Oleh: Yulizal Yunus Dt.Rajo Bagindo
Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Sumatera Barat/ Alumni Lemhannas 1996
FIKIR.ID – Menarik Rapat Bulanan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Sumatera Barat, di Kantor Badan Kesbangpol Sumatera Barat, Senen siang, 25 Juli 2022. Seperti biasa rapat bulanan menampung, merecord dan menganalisis laporan anggota FKDM, mendeteksi isu strategis yang berpotensi konflik bahkan berpotensi ATHG (Ancaman, Tantangan, Hambatan dan Gangguan) bagi keberlanjutan kehidupan bangsa dari daerah.
Cukup banyak isu aktual dan strategis per-Juli tahun 2022 ini, di antaranya isu pembebasan lahan bagi kelanjutan jalan tol Padang – Pakanbaru yang menjadi priotiras Pemrov Sumatera Barat tahun ini. Juga yang paling menonjol isu di balik berita terbaru nusantara tentang ABS SBK dalam tafsir politik.
Fenomena ini justru sarat muatan politik, mencuat setelah ABS-SBK diamanahkan pada Pasal 5 huruf C UU Provinsi Sumatera Barat 2022 menggantikan UU No.61 Tahun 1958. Padahal ABS-SBK itu tidak lain adalah tafsir adat sebagai sumber nilai luhur bangsa dalam kebhinnekaan.
ABS-SBK Aturan Adat Sejak 1403
Tafsir politik terhadap ABS-SBK dalam berita nusantara tadi terasa “liar”. Syukur dengan nilai dasar Minang genius dalam kecerdasan emosional (raso, rasa dibawa naik) dan kecerdasan intelegensi (pareso/ periksa/ pikir dibawa turun), tidak jadi berhiba hati orang Minang dengan komentar liar itu, tidak merasa terusik, meski rada-rada “tagaduah, terganggu”, karena sudah disimpangsiurkan maksud dan makna ABS-SBK itu.
Karenanya, ABS-SBK jangan ditafsirkan kemana-mana lagi. Kembalikan ke makna semula sebagai filosofi dan kode prilaku masyarakat adat di nagari-nagari Minangkabau – Sumatera Barat. Justru Ketika menyebut “adat salingka (selingkar) nagari”, maka secara stuktural aturan adat Minang itu adalah sesuai (tidak bertenangan) dengan ABS-SBK itu. Bukan sebaliknya ABS-SBK sebagai perinsip adat sebatang Panjang Minang yang harus sesuai dengan Adat Salingka Nagari.
Selama ini (sejak Mei 1403) ABS-SBK itu sudah dipakai masyarakat adat dalam beradat. Di dalam ABS-SBK itu justru mengamanatkan tiga hukum yang bersinergi dipakai sejak tahun 1403, disebut sebagai “tali tiga nan sepilin (TTNS) dalam pemajuan adat di garda terdepan menjalankannya adalah sinerji tiga fungsionari pemangku adat dalam system “tungku tiga sajarangan”.
Pertama tali (hukum) syara’ tidak lagi dibuat orang Minang, tetapi sebagai masyarakat adat tinggal lagi memakainya saja hukum fiqh seperti hukum kewarisan. Kedua tali (hukum) adat , itu dia yang perinsip-perinsipnya terhimpun dalam ABS-SBK yang terdiri dari 15 pasal 90 ayat dipakai sebagai masyarakat adat. Ketiga adalah tali (hukum) negara yakni segala bentuk regulasi atau peraturan perundang-undangan negara yang sudah ada dan akan dibuat negara, yang disebut Minangkabau sebagai hukum akal.
Artinya, ABS-SBK menggariskan hukum negara menjadi kekuatan hukum mengatur masyarakat adat sebagai warga negara. Mesti taat hukum. Bahkan Syekh Sulaiman Arrasuli dalam bukunya Pedoman Hidup Orang Minangkabau seperti saya tulis dalam disertasi doctor saya, menyebut siapa yang melawan hukum negara ini sanksinya gila.
Historis ABS-SBK sebagai Undang Adat, Bukan Konsep Baru
Pertemuan di puncak Pato Bukit Marapalam itu, diinisiasi dan dilaksanakan dua tokoh pemangku pucuk adat ialah Sutan Bakilap Alam dan Datuak Bandaro Putiah di Kerajaan Minangkabau di Pagaruyung, pada Mei 1403. Hasil pertemuan itu disebut Undang Adat Minangkabau yang isinya Adat Basandi Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Dan, moyang bersumpah sampai ke cucu kemanakan untuk melaksanakannya dengan baik.
Sumpah (janji) moyang Minang itu berat, Ketika tidak dilaksanakan ABS-SBK itu mengundang kutukan Tuhan YME, maka masyarakat adat generasi sekarang sekarang wajib mengisi janji moyangnya itu agar tak dimakan sumpah yakni dilaknat. Artinya tidak melaksanakan sumpah dalam masyarakat adat, akan dikutuk. Karenanya, sampai sekarang secara adat Minang, ABS-SBK tidak perlu dipersoalkan lagi.
ABS-SBK sudah final sebagai undang adat sejak 6,5 abad yang lalu, meskipun “pelaksanaannya” yang belum final sampai sekarang, karena berhadapan dengan behavior (perilaku, sulk). Namun disadari di mana pun di dunia ini di negara maju sekalipun, nilai adat itu tetap terkendala perubahan perilaku. Artinya nilai (adat) itu tidak berubah dan tidak bergeser, yang berubah dan bergeser itu adalah perilaku.
Karena perubahan perilaku itu, maka ABS-SBK itu sepanjang sejarahnya senantiasa direaktualisasi. Pelaksanaannya oleh masyarakat adat dikuatkan oleh Pemdaprov dengan mengamanatkannya dalam perumusan visi pembangunan daerah, diikuti dengan Tindakan perumusan dan penerbitan buku butir-butir nilai pelaksanaan ABS-SBK itu, di samping juga dibuat masyarakat adat pedoman implementasi ABS-SBK itu dikoordinasikan Bundo Kanduang tahun 2006 dan oleh LKAAM tahun 2010. Bahkan di Padang sejak lama, sudah ada kegiatan pembangunan adat budaya dalam bentuk penilaian Kelurahan Pelaksana ABS-SBK, yang saya sendiri termasuk salah seorang juri penilainya.
Karenanya perubahan prilaku menganut nilai, maka reaktualisasi ABS-SBK itu senantiasa dilakukan. Yang menonjol reaktualisasi ABS-SBK pasca perang Paderi, di Bukit Marapalam Tahun 1837. Sari Pati ABS-SBK – Sumpah Sati Bukit Marapalam yang direaktualisasi itu ditulis arab melayu di Canduang 7 Juni 1964 oleh Syekh Sulaiman Arrasuli (Inyiak Canduang). Terakhir direkatualisasi Kembali Sumpah Sati itu di Puncak Pato Bukit Marapalam tanggal 15 Desember 2018. Saya sebagai saksi, sebagai seorang penghulu di antara penghulu-penghulu di Sumatera Barat, saya didaulat memberikan orasi adat pasca sumpah sati, mewakili pemangku adat di Sumatera Barat di samping yang lain ada mewakili ulama dan cadiak Pandai.
Pelaksanaan ABS-SBK bagi MHA Nagari-nagari Minang
Pelaksanaan ABS-SBK itu sediri bagi orang Minang, adalah dengan strategi dua komitmen filsafat adat lagi yakni pertama filosofi Syara’ Mangata Adat Memakai (SM-AM) dan kedua filosofi Alam Terkembang Jadi Guru (ATJG). Maka pelaksanaan tiga filosofi: ABS-SBK, SM-AM dan ATJG itu bagi masyarakat adat Minang adalah untuk pemajuan adat dan berperikehidupan beradat, sejak lebih kurang 6,5 abad sebelum merdeka. Artinya ABS-SBK adalah sebagai aturan adat yang dipakai sudah sejak Mei 1403 pasca sumpah sati Bukit Marapalam..
Karenanya, “isu seperti ABS-SBK terakhir ini perlu segera mendapat penjelasan, agar tidak berpotensi konflik dan berpotensi ATHG”, saran pikir Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Badan Kesbangpol) Sumatera Barat Dr Jefrinal Arifin, SH, M.Si. Saran itu digarisbawahi semua anggota FKDM Sumbar yang hadir dalam rapat 25 Juli 2022 tadi.
Justru saya ingin katakan, ABS-SBK bukan istilah dan bukan adagium atau pepatah petiti yang boleh diabaikan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dalam subkultur Minangkabau di Sumatera Barat. ABS-SBK sekali lagi adalah filosofi sumber adat dan hukum adat. Panjang lebar sudah banyak saya tulis dalam banyak tulisan dan artikel lepas mediamassa cetak dan online serta medsos, pada banyak makalah nasional dan international, bahkan dalam banyak buku saya, seperti khusus pada buku saya “Minangkabau, Social Movement, 1915.
Karenanya juga ditekankan, ABS-SBK itu bukan konsep baru yang harus dipolemik. Ia aturan adat yang sudah final dan sudah dipakai. Yang belum final itu pelaksanaannya. Pelaksanaanya itu adalah sebagai aturan pemajuan adat itu dan sejatinya adalah sumpah sati pemangku adat di Bukit Marapalam Mei 1403.
Sumpah sati Bukit Marpalam itu berat, yang oleh moyang kalau tidak dilaksanakan ABS-SBK itu, akan mengundang laknat (kutukan) Tuhan Yang Maha Esa sampai ke cucu kemanakan orang Minang sekarang. Akibatnya ketika tak melaksanakan janji/ sumpah itu, orang Minang putus hubungan dengan Tuhan (istilahnya tak berpucuk ke atas), punah tak berlanjut orang Minang dan bangsa (istilahnya tak berurat ke bawah), dan binasa adat, nagari dan bangsa (istilahnya di tengah-tengah digiriak/ dilobangi kumbang). “Nah itu dia, betapa penting kita jelaskan”, tukuk Dr. Jefrinal menguatkan, bahwa penting segera dijelaskan ABS-SBK itu ke publik, digarisbawahi anggota FKDM Sumbar yang hadir rapat.
Di antara anggota FKDM Sumbar yang hadir dalam rapat 25 Juli 2002 itu, saya sendiri (Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo) sebagai ketua, sekretaris Irwandi Walis, S.Sos Dt. Rajo Lelo, beberapa anggota: Drs.Rustam, Drs. Syafwan dan Darmansyah Siroen, SH lainnya. Sedangkan Kepala Kesbangpol Sumatera Barat Dr Jefrinal Arifin, SH, M.Si hadir di dampingi Kabid Kewaspadaan Kesbangpol Sumbar A.H Arslan disertai Kasubid Weni.
FKDM Sumbar Jaring Info Berpotensi ATHG
FKDM Sumatera Barat, pengurusnya sekarang dikukuhkan dengan Keputusan Gubernur Sumatra Barat No. 200-221-2021, tertanggal 30 Maret 2021. Aktif mendeteksi berbagai isu strategis yang berpotensi konflik dalam menangkal ATHG dan menganalisisnya untuk memantu pemerintahan Daerah sebagai bahan pertimbangan pengambil kebijakan, khusus mmbantu Tim Kewaspadaan Dini Pemerintah Daerah di Daerah Provinsi yang dipimpin Gubernur.
Tugas FKDM dilakukan sesuai dengan ketentuan pasal 17 Peraturan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 46 Tahun 2019, tanggal 12 Juli 2019. Di antara tugasnya yang diatur Kepmendagri itu, pertama menjaring, menampung, mengoordinasikan dan mengomunikasikan data serta informasi dari masyarakat mengenai potensi ATHG (Ancaman, Tantangan, Hambatan dan Gangguan). Dan, kedua memberikan laporan informasi dan rekomendasi sebagai bahan pertimbangan Tim Kewaspadaan Dini Pemerintah Daerah di daerah Provinsi
Sesungguhnya, saya melihat kewaspadaan dini masyarakat itu adalah sudah merupakan naluri masyarakat. Norm kewaspadaan itu di MinangKarena ditunjukan nilai: “siang bacaliak-caliak (dilihat-lihat), malam badanga-danga (didengar-dengar), jauh diulang-ulangi, dekat dikandano (dipelihara). Jadi 2×24 jam dibangun kepekaan kewaspadaan. Karenanya segala bentuk ketidakpedulian, kelalaian dan sikap abai termasuk tafsir liar harus ditinggalkan, karena dapat membahayakan identitas, integritas dan keberlanjutan masyarakat, bangsa dan negara, dalam menciptakan kondisi dinamis aman tenteram dalam seluruh aspek kehidupan bangsa sebagai substansi Ketahanan Nasional di daerah.
Karenanya isu liar menfasirkan ABS-SBK secara politik serta-merta menyebut untuk mengatur syariat Islam, justru itu tafsir liar. Ada kesan dan rasa mengganggu ketahanan budaya bangsa yang dalam perspektif 4 pilar Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, dipahami sebagai sumber nilai-nilai luhur bangsa. Justru pula soal syari’at Islam tidak perlu diatur, sebab itu wahyu dan menyangkut akidah, sudah dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945.
Tegasnya ABS-SBK tidak kemana-mana, norm adat untuk mengatur masyarakat adat sudah teruji sejak 6,5 abad lalu. Masuk ke UU, adalah sebagai penguatan saja secara legal formal. Dengan itu, Sumatera Barat, tidak akan membuat ABS-SBK baru meski sudah di bawa ke ranah dan paradigma politik. Paradigmanya adat saja sebagai kata ganti kebudayaan dengan semua sistemnya, karena memang dalam Bahasa Minang tidak ditemukan kata “budaya” yang ada hanya adat seperti djelaskan AA.Navis dalam bukunya Alam Terkembang. Pemangku adat (terdiri dari datuk penghulu serta bundo kanduang, ulama tokoh agama, cadiak pandai/ kaum intelekutal dengan kaum muda) pun senantiasa tetap dalam paradigma adat, tidak kemana-mana menafsirkan ABS-SBK., karena awalnya adat.
Fenomena konsistensi pemangku adat ini yang saya lihat dalam berbagai event dan forum adat senantiasa memelihara kondisi dinamis dalam masyarakat adat sebagai substansi Ketahanan Naional di daerah, adalah bagian pengalaman saya, hampir 25 tahun terakhir sejak tahun 1990-han menjadi narasumber adat. Adalah narasumber adat untuk pemangku adat se Sumatera Barat, dalam berbagai event dan forumnya seperti konsultasi, saksi ahli, diskusi, seminar dan lokakarya sebagai tahap “penyadaran” dalam kerangka pemberdayaan kehidupan bermasyarakat adat, berbangsa dan bernegara. Demikian pula dalam event diklat, workshop dan penataran penguatan kelembagaan adat serta penguatan peranan pemangku adat se-Sumatera Barat, pada tahap pembekalan dalam kerangka proses pemberdayaan masyarakat adat. Hampir-hampir saya tidak mendengar pemangku adat bertanya nyeleneh seperti ke negara Islam, perda syari’ah lainnya, meski mereka bertanya dan diskusi a lot.
Alotnya diskusi dan percakapan dalam berbagai event pemangku adat tadi, tidak bergeser dari kepastian arah, yakni hanya bagaimana adat jalan dengan baik, terwarisi kepada generasi muda nilai-nilai Minangkabau genius, sehingga anak bangsa ini beradat dan beradab. Upaya tidak lain dalam urusan adat ini harus melaksanakan filosofi ABS-SBK, dengan dua filosofi SM-AM dan ATJG pada MHA di nagari-nagari Minangkabau.
Artinya, pemangku adat ingin, masyarakat adat Minangkabau beradat dengan baik dan ta’at beribadat sesuai akidahnya. Sekaligus sebagai warga negara patuh dan taat hukum, melaksanakan peraturan perundang-undanan berlaku, karena memang diamanatkan dalam ayat-ayat ABS-SBK 15 pasal 90 ayat, tali tigo sapilin yang mesti dipacik (dipegang) orang Minang, yakni taat adat, agama dan taat hukum negara.
Karenanya ABS-SBK tidak layak ditafsir ke mana-mana dan liar, lepas dari makna yang sebenarnya. Justru secara adat, masyarakat adat semakin kuat melaksanakan ABS-SBK, maka semakin taat hukum, penuh kekeluargaan, suka bermusyawarah dalam pengambilan mufakat (keputusan), seluruh konflik dapat diselesaikan dalam duduk bersama bermusyawarah. ***