FIKIR.ID – Adat bagi orang Minangkabau adalah kebudayaan secara utuh yang dapat berubah. Namun ada adat yang tidak dapat berubah, seperti kata mamangnya: Kain dipakai usang, adaik dipakai baru (kain dipakai usang, adat dipakai baru). Maksudnya, sebagaimana pakaian bila terus dipakai akan usang, sedangkan adat yabg dipakai terus-menerus senantiasa awet.
Adat yang dipakai di Minangkabau adalah peraturan yang bertujuan mengamankan nagari, memajukan nagari, memperkaya nagari, memudahkan apa yang sulit, menghampirkan yang jauh, menghubungkan silahturahmi satu sama lain, serta kesukaan dan kegembiraan anak nagari.
Berdasarkan kekuatan mengikatnya, adat Minangkabau dibagi atas empat tingkatan, yakni: adat nan sabana adat, adat nan diadatkan, adat nan teradat, dan adat istiadat.
Adat Nan Sabana Adat
Adat nan sabana adat ialah adat yang asli, yang tidak berubah, yang tak lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh hujan. Kalau dipaksa keras mengubahnya, ia dicabuik indak mati, diasak indak layua (dicabut tak mati, dipindahkan tidak layu).
Adat ini berasal dari aturan dan ketentuan yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulnya, Muhammad SAW, kemudian disampaikan Rasul kepada umatnya (hadits-hadits), dan diajarkan oleh guru kepada murid-muridnya. Ini dinamakan juga Adat Nan Sabatang Panjang, Syara’ yang bersumber Kitabullah (Al-Qur’an) yang disebut oleh orang Minangkabau dengan surek (surat).
Oleh karena itu sumber adat Minangkabau ada yang tasurek (tersurat) yaitu Al-Qur’an sebagai sumber syara’, Syara’ mangato adat mamakai. Ada pula yang tidak bersumber dari yang tersurat, yakni Alam. Alam dihargai sebagai guru, Alam takambang jadi guru.
Artinya, kalau sebuah ketentuan tidak secara eksplisit disebutkan dalam al-Qur’an, maka orang Minangkabau dengan segala kearifannya akan belajar pada Alam —surek indak hilang, guru indak mati.
Selama orang Minangkabau pandai membaca surek dan mengamalkannya, dan membaca fenomena alam dan mengamalkannya, selama itu pula adat Minangkabau tidak akan pernah kehilangan sumber utama- Adat Nan Sabana Adat.
Adat Nan Sabana Adat yang bersumber dari syara’ (bersumber Kitabullah) dan sumber alam adalah ketentuan baku dan tidak pernah berubah sepanjang masa. Sumber ini dipakai sebagai timbangan yang baku (cupak usali) yang dijadikan pedoman untuk ” mamapek jo manarah ” (meluruskan) Cupak Buatan (hukum yang dibuat manusia). Sumber undang ini diungkapkan dalam kalimat pendek, lugas dan tegas yang bermakna luas, tidak multi tafsir.
Adat Nan Diadatkan
Adat nan diadatkan adalah aturan dan ketentuan yang mengatur masyarakat yang diwariskan dari perumus adat Minangkabau yaitu Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang.
Aturan dan ketentuan ini telah disepakati dan ditetapkan pada Sumpah Satie Bukik Marapalam. Adat Nan Diadatkan tidak boleh bertentangan dengan Adat Nan Sabana Adat, karena Adat Nan Sabana Adat mengacu ke syariat Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah SAW.
Terhadap adat ini berlaku apa yang diungkapkan mamangan: Jikok dicabuik mati, jikok diasak layua (jika dicabut mati, jika dipindahkan mati), seperti pohon yang telah hidup berakar, yang dapat tumbuh selama tidak ada tangan yang mengganggu hidupnya.
Adat Nan Taradat
Adat nan teradat adalah peraturan yang terpakai di dalam satu luak, satu lareh, dan atau satu nagari. Artinya Adat Nan Diadatkan bagian Adat Salingka Nagari yang disebut juga dengan Adat Sabatang Batuang.
Adat Salingka Nagari atau Adat Sabatang Batuang ini terdiri dari Adat Nan Teradatkan dan Adat Istiadat Ketentuan atau aturan ini dipakai di Luak Nan Tigo atau di lareh atau dalam suatu nagari. Dengan demikian Adat Nan Teradat bisa berbeda dari satu nagari ke nagari lainnya.
Pada zaman sekarang wujud Adat Nan Teradat bisa berupa peraturan daerah (perda) dan peraturan nagari (perna) serta hasil musyawarah mufakat/peraturan yang disepakati oleh kerapatan adat. Aturan ini dibiasakan di nagan yang pemakainya secara berbeda, tetapi ranah makrifat (landasan patuik jo mungkin) dan hakekat (landasan budi) tidak berubah.
Adat Istiadat
Adat istiadat adalah kebiasaan nagari setempat yang merupakan ketentuan yang membolehkan kesukaan dan kegembiraan dan permainan anak muda-muda yang sebenarnya tak selalu disukai oleh Adat Nan Sabana Adat. Oleh karena itu, Adat Istiadat ini disebut juga sebagai adat jahiliyah.
Pada masa sebelum Sumpah Satie Bukik Marapalam, banyak permainan anak nagari seperti menyabung ayam, berjudi, minum arak (miras), badusun bagalanggang, dan lain-lain, dianggap sebagai adat. Namun, kemudian kebiasaan ini sudah dimusnahkan, ditiadakan dan tidak boleh dipakai lagi di ranah dan rantau Minangkabau.
Permainan yang boleh dipertahankan adalah permainan, kesukaan, dan kegembiraan yang tidak bertentangan dengan Adat Nan Sabana Adat.
Setiap nagari memiliki langgam atau corak adat istiadatnya masing-masing yang disebut dengan Adat Salingka Nagari. Perubahan kebiasaannya berjalan seiring dengan perubahan dan kemajuan yang disebut dengan “peradaban”.
Pengungkapan Adat Istiadat dilafazkan dalam pahatan kato (yaitu ungkapan kalimat bersambung yang dalam maknanya) dalam bentuk petatah-petitih yang disebut “ kato bacari”. Kebiasaan tersebut dibiasakan di nagari tertentu, dan bisa berbeda dari satu nagari dengan nagari yang lain.
Secara ringkat dapat dikatakan bahwa Adat Istiadat adalah kato bacari, cupak buatan, disukai dan menggembirakan nan mudo, dikembangkan dari adat nan tiga di atas. Adat Istiadat bersifat dinamis tapi tidak melanggar tiga tingkatan adat di atasnya seperti dalam mamang: sakali ayia gadang, sakali tapian baraliah.