sarjana S-1, yang dalam salah satu mata kuliahnya mengoreantasi para mubalighnya dengan nilai-nilai adat yang terumus dalam ABS-SBK, yang kebetulan saya ditugaskan mengajarkannya ketika itu. Tentu selanjutnya kepeloporan Muhammadiyah, MUI Nagari dan tokoh ulama nagari melanjutkan apa yang dicontohkan PWM Sumatera Barat itu.

Rekomendasi Tokoh Adat
dalam Tata Kelola Pemerintahan Nagari ke Depan Berbasis Nilai ABS-SBK

PWM Sumatera Barat terus menerus memprogramkan bersama pemerintah mengekplisitkan pengalamannya, membekali para muballighnya dengan Nilai-nilai ABS-SBK seperti pernah dilaksanakan Program S-2 Non Degree Muballigh Sarjana S-I. Para Muballigh yang sudah dibekali ABS-SBK tadi, akan berpotensi meniadakan praktek dikotomi nilai adat dan nilai syara’, dan dapat mendorong tokoh adat nagari dan ulama

Exit mobile version